Caleg dan Calak
Oleh : M Kamil
Waktu itu pagi cerah, walikota turun dari tangga ruang dinasnya, wartawan pada kumpul, sudah rutin untuk menayakan misi masing-masing wartawan yang hadir saat itu. Usai mengumbar pertanyaan manja pada sang walikota, seorang wartawan bertanya di luar perbincangan pokok yang sedang di bicarakan teman-temanya. “ Pak wali manusia yang bagaimana yang dapat di hidup di muka bumi ini? Seperti sedang guyon sang walikota menjawab, orang atau manusia yang dapat hidup di muka bumi ini adalah, orang bodoh makanan orang pintar, orang pintar makanan orang calak. Lalu apa hubunganya dengan caleg, kalau caleg bodoh tidak mungkin, tapi kalau ada hanya akan buang-buang tenaga, materi dan pikiran saja, karena modal pertama dari seorang calon legislatip itu adalah calak. Bertanya lagi mengapa ? sebelumnya ia adalah orang paling kikir di kampung itu, tiba-tiba jadi baik, sebelumnya ia jarang bergaul lalu tiba-tiba rajin ngumpul-ngumpul dengan masayarakat di kampungnya. Yang sebelumnya tidak pernah mau datang acara kampung-kampung, sejak mau jadi calon legislatip, mau datang. Tapi masyarakat juga sudah jelas, terutama untuk daerah yang ada di seputar Indonesia. Untuk memilih seorang calon anggota DPR itu bukan yang memiliki moral yang baik, memiliki kemampuan memimpin, memiliki kemampuan memegang amanah, dapat menterjemahkan keinginan rakyatnya. Yang dapat menyampaikan aspirasi rakyatnya, bukan itu. Hampir sembilan puluh persen di mana saja tidak yang sudah sekolah sarjana apalagi yang memang tidak sekolah selalu berkata,”kalau ia beri duit itu yang kita pilih, kalau tidak maaf saja.” Jadi wajar saja kalau ia yang terpilih jadi DPR itu , suka mabuk, suka ngantuk, suka tidur, bicara selalu ngawur, pikiranya selalu harta dan wanita. Amanat dan janji-jani sudah pada mereka kubur. Dimana-mana di Indonesia, masalah pemilu masih jadi dominan tidak pandai membawa diri, yang ada hanya cari keuntungan, untuk bermodal menghasilkan uang, bukan untuk menjalankan amanah di dalam tugas seorang dewan.
Maka dadri itu nantinya setelah duduk jadi dewan, suka korupsi, cari undang-undang dan peraturan yang di sahkan adalah dapat menguntungkan para anggota dewan saja, kalau tidak, undang-undang itu jangan harap akan di sahkan oleh mereka. Jadi kalau mereka tidak Calak atau tidak pandai berbuat bohong, jangan jadi anggota dewan, bicaranya pandai, tapi kerjanya semaunya sendiri, seenaknya sendiri. Berlomba-lomba mencari aturan yang dapat menguntungkan diri mereka, bukan berlomba untuk menjadikan ngeri ini menjadi makmur, tapi berpikir agar mereka sejahtera itu bagaiamana, kesana kemari mencari solusi agar ada jalan keluarnya. Agar mereka dapat hidup sejahtera menjadi seorang dewan. Jadi kalau anggota dewan tidak tidak calak, maka akan tersingkir di antara kelompok sesama anggota DPR itu sendiri. Harus ada dan tetap ada pengawas independen yang betul-betul dapat mengawasi anggota DPR itu, jangan pernah berpikir juga akan memdapat suap lagi di DPR, atau bahkan cenderung membiarakan mereka mau berbuat apa, asal dapat kerjasama itu aja sudah cukup. Celaka memang anggota DPR di Indonesia yang tidak memegang amanah tersebut, hendaknya mereka itu lebih dulu di hukum, lebih dulu di sengsarakan kalau sudah terbukti melakukan korupsi di dalam mengemban tugasnya selaku anggota DPR. Tapi kita selalu masih berharap agar anggota DPR kelak itu adalah seorang yang amanah, seorang yang bermoral, seorang yang beretika, berpendidikan, beragama, beradat, berbudaya, memiliki kemampuan untuk selalu berpikir positip, berani berjuang untuk kepentingan rakyat, bukan pribadi, atau golongan saja. Berani mati untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan pemimpin saja. Jangan Cuma pandai berjanji disana-sini tapi berani berdiri di depan ketika rakyat ini dalam keadaan butuh bantuan kesejahteraan mereka, dalam keadaan bagaimanapun juga. Semoga.