Sastra
Budaya Dan Hari Kemerdekaan
M Kamil
Pengantar
Waktu itu
aku masih di sekolah menengah atas, yang aku alami adalah sedikitnya buku-buku
tentang karangan orang-orang terkenal tentang menulis sastra.
Mereka telah
banyak menorehkan tentang sastra dan kebudayaan , hingga mereka ikut berjuang
di era kemerdekaan masa itu,
Misalanya , karya-karya para sastrawan Indonesia saja, dimana kini
mereka telah tiada, yaitu cerpernis,
novelis ,dramawan , penyair Toto Sudarso Bactiar, Husni Jamaludin, Piek
Arsiyanto Supriyadi, Idrus Tintin, ,M Fudoli Zaini, Umar Kayam, Motingo Busye
HS Djurtatap, B Jass, Mansur Samin, Ismail Marahimin, Ramadhan KH, Asrul Sani,
Rendra, Muktar Lubis, Hamid Jabbar, Moh
Anwar, mereka dimasanya dengan gigih memperjuangkan sastra, semoga kita
berharap mereka mendapat imbalan yang setimpal dari Allah, Amin.
Banyak lagi
yang kalau kita sebut dan kita sampaikan mereka yang telah berjasa pada negeri
ini tentang sastra, yang jadi pertayaan kita adalah, mengapa buku-buku sastra
dimasa kepemimpinan rezim orde baru tidak di ajarkan tentang buku-buku sastra ?
Sepengetahuan
saya yang masih banyak kekurangan tentang sastra ini , mereka yang di sempat
dikarantinakan karya-karya mereka itu adalah, Hamzah Fansuri, Ronggowarsito,
Raja Ali Haji, Abdul Kadir Munsyi, Abdul
Muis, Marah Rusli, Marco Kartodikromo, Hasan Mustapa, RA Kartini, Amir Hamzah,
Chairil Anwar, Rivai Apin, Nuraini Sani,
Achadiat Kartamiharja, St Ali Sabana, HB Yasin, Umar Kayam, Muktar Lubis, Trisno
Sumarjo, Iwan Simatupang, Motingo busye, Pramudya Ananta Tur, Hamka, AA Navis,
Ali Hasymi, Asrul Sani, Rendra ,Wisran
Hadi, mereka
telah tiada dan juga yang amsih ada, tapi kenangan untuk mereka tetap ada.
Sejak saat
itu sesungguhnya betapa sulitnya saya ingin mencari bacaan buku sastra di tahun
delapan puluhan itu, memang saya tidak sepandai mereka, apalagi ilmu saya masih
sangat jauh dengan dibanding mereka.
Ternyata
setelah tiga puluh tahun berlalu, kini dapatlah saya memperoleh suatu
pelajaran, sastra itu sangat mahal sesugguhnya, karena disana disampaikan,
secara etika, secara moral dan mengikuti perjalanan zaman, serta menyesuaikan
diri dengan era dimasa itu sendiri.
Memang tidak
pantas jika kita mengatakan, mengapa Sastra masa itu banyak yang dibreidel,
diblokir, dikarantinakan, atau lebih mudah dimengerti karya-karya itu di
matikan. Atau dibumi hanguskan oleh masa rezim orde baru.
Tapi manusia
itu, memiliki suatu keinginan, dan keinginan itu adalah hak bagi setiap manusia
yang ada di muka bumi, yang jadi pertanyaan lagi mengapa dimasa itu di halangi
warga Indonesia untuk banyak membaca buku sastra, apalagi di sekolah-sekolah
sangat tidak di perbolehkan sekali.
Sadar atau
tidak sadar yang dihalangi itu pada akhirnya meledak juga, itu persitiwa reformasi,
adalah puncak dari segala rintangan yang selama ini di kubur mati, aspirasi
anak bangsa yang mau memberikan pencerahan pada mereka yang berkemaun untuk
kemakmuran bangsa selanjutnya.
Kehalusan
penulis masa itu, adalah mengungkapkan kejadian yang terselubung yang di
dirikan oleh rezim orde baru, untuk dan agar anak bangsa tidak memiliki
pemikiran yang brilian untuk sepenuhnya kemakmuran bangsa ini.
Tetapi yang
di penjarakan bukan hanya ilmu sastra , tetapi budaya bangsa juga di batasi
pada titik yang sudah di tentukan oleh pemerintah rezim orde baru, misalnya
rakyat jangan banyak bicara soal politik, bagi masarakat yang memiliki mata
pencaharian petani, urus saja itu soal tani, media elektornik atau televisi
cukup ada televisi milik pemerintah.
Masayarakat
yang tidak mampu dalam arti ekonomi lemah, jangan pernah berharap akan
menduduki jabatan di pemerintah , apalagi bermimpi akan duduk sebagai orang
terhormat dalam hal jabatan, yaitu yang ada di pemerintahhan, mulai dari
jabatan gubernur, bupati, camat, lurah atau bahkan sampai ke rt sekalipun.
Tiga puluh
tahun bangsa Indonesia yang di tanamkan sipat “kalau-kalau”, orang miskin
jangan banyak makan ikan , nanti akan cacingan, orang miskin jangan panjang
cita-cita, cukup sekolah dasar atau sekolah mengenah sudah cari pekerjaan.
Budaya
jangan-jangan itu tertanam selama rezim orde baru, jangan banyak makan ikan
nanti cacingan, jangan banyak baca buku nanti mata rusak, jangan banyak
bertanya nanti orang tidak senang, jangan terlalu tinggi cita-cita nanti gila.
Akibatnya
itu bertahan hingga tiga puluh tahun lamanya, banyak anak bangsa yang
betul-betul sudah tertanam sipat menerima saja, padahal Allah sanga maha
pencipta ingin manusia itu berkembang sesuai dengan kodratnya, karena tiap
manusia yang ada di muka bumi ini adalah memiliki amanat yang mereka janjikan
sendiri-sendiri.
Budaya kita
di manapun itu, yang tua selalu ingin lebih di hormati, padahal kadangkala ia
sendiri yang lebih tua tidak menunjukan penghormatanya pada yang lebih muda.
Terkadang ia
terbiasa dengan perkataan kasar, tanpa etika, tetapi ia selalu ingin menunjukan
moral dan etika pada orang lainnya.
Nyata sudah
kini, era reformasi datang, timbulalh segala keinginan, yang selama ini selalu
ditahan-tahan, dipenjarakan, di bumi hanguskan. Datanglah masa kebebasan untuk
beraspirasi, meskipun masih banyak yang berkata selalu ingin mengulang sejarah,
masih enak di zaman orde baru.
Tapi okelah
itu hak mereka juga untuk berpendapat, tapi
zaman tidak akan berulang kembali, yang harus kita hadapai adalah masa
kini, masa yang kita duduki pada zaman ini.
Apakah
budaya gotong royong masih berjalan, aakah budaya ramah tamah dan sopan santun
masih ada di sekitar kita pada saat ini, masih adakah warga yang mau saling
perduli dengan warga sekitarnya, yang perduli dengan keluhan warga di dekatnya,
apakah masih ada warga yang mau berkorban mebantu tetangganya yang sedang dalam
kesusahan yang tidak makan pada hari ini, mudah-mudahan ini tidak terjadi, Berharap Allah akan mmebuka
rahmat bagi kita semua dan mau saling tolong-menolong dalam kebaikan.
Kalau saja
merdeka itu dapat dipahami dan mengerti oleh semua orang, alangkah indahnya
kita hidup di dunia ini, karena kata Allah aku ciptakan jin dan manusia dimuka
bumi ini adalah untuk beribadah kepadaku.
Seorang ulama
saja belum begitu paham dengan arti kemerdekan, teramsuk saya, tetapi saya
hanya menyampaikan suatu aspirasi, bukan berarti saya sangat paham dan
mengerti, tetapi ini sebuah perjalanan anak manusia uyang ingin bersama
semuanya untuk berbagi kebaikan bahkan
saya sendiri tidak tahu apakah ini suatu kebaikan, tetapi ini disampaikan
dengan tulus dan iklas.
Manusia yang
telah memahami akan suatu kemerdekaan, tentu ia akan memberikan peluang bagi
orang lain, bagi bawahanya, bagi rakyatnya, bagi tetangganya, bagi sahabatnya,
bagi dirinya sendiri. Yaitu agar memilki kesempatan untuk meraih dan menikmati
kesempatan itu baginya.
Sayang
sekali kemrdekaan itu hingga kini masih saja hanya dinikamti oleh mereka yang
memiliki kekuasaan, meiliki keududukan, meiliki jabatan, meiliki keuangan yang
banyak, tapi tidak kesempatan yang mereka berikan, untuk mereka yang
benar-benar mampu untuk menjalani kehidupan,
yang sesungguhnya itu adalah milik orang lain, bukan di paksakan untuk
saudara, untuk keluarga, untuk golongan, untuk kepentingan yang menguntung diri
kita sendiri saja.
Ulma yang
sebenarnya tak ingin ia menerima uang hanya karena ia pandai membaca alquran,
atau hanya karena ia pandai berceramah di muka umum menyampaikan amanah Allah, semoga hal ini
Allah yang mendengarkan juga mengampuni kita yang sudah banyak bicara, bahkan
berani menyampaikan yang sesungguhnya pembaca adalah lebih banyak yang
mengerti, tapi bukan mengajari atau menggurui, sekali lagi hanya untuk mengajak
pembaca juga ikut menyampaikan aspirasinya. Lewat ROMAN, apakah itu itu saran
dan petunjuk tentang ilmu bahasa dan tatabahas tentang budaya bangsa, marilah
ikut bersama kami di ROMAN, untuk menyampaikan buah pikiranya, harapan kita
kita semua ini juga jalan ibadah
Penutup
Kita berharap semoga saja kedepan disemua sekolah dan juga
mulai dari tingkat sekolah dasar, itu selalu diberikan peluang bagi
murid-muridnya untuk belajar menulis dan mengarang.
Dorong siswa-siswa untuk banyak membaca bagi yang masih
tingkat sekolah dasar, atau yang masih tingkat sekolah menengah pertama, agar
tingkat ilmu bahasa mereka berkembang dengan baik.
Kalau nanti yang di tingkat sekolah menengah atas alangkah
baiknya, program untuk mereka selalu di terapkan mangarang dan menulis, itu di laksanakan batas kemampuan
mereka sendiri.
Budaya tolong menong pada saat ini sepertinya sudah mulai
memudar, ketidak pedulian pada sesama sudah banyak terlihat, apakah ini suatu
perubahan zaman, atau hasil masa lalu yang selalu di tonjolkan hanya untuk
kepentingan makan saja, tiada perduli apakah itu halal atau itu haram, yang
penting keinginan itu tercapai.
Keterbukaan artinya kita bersama-sama iklas untuk meberikan
kesempatan agar pada orang lain yang benar-benar memiliki kemampuan untuk
menduduki jabatan itu, untuk memimpin nya, untuk melaksanakannya, bukan
dipaksakan pada orang lain yang sesungguhnya ia tidak memiliki ide yang kreatip
untuk pekerjaan tersebut, malang negeri ini kalau tetap memkasakan keinginan
pada keluarga yang tidak mampu untuk memikul pekerjaan yang bukan bidangnya,
maka jangan buat negeri ini hancur karena kita sendiri, tetapi peliharalah
dengan baik dan bersama-sama anak bangsa memahami bahasa kehidupan dirinya
sendiri.
No comments:
Post a Comment