KARMA
Ditulis Oleh :
M . Kamil
Kabut menyelimuti dusun yang masih di penuhi oleh
pepohonan, sebuah desa yang
masih sangat terpencil dari desa-desa lainya,
walapun desa ini tidak begitu tertinggal. Sejuk oleh
pepohonan itu terasa
sekali, sehingga kesejukan itu seakan
menusuk hati, melalui hembusan angin
yang menerpa tubuh.
Azan subuh baru
saja berlalu, terdengar dengan jelas
hempasan sungai yang mengalir begitu derasnya, dan memang benar karena masih
banyak aliran sungai dan rawa-rawa, maka pendudduk di sini untuk makan
ikan lebih banyak memancing, atau dengan
jala agar lebih banyak mendapatkan ikanya.
Mata pencaharian
di desa ini adalah sebagaian besar petani, banyak juga yang mencari ikan,
kadang juga yang wanita menenun kain atau ada juga yang membuat tikar, meskipun
ada juga orang yang pekerja sebagai pegawai pemerintah, namun sangat sedikit
sekali. Walaupun memang desa ini masih tidak sangat terbelakang, namun anak-anak saja mau sekolah harus berjalan
hingga lima kilometer kedesa sebelahnya.
Tampak seorang ibu di cuaca yang
masih sedikit gelap, namun dingin pagi
dan masih gelapnya alam tersebut, tak membuat dirinya bermalas-malasan, ia picu
dirinya untuk segera bangun dari tempat
tidurnya, di terjangnya rasa kantuk, karena dia menyadari, bahwa dalam rumah tangga ini, ia
sebagai ibu dan juga sebagai ayahnya dari anaknya yang semata wayang itu,
suaminya telah lama meninggal, ia sekarang seorang janda yang cantik jelita.
Kokok ayam nyaring terdengar, suara burung yang berkicauan saling
bersaut-sautan, yang berada di dekat rumah, pada sebuah desa yang disebut
dengan desa Kasa, yang terdapat di kabupaten ogan Ilir, termasuk dalam wilayah
Sumatera Selatan.
Terlihat seorang ibu yang melangkah
dengan perlahan-lahan, ia menuju ke sungai yang bearda di belakang rumahnya,
meskipun tampak gelap namun karena hal itu sudah kewajiban baginya tetap saja
ia jalani dengan penuh semangat, karena di tempat itulah, sebagai tempat mandi,
mencuci, juga air untuk makan dan minum, karena air sungainya masih bening dan
jernih sekali. Sebab tidak ada penglihatan yang gelap, kecuali hati yang gelap.
Sudah merupakan rutinitas bagi warga
didesa ini sehari-harinya, desa yang jauh dari jangkauan masyarakat desa
lainya, karena itu kadangkala informasi
tempat lainya sangat lamban mereka terima, tinggal mereka yang memiliki televisi
saja yang tahu informasi itu, itupun informasi daerah luar bukan informasi
tentang daerah sekitar mereka.
Perlahan langit mulai keluar upuk
nan merah, matahari sepertinya mulai akan terbit, namun terasa dingin masih
saja menyelimuti tubuh, di pagi sudah tampak kesibukan yang di lakukan oleh
Siti, ia baru saja mencuci singkong alias ubi kayu, karena baru itu yang
dapat mereka jadikan sarapan pagi bagi mereka. Karena ubi kayu
adalah memang tanaman mereka yang ada di dekat rumah, serta juga mereka
menanamnya di areal perkebunan mereka, sebab itu juga yang dapat menunjang
keuangan dalam rumah tangganya Siti, di samping bercocok tanam padi, kalau padi
itu tanaman pokok mereka. Di samping ada juga tanaman cabe, juga sayur-sayuran
lainya.
“ Ujang, bangun nak!” teriak Siti
kepada anaknya yang hanya satu-satunya itu, yang sangat di sayanginya, karena
anaknya itu pula ia bersemangat untuk menjalani
kehidupan ini, meskipun ia seorang ibu namun merangkap menjadi seorang
ayah.
Bergerak-gerak perlahan anak itu,
Ujang secara santai duduk terlebih dahulu, lalu barulah ia keluar dari
kelambunya, setelah itu berdiri dengan
perlahan, mengambil handuknya, ia kemudian dengan tubuh yang bertelanjang bulat
itu, berlari kecil menuju ke sungai yang tidak jauh dari rumahnya itu.
Meskipun ia sesungguhnya menuruni
rumah panggung, yang tentu saja menuruni tangga, karena sudah biasa baginya,
jadi tak lagi ragu menuruni tangga rumah
panggung itu, meskipun dalam keadaan berlari-lari kecil.
Setiba di air sungai yang mengalir
itu, Ujang langsung saja melompat kedalam sungai, karena hal itu sudah biasa ia
lakukan, sejak kecil ia sudah pandai berenang, di sana juga banyak terdapat
ibu-ibu yang mulai berdatangan untuk mandi dan juga mencuci di pinggiran sungai
tersebut.
Ia berenang di sungai itu dengan
lincahnya, kesana dan kemari Ujang
berenang, sungguh pandai ia berenang, kemudian
mengambil sabunya untuk membersihkan tubunya, setelah itu ia berenang kembali.
Sesaat itu Ujang lalu menuju ke
daratan, ia lalu menmgambil kotak sabunya, dan Ujang perlahan melangkah menuju
pulang, karena di rasakanya sudah cukup baginya untuk pagi ini. Perjalanan menuju pulang juga ia berlari-lari
kecil. Kadangkala ia sambil bersiul-siul
dengan gembira.
Setelah ia berada di rumahnya, ia
segera memakai pakaian yang seadanya, tentu pakaianya sedikit lusuh namun
bersih, dan masih layak untuk di pakai, meskipu pakaian itu bagi orang kaya
tentu tak di gunakan lagi. Usai ia berpakaian, ia sudah didalam berpakaian yang
tentu saja kadang kala masih di bantu oleh ibunya.
“Ujang, kau makanlah ubi juga ada yang ibu goreng !” ujar Siti
kepada anaknya, ia lalu meletakan makanan itu di lantai yang hanya beralaskan
tikar tersebut, karena memang mereka
makan hanya beralaskan tikar yang terbuat dari daun pandan, bukan makan di atas
meja makan.
Rumah tempat tinggal Ujang memang sangat
sederhana, rumah panggung yang hanya berukuran empat di kali lima meter itu, sebuah rumah yang
hanya beratapkan daun rumbia itu, suatu rumah peninggalan suaminya yang
sangat sayang kepadanya dan anak-anak,
oleh karena itu cinta kasih Siti kepada anaknya sangat besar, melebihi dirinya sendiri kasih
dan sayang kepada anaknya tersebut
Langit bersinar dengan terang,
matahari sangat lantang menyinari bumi, tidak bersembunyi. Warga desa mulai
menuju kesawah atau kekebunya, karena di hari yang terang dan bercahaya inilah, untuk melaksanakan cocok tanam di sawah atau juga di perkebunan, kalau turun hujan,
warga desa lebih banyak yang berdiam diri di rumah saja. Meskipun hujan
juga sangat di butuhkan sekali bagi para
petani di desa ini. Maka dari itu jika diam di rumahnya mereka membuat tikar
dari purun, sejenis rumput rawa, atau juga menenun kain songket.
Memang pada saat ini datang musim
kering, meskipun demikian, saatnya bagi penduduk desa untuk membuat bibit padi,
namun itu setiap pagi harus di sirami. Bila sudah menyirami bibit padi itu, maka mereka menugal maksudnya
adalah membuat lubang-lubang di
sawah yang sedikit kering itu, nanti
kalau bibit sudah besar tinggal mereka memasukan saja di lobang-lobang yang
sudah mereka buat itu.
Terlihat masih ada di sawah-sawah
itu yang berisi air, namun banyak rumput
air yang sudah di tumpukan di jalan-jalan sawah, misalnya bekas rumput
enceng gondok. Karena sudah banyak di tumpuk di jalan-jalan itu sehingga
menjadi tinggi di tempat itu.
Persiapan untuk menanam itu sudah di
siapkan sebelum datang musim hujan. Misalnya pembuatan bibit padi,
kadang-kadang sudah di tanam sebelum musim hujan datang.
“ Mak Ujang pergi mancing!” teriak
Ujang, yang lalu turun dari rumah panggungnya itu, sambil ia membawa tran
pancingnya, alat pancing yang terbuat dari bambu tersebut, dengan penuh rasa
gembira ia melangkah menuju ke daerah rawa-rawa yang tidak terlalu jauh dari
rumahnya itu..
Hal ini di lakukan oleh Ujang,
karena ia membantu ibunya, untuk lauk makan dalam rumah tangganya, bahkan
kadang-kadang hasil ikan itu banyak dapat di jual oleh Ujang dan ibunya, sehingga hasilnya juga dapat membantu kebutuhan dalam rumah
tangga.
“ Ya pergilah, tetapi hati-hatilah
nak!?” seru oleh ibunya Ujang yang merelakan buah hatinya, untuk anaknya pergi
meninggalkan ibunya, yang tentu saja juga membantu dirinya dalam menunjang penghasilan
dalam rumah tangganya itu. Walaupun sesungguhnya hati dan
pikiranya Siti tak mengizinkan itu, namun itu
juga yang menjadikan anaknya
ceria sekali bila ia mendapatkan ikan
dari hasil memancing tersebut. Kadang-kadang ikanya ia jual sendiri dengan
orang yang mau membelinya.
Terkadang Siti melamun, ia berkata
dalam hati, bahwa ini sudah menjadi tugasnya untuk merawat anaknya hingga
nanti dewasa, berharap dapat berguna
bagi dirinya sendiri, keluarga dan juga orang lain,” itulah yang kadang-kadang
terngiang dalam telinganya. Ia pandangi anaknya dari kejauhan.
Di sadari oleh Siti bahwa
dirinya pada saat ini, ia adalah sebagai
seorang ibu yang bertanggungjawab, juga
sebagai ayah untuk membimbing anaknya, kelak menjadikan anaknya yang
bercita-cita mulia, pikirnya kembali. Sungguh tak pernah henti-hentinya ia
selalu berdoa, dalam doa sholatnya, di
waktu berkerja dan waktu-waktu lainya.
Sudah merupakan pekerjaan yang rutin bagi
Siti, yaitu pagi –pagi sekali ia telah ke sawah atau keladangnya, terutama
sekali ladang-ladang itu harus di bersihkan rumput-rumput yang sudah mulai pada tumbuh di ladangnya itu, agar
tanaman sayuran, antara lain mentimun, juga cabenya dapat tumbuh dengan baik,
dan tentu saja kalau di rawat hasilnya akan sangat banyak serta bagus-bagus
pula.
Selain itu untuk tanaman sejenis padi, oleh karena itu Siti
sangat giat menggarap tanahnya mulai
dari sekarang harus sudah di lobangi, atau juga di bajak, namun ia hanya dengan
tenaga bukan di bantu dengan alat lainya, seperti bantuan kerbau atau sapi untuk membajak sawahnya. Apalagi dengan mesin traktor, ia tak mampu untuk membelinya alat-alat tersebut.
Di saat sekarang ini bukan dia saja
yang sedang membajak sawah atau ladang atau sawahnya, tetapi hampir
Sembilan puluh persen penduduk yang berada di daerah ini adalah seorang petani, karena hanya itu yang dapat di
kerjakan oleh Siti, menanam padi merupakan mata pencaharian yang pokok,
bagi dirinya, karena
itulah pula yang dapat menunjang kehidupan baginya sehari-harinya.
Sepertinya matahari mulai sepenggal naik, kadang mulai terlihat
penduduk di desa ini lainya yang menuju ke sawahnya, tentu saja
untuk membajak sawah mereka, atau juga membersihkan rumput yang ada di ladang-ladang
mereka.
Datangnya sinar matahari pagi
memberikan semangat bagi manusia, terutama bagi petani yang ada di desa ini.
Tampak burung-burung berkicauan dengan
berterbangan di udara, sungguh bersihnya alam desa membuat hewan menjadi betah
berada di desa ini.
Panasnya terik matahari sungguh telah menyengat tubuh, sehingga
pekerjaan yang di lakukan kian bertambah, ingin cepat untuk menyelsaikanya, namun karena
di rasakan adanya hembusan angin yang terasa sejuk tiada di gubris adanya
sengat panasnya matahari tersebut.
Sungguh maha besar Allah yang telah
menciptakan, sehingga kehidupan desa yang terasa sejuk dan sejahtera lahir dan
bantin, tidak membuat warganya mengeluh dengan keadaan yang terjadi, semua di
rasakan itu adalah nikmat bagi mereka. Yang telah memberikan dan memperpanjang
sisi hidup mereka
selama ini, besarnya
rasa syukur itulah yang menjadikan
desa ini tetap subur.
Mungkin rasa syukur ini juga yang menjadikan warga ini menjadi damai antar
mereka, rukun dan tenang menjalani kehidupan
desa yang jauhnya dari hiruk pikuk suara kendaraan. Dan jauh dari kesibukan
manusia seperti yang terdapat di kota-kota.
Ada rawa-rawa yang besar di
pinggiran desa, nah di sanalah kadang kala di jadikan untuk warga yang ingin
memancing, namun di pinggiran rawa itu masih di tumbuhi oleh pohon-pohon yang
besar. Juga terdapat hamparan rumput yang luas, oleh karena itu kadang kala di
jadikan tempat hewan peliharaan yang di lepas di sana, apakah itu sapi, kerbau
atau juga kadang-kadang kambing yang di ikatkan di sana.
Tampak di balik-balik rerumputan
yang tinggi itu ada sesuatu yang
bergerak-gerak, sepertinya ada sesuatu
dibalik rerumputan tersebut, terrnyata
itu adalah seorang bocah yang
lagi duduk di pinggiran rawa-rawa, ia
ceria sekali, ia sepertinya tengah memancing ikan di tepi rawa itu.
Ia juga tak sendiri, karena ada
seorang temanya yang juga ikut memancing
di tempat tersebut, namun ia agak berjahuhan di balik semak belukar, yang juga
berada di pinggir rawa-rawa yang tidak jauh dari tempat itu juga. Karena untuk memancing ikan itu
sesuai dengan keinginan mereka masing-masing.
Sepertinya pancing milik Ujang
sedang di tarik-tariik oleh ikan, Ujang
tampaknya sangat gembira, ketika
pancingnya di tarik tersebut, dia biarkan sesaat ketika pancingnya di tarik
oleh ikan, namun setelah itu pancing itu
secepatnya ia lemparkan kedarat,
dengan penuh rasa senang dan penuh kegembiraan
sekali ia, ketika ikan itu di dapatnya, kemudian
teriaknya dengan kencang,”Horeeeeee!!!!!”
“Ujang ada apo ,” panggil oleh
sahabatnya dari jarak kejauhan di balik semak-semak belukar yang ada di
tepian rawa-rawa itu.
“ Aku dapat ikan !!!!” teriak oleh
Ujang, betapa gembiranya ia, ikan itu ikan
sepat siam, hingga beberpa kali ia mendapat ikan tersebut, ikan itu lalu ia kumpulkan pada sebuah tas kecil yang
biasa ia bawa. Tas itu yang memang untuk
ia siapkan sebagai
tempat menyimpan ikanya kalau
ia dapat ikan jika
memancing.
“ Ihsan, aku pulang dulu ya!”
panggilnya oleh Ujang kepada temanya, yang juga bersamanya sedang memancing
ikan tersebut. Ia tampaknya merasa sudah cukup dengan ikan yang di perolehnya.
“ Baiklah Jang kalau begitu, hati-hati
ya Jang!” di balas oleh sahabatnya, yang
merasa belum cukup pendapatanya untuk
hasil memancingnya tersebut.
Di sisi lain ada juga temanya yang
sedang memancing yang sudah mendapatkan
ikanya, lalu ia menyapa,”Ujang kau mau pulang ya?”
“Ya, aku rasa sudah cukup banyak
aku mendapatkan ikanya,” jawab oleh
Ujang, ia lalu begegas berlari-lari
kecil ingin pulang, ia ingin dengan segera memberitahukan pada ibunya bahwa
ia dapat ikan
yang banyak.
“ Tunggu Ujang, aku mau pulang juga,
sama-sama saja kita pulangnya!” panggil temanya yang bernama Ihsan atau kadang
juga di panggil Ujok itu, yang kemudian ia bergerak cepat mengiringi Ujang
yang dengan segera melangkah pulang itu. Ujok juga
ikut lari-lari kecil
menyusul Ujang yang sudah
lebih dulu itu.
Secara bersamaan mereka pulang, terlihat gembira sekali mereka pulang dengan
membawa ikan hasil memancing tersebut, sambil berlompat-lompatan mereka
menuju pulang membawa ikan hasil memancing tersebut.
“ Banyak Ujang kau dapat ikanya?”
Tanya oleh sahabatnya yang bersama denganya menuju pulang . ia
berdampingan dengan Ujang
tersebut, memang mereka berdua
adalah bersahabat.
Sambil berlari-lari kecil dengan
gembiranya, karena telah banyak mendapat ikan, Ujang dengan santainya ia
berkata,” enam ekor aku dapat ikan besar-besar!”
Ikan itu lalu ia tunjukan pada
temanya, ternyata begitu juga temanya yang dengan bangga menunjukan hasil ikan
yang dia peroleh. Bukan kepalang
bangganya mereka dengan hasil
ikan yang mereka
dapat itu untuk segera di bawa pulang.
“Ayolah kita pulang!” teriak oleh
temanya yang sedang mengikuti Ujang yang
lagi lari-lari kecil itu.
Bersama-sama ia seakan bernyanyi,
karena gembira telah mendapatkan ikan hasil mereka memancing tersebut, meskipun
jalan sawah, yang berada di pinggiran rawa- rawa itu kecil yang hanya
dengan setapak, dengan
berlari-lari kecil namun mereka sangat lincah melaluinya. Karena jalan
ini sudah biasa
ia jalani.
Langit makin cerah, matahari mulai
bersinar dengan terangnya, petani mulai ada yang membajak sawahnya, yang
berada tidak jauh dari tempat tinggal
mereka. Karena harus segera di bajak,
kalau terlambat akan terlamnat pula panenya.
“Enak ya Ujang, ikan kau dapat
besar-besar!” ujar sahabatnya yang bersama-sama dengan melangkah menelusuri jalan setapak di pinggir sawah tersebut.
Dari
kejauhan sesungguhnya sudah
tampak rumahnya Ujang, mereka sudah berpisah dengan temanya, di jalan setapak
itu, temanya menuju kejalan sebelah
kiri sedang Ujang jalan lurus saja.
Pada saat akan menuju pulang Ujang
sangat gembira sekali, ketika itu ada seorang ibu-ibu menyapanya, “ hei aku
beli ikanya, mau?”
“Boleh juga,” jawab oleh Ujang, yang
kemudian ia berikan ikan itu pada ibu tersebut, kemudian ia menerima sejumlah
uang.
“Terima kasih wak!” jawab oleh Ujang
ketika ia telah menerima uang hasil penjualanya dengan ibu tersebut, ia lalu
segera menuju pulang, tentu saja Ujang tampak kotor tubuhnya dari memancing di
rawa-rawa itu.
Selanjutnya Ujang segera menuju
pulang, di saat akan melalui sekelompok anak-anak seumurnya yang sedang bermain
ia hanya lewat saja, tak ia perdulikan anak-anak itu bermain, karena ia harus
menjual ikan atau segera pulang.
“Hei anak lebak, masih jual ikan
ya!?” teriak oleh anak-anak yang sedang
bermain itu, yang melihat Ujang lewat di dekat mereka, namun Ujang tak ia
perdulikan ejekan itu kepadanya.
Ujang hanya merunduk, seperti tak ia
dengarkan ejekan itu, ia melangkah begitu saja dari hadapan mereka. Dengan
langkah yang terburu ia meninggalkanya, begitu saja dari anak-anak itu.
“Cari makan di dusun apa anak
lebak,!” teriak oleh seorang anak yang seumur dia, dengan berkata kasar, tetapi
Ujang tetap diam dan terus saja ia meninggalkan sekelompok anak-anak yang
tengah bermain itu.
Ujang melanjutkan menuju pulang, namun ia melalui
sebuah warung kopi yang ada di dekatnya itu, karena perutnya merasa lapar, ia
lalu mendekati warung kopi itu. Pada saat itu ia hanya berdiri. Sesungguhnya ia
ada memiliki uang hasil jual ikan. Namun pemilik warung itu hanya diam, seakan
tak perduli akan kehadiranya. Mungkin badanya yang kotor dan lusuh itu.
Mereka makan makanan di warung kopi
itu, mulai dari gorengan, pisang goreng dan lainya, ada makan yang sedikit
rusak, tetapi bukan tak dapat dimakan hanya kurang baikbaik saja, namun masih dapat di
makan, tetapi pemilik warung itu melemparkan pada tong sampah yang kebetulan
berada di dekat Ujang berdiri. Ujang hanya menggososk-gosok perutnya dan
keronkonganya. Pikirnya, makanan itu masih bagus kok di buang, sayang sekali.
“Pergi….!!”
Ujang hanya tertegun diam.
Seorang laki-laki berdiri dan membentaknya, Ujang jadi kecut dan
saegera ia berlalu dari hadapan mereka. Ujang melangkah dengan lemah, semanagt
menjadi kendor. Sesekali ia berlintasan dengan orang yang kadang tak perduli
denganya, kadang ada saja anak yang seumurnya yang mengolok-oloknya…serta
menghina…gila..gila.
Ketika ia berjalan sudah
mendekati rumahnya, seakan ia tak pernah
mengingat apa yang terjadi apa yang di
lakukan orang kepadanya, Ujang dengan
lincah dan rasa tak sabar lagi ia segera tiba di rumahnya. Sehingga ia
masih saja melompat-lompat karena
gembiranya ia mendapatkan ikan. Ikan yang di perolehnya dari memancing
itu, tak seluruhnya dia jual, masih ada sisa yang dapat ia bawa pulang. Tak mau
ia ceritakan pada ibunya tentang penghinaan orang kepadanya.
“ Emaaaakkkk, aku dapat ikan banyak
mak, tapi ada juga yang sudah aku jual Mak, ini uangnya Mak!!!!” teriak
Ujang dari kejauhan meskipun jarak rumahnya masih jauh, namun ia sudah meneriakan
bahwa ia dapat ikan yang banyak sekali.
Beberapa kali
ia berlintasan dengan orang
lain, yang mau menuju ke
sawahnya di pagi
itu, tetapi ada juga mereka yang sangat
senang jika melihat Ujang
yang penuh ceria
itu.terutama ibu-ibu.
Ibunya melihat dari kejauhanm ia
tersenyum, dalam hatinya hanya berkata, sungguh anaknya ceria sekali, apalagi kalau ia dapat ikan
yang banyak, masih kecil namun sudah berpikir seperti orang dewasa saja.
Dari kejauhan ia sudah berteriak
memanggil ibunya. Hal itu sebagai kegembiraanya yang telah mendapat ikan dari
hasil memancingnya.
Seorang ibu yang juga tetangga dari keluarganya Ujang menyapa,”Jang
dapat ikanya Jang!”
“Ya, wak aku dapat banyak !” ujar
Ujang dengan penuh rasa gembira sekali, sambil ia tunjukan ikan itu pada seorang
perempuan yang datang berlintasan
denganya itu.
“Ya Jang, bawalah pulang dulu, dan
bilang pada makmu , wak mau beli Ikan Ujang, nanti wak kerumahmu, wak mau ambil
sayuran dulu, jangan lupa ya Jang?” pesan perempuan itu kepada Ujang yang saat itu menunjukan ikan kepadanya.
Ujang tampak sangat senang
sekali ketika ikanya sudah di pesan oleh
ibu-ibu tersebut, karena itu sambil ia anggukan kepalanya Ujang berkata,” Ya
Wak , nanti aku sampaikan pada emak!”
“Ya sudah, pulanglah!” perintah
perempuan itu dengan segera pula menuju
ke arah ladangya, di sana juga
tempatnya menanam sayurnya yang tidak jauh dari tempat ia sedang bertemu dengan Ujang
tersebut,
Begitu juga Ujang, ia segera saja
melangkah menuju pulang, meskipun demikian ia sesungguhnya sudah di lihat oleh ibunya, karena ia tahu kalau anaknya itu
orang rajin dan selalu giat membantu
dirinya, meskipun sesungguhnya ibunya
tak pernah memerintahkan Ujang untuk mencari ikan tersebut. Kalau Ujang
di larang agar tidak saha memancing maka
hal itu justru akibatnya akan
menambah ia kecewa saja,
maka itu ia relakan
anaknya untuk mencari ikan
tersebut.
“ Mak, ini Mak aku dapat ikan, tadi
juga ada yang ku jual mak!” Ujang langsung menujukan ikan hasil pancinganya,
ketika ia telah bertemu dengan ibunya.”Oh, ya Mak, tadi Ujang bertemu dengan Wak Mas, katanya ia mau membeli
ikan hasil pancingan Ujang ini mak.”
“Ya, Ujang, Tapi Mak mau lihat
dulu hasil ikan yang kau dapat, kalau
banyak ya, kita jual sebagian, lalu sebagain lagi kita makan nak,” ujar oleh
Siti kepada anaknya yang telah memperoleh ikan tersebut. Sambil ia menyambut
tas Ujang yang
berisi ikan tersebut.
Siti langsung mengambil ikan yang di
berikan oleh anaknya Ujang, ia lihat
dengan seksama. Ternyata benar ikan itu
berjumlah empat ekor namun besar-besar. Karena dua ekornya sudah ia jual
di saat akan menuju pulang.
Waktu hampir menjelang tengah hari,
matahari telah bersinar sangat hangatnya, sehingga ia tahu dan ingat bahwa
Ujang akan sekolah.
Terkadang terdengar suara Azan dari
Musolah yang ada di dalam desa tersebut, kadangkala tak ada betul yang mensuarakan Azan di desa itu, Semua seakan sibuk dengan
kegiatan mereka saja, atau hanya sholat di rumah.
Panasnya matahari telah menyinari
desa, namun biar demikian bukan melemahkan semangat warga desa, tetapi justru
sebaliknya, panasnya matahari telah membakar aroma kerja yang membara, hanya
istirahat sejenak saja, sekedar mengisi
perut mereka dengan lauk pauk yang hasilnya di peroleh dari sungai yang ada
di desa, yaitu ikan-ikan, serta
sayuran yang ada di ladang mereka, lalu
para petani di desa itu
melanjutkan pekerjaan kembali, menurut
kegiatan mereka masing-masing.
Terdengar suara burung yang
berkicau, burung yang bertengger di pepohonan, meskipun panasnya matahari,
namun karena banyaknya pepohonan maka masih terasa sejuk di desa ini.
Tetapi juga ada orang yang datang
dari desa lain, yang sengaja berburu hewan di desa ini, mulai dari burung, juga
hewan lainya. Seperti babi, burung –burung atau
juga hewan-hewan lainya.
Tampak pula terdengar bunyi kokok
ayam jago, ia bersuara saling bersaut-sautan, hingga terdengar sayup-sayup dari
kejauhan. Pohon musiman sepertinya mulai berkembang, seperti buah duku, buah
durian yang tampak mulai ada putik-putik bunga, maka itu biasanya pertanda akan
ada buahnya nanti. Terelihat juga penduduk desa yang memiliki tanaman buah-buahan itu
mereka merawatnya, yaitu
dengan merumput dan
membersihkanya yang ada
di bawah itu.
Tampaknya Sibuk sekali, ibunya Ujang
membersihkan ikan hasil dari Ujang memancing itu. Sepertinya ikan itu akan di buatnya menjadi masakan pindang, pindang merupakan makanan khas
Sumatera Selatan, bahanya dari ramuan tumbuhan alami, mulai dari lengkuas,
serai, juga kunyit, ditambah garam, gula, kadang juga di beri asam jawa, biar
sedikit ada rasa asamnya. Karena masakan pindang adalah merupakan masakan
khas di daerah Sumatera Selatan.
“Enak Jang pindangnya?” Tanya oleh
ibunya yang melihat anaknya begitu lahapnya ia makan, sehingga sampai ia
menambah makanya.
“Enak mak!” jawab Ujang yang sambil
ia menyuap makananya, ia lalu segera minum karena merasakan sedikit pedasnya
pindang itu.
Langit masih terang, cahaya matahari
hingga masuk kedalam rumahnya Siti, mereka baru saja usai makan, sejenak mereka
duduk rilek. Namun sebentar lagi Ujang
akan pergi ke sekolah.
No comments:
Post a Comment