Tuesday, 13 February 2018



KARMA
  


            Ditulis Oleh :


               M . Kamil

 SATU

Kabut  menyelimuti dusun yang masih di penuhi oleh pepohonan, sebuah desa yang
 masih sangat terpencil dari desa-desa lainya, walapun desa ini tidak begitu tertinggal. Sejuk oleh
pepohonan itu terasa sekali, sehingga kesejukan  itu seakan menusuk hati, melalui hembusan angin 
yang  menerpa tubuh.
            Azan subuh baru saja berlalu, terdengar  dengan jelas hempasan sungai yang mengalir begitu derasnya, dan memang benar karena masih banyak aliran sungai dan rawa-rawa, maka pendudduk di sini untuk makan ikan  lebih banyak memancing, atau dengan jala agar lebih banyak mendapatkan ikanya.
            Mata pencaharian di desa ini adalah sebagaian besar petani, banyak juga yang mencari ikan, kadang juga yang wanita menenun kain atau ada juga yang membuat tikar, meskipun ada juga orang yang pekerja sebagai pegawai pemerintah, namun sangat sedikit sekali. Walaupun  memang desa ini masih  tidak sangat terbelakang, namun  anak-anak saja mau sekolah harus berjalan hingga lima kilometer kedesa sebelahnya.
Tampak seorang ibu di cuaca yang masih sedikit gelap,  namun dingin pagi dan masih gelapnya alam tersebut, tak membuat dirinya bermalas-malasan, ia picu dirinya untuk segera bangun  dari tempat tidurnya, di terjangnya rasa kantuk,  karena dia  menyadari, bahwa dalam rumah tangga ini, ia sebagai ibu dan juga sebagai ayahnya dari anaknya yang semata wayang itu, suaminya telah lama meninggal, ia sekarang seorang  janda yang cantik jelita.
Kokok ayam nyaring terdengar,  suara burung yang berkicauan saling bersaut-sautan, yang berada di dekat rumah, pada sebuah desa yang disebut dengan desa Kasa, yang terdapat di kabupaten ogan Ilir, termasuk dalam wilayah Sumatera Selatan.
Terlihat seorang ibu yang melangkah dengan perlahan-lahan, ia menuju ke sungai yang bearda di belakang rumahnya, meskipun tampak gelap namun karena hal itu sudah kewajiban baginya tetap saja ia jalani dengan penuh semangat, karena di tempat itulah, sebagai tempat mandi, mencuci, juga air untuk makan dan minum, karena air sungainya masih bening dan jernih sekali. Sebab tidak ada penglihatan yang gelap, kecuali hati yang gelap.
Sudah merupakan rutinitas bagi warga didesa ini sehari-harinya, desa yang jauh dari jangkauan masyarakat desa lainya, karena itu kadangkala  informasi tempat lainya sangat lamban mereka terima, tinggal mereka yang memiliki televisi saja yang tahu informasi itu, itupun informasi daerah luar bukan informasi tentang daerah sekitar mereka.
Perlahan langit mulai keluar upuk nan merah, matahari sepertinya mulai akan terbit, namun terasa dingin masih saja menyelimuti tubuh, di pagi sudah tampak kesibukan yang di lakukan oleh Siti, ia baru saja mencuci singkong alias ubi kayu, karena baru itu yang dapat  mereka jadikan  sarapan pagi bagi mereka. Karena ubi kayu adalah memang tanaman mereka yang ada di dekat rumah, serta juga mereka menanamnya di areal perkebunan mereka, sebab itu juga yang dapat menunjang keuangan dalam rumah tangganya Siti, di samping bercocok tanam padi, kalau padi itu tanaman pokok mereka. Di samping ada juga tanaman cabe, juga sayur-sayuran lainya.
“ Ujang, bangun nak!” teriak Siti kepada anaknya yang hanya satu-satunya itu, yang sangat di sayanginya, karena anaknya itu pula ia bersemangat untuk menjalani  kehidupan ini, meskipun ia seorang ibu namun merangkap menjadi seorang ayah.
Bergerak-gerak perlahan anak itu, Ujang secara santai duduk terlebih dahulu, lalu barulah ia keluar dari kelambunya, setelah itu  berdiri dengan perlahan, mengambil handuknya, ia kemudian dengan tubuh yang bertelanjang bulat itu, berlari kecil menuju ke sungai yang tidak jauh dari rumahnya itu.
Meskipun ia sesungguhnya menuruni rumah panggung, yang tentu saja menuruni tangga, karena sudah biasa baginya, jadi tak lagi  ragu menuruni tangga rumah panggung itu, meskipun dalam keadaan berlari-lari kecil.
Setiba di air sungai yang mengalir itu, Ujang langsung saja melompat kedalam sungai, karena hal itu sudah biasa ia lakukan, sejak kecil ia sudah pandai berenang, di sana juga banyak terdapat ibu-ibu yang mulai berdatangan untuk mandi dan juga mencuci di pinggiran sungai tersebut.
Ia berenang di sungai itu dengan lincahnya, kesana dan kemari  Ujang berenang, sungguh pandai ia berenang, kemudian  mengambil sabunya untuk membersihkan tubunya, setelah itu  ia berenang kembali.
Sesaat itu Ujang lalu menuju ke daratan, ia lalu menmgambil kotak sabunya, dan Ujang perlahan melangkah menuju pulang, karena di rasakanya sudah cukup baginya untuk pagi ini.  Perjalanan menuju pulang juga ia berlari-lari kecil. Kadangkala ia  sambil bersiul-siul dengan gembira.
Setelah ia berada di rumahnya, ia segera memakai pakaian yang seadanya, tentu pakaianya sedikit lusuh namun bersih, dan masih layak untuk di pakai, meskipu pakaian itu bagi orang kaya tentu tak di gunakan lagi. Usai ia berpakaian, ia sudah didalam berpakaian yang tentu saja kadang kala masih di bantu oleh ibunya.  
“Ujang, kau makanlah  ubi juga ada yang ibu goreng !” ujar Siti kepada anaknya, ia lalu meletakan makanan itu di lantai yang hanya beralaskan tikar tersebut, karena memang  mereka makan hanya beralaskan tikar yang terbuat dari daun pandan, bukan makan di atas meja makan.
 Rumah tempat tinggal Ujang memang sangat sederhana, rumah panggung yang hanya berukuran empat  di kali lima meter itu, sebuah rumah yang hanya beratapkan daun rumbia itu, suatu rumah peninggalan suaminya yang sangat  sayang kepadanya dan anak-anak, oleh karena itu cinta kasih Siti kepada anaknya  sangat besar, melebihi dirinya sendiri kasih dan sayang kepada anaknya tersebut
Langit bersinar dengan terang, matahari sangat lantang menyinari bumi, tidak bersembunyi. Warga desa mulai menuju kesawah atau kekebunya, karena di hari yang terang dan bercahaya inilah,  untuk melaksanakan  cocok tanam di sawah  atau juga di perkebunan, kalau turun hujan, warga desa lebih banyak yang berdiam diri di rumah saja. Meskipun hujan juga  sangat di butuhkan sekali bagi para petani di desa ini. Maka dari itu jika diam di rumahnya mereka membuat tikar dari purun, sejenis rumput rawa, atau juga menenun kain songket.
Memang pada saat ini datang musim kering, meskipun demikian, saatnya bagi penduduk desa untuk membuat bibit padi, namun itu setiap pagi harus di sirami. Bila sudah menyirami  bibit padi itu, maka mereka menugal  maksudnya  adalah membuat lubang-lubang  di sawah  yang sedikit kering itu, nanti kalau bibit sudah besar tinggal mereka memasukan saja di lobang-lobang yang sudah mereka buat itu.
Terlihat masih ada di sawah-sawah itu yang berisi air, namun banyak rumput  air yang sudah di tumpukan di jalan-jalan sawah, misalnya bekas rumput enceng gondok. Karena sudah banyak di tumpuk di jalan-jalan itu sehingga menjadi tinggi di tempat itu.
Persiapan untuk menanam itu sudah di siapkan sebelum datang musim hujan. Misalnya pembuatan bibit padi, kadang-kadang sudah di tanam sebelum musim hujan datang.
“ Mak Ujang pergi mancing!” teriak Ujang, yang lalu turun dari rumah panggungnya itu, sambil ia membawa tran pancingnya, alat pancing yang terbuat dari bambu tersebut, dengan penuh rasa gembira ia melangkah menuju ke daerah rawa-rawa yang tidak terlalu jauh dari rumahnya itu..
Hal ini di lakukan oleh Ujang, karena ia membantu ibunya, untuk lauk makan dalam rumah tangganya, bahkan kadang-kadang hasil ikan itu banyak dapat di jual oleh Ujang dan  ibunya, sehingga hasilnya  juga dapat membantu kebutuhan dalam rumah tangga.
“ Ya pergilah, tetapi hati-hatilah nak!?” seru oleh ibunya Ujang yang merelakan buah hatinya, untuk anaknya pergi meninggalkan ibunya, yang tentu saja juga membantu dirinya dalam menunjang penghasilan dalam rumah tangganya itu. Walaupun sesungguhnya  hati dan  pikiranya Siti tak  mengizinkan  itu, namun itu  juga  yang menjadikan anaknya ceria sekali bila ia mendapatkan ikan  dari hasil memancing tersebut. Kadang-kadang ikanya ia jual sendiri dengan orang yang mau membelinya.
Terkadang Siti melamun, ia berkata dalam hati, bahwa ini sudah menjadi tugasnya untuk merawat anaknya hingga nanti  dewasa, berharap dapat berguna bagi dirinya sendiri, keluarga dan juga orang lain,” itulah yang kadang-kadang terngiang dalam telinganya. Ia pandangi anaknya dari kejauhan.
Di sadari oleh Siti bahwa dirinya  pada saat ini, ia adalah sebagai seorang ibu  yang bertanggungjawab, juga sebagai ayah untuk membimbing anaknya, kelak menjadikan anaknya yang bercita-cita mulia, pikirnya kembali. Sungguh tak pernah henti-hentinya ia selalu  berdoa, dalam doa sholatnya, di waktu berkerja dan waktu-waktu lainya.
 Sudah merupakan pekerjaan yang rutin bagi Siti, yaitu pagi –pagi sekali ia telah ke sawah atau keladangnya, terutama sekali ladang-ladang itu harus di bersihkan rumput-rumput yang  sudah mulai pada tumbuh di ladangnya itu, agar tanaman sayuran, antara lain mentimun, juga cabenya dapat tumbuh dengan baik, dan tentu saja kalau di rawat hasilnya akan sangat banyak serta bagus-bagus pula.
Selain itu untuk  tanaman sejenis padi, oleh karena itu Siti sangat giat menggarap tanahnya  mulai dari sekarang harus sudah di lobangi, atau juga di bajak, namun ia hanya dengan tenaga bukan di bantu dengan alat lainya, seperti bantuan kerbau atau sapi  untuk membajak sawahnya. Apalagi  dengan mesin traktor, ia  tak mampu untuk  membelinya  alat-alat tersebut.
Di saat sekarang ini bukan dia saja yang sedang  membajak  sawah atau ladang atau sawahnya, tetapi hampir Sembilan puluh persen penduduk yang berada di daerah  ini adalah seorang  petani, karena hanya itu yang dapat di kerjakan oleh Siti, menanam padi merupakan mata pencaharian yang pokok, bagi  dirinya,  karena  itulah  pula  yang dapat menunjang kehidupan  baginya sehari-harinya.
Sepertinya matahari mulai  sepenggal naik, kadang mulai terlihat penduduk di  desa ini  lainya yang menuju ke sawahnya, tentu saja untuk membajak sawah mereka, atau juga membersihkan rumput yang ada di ladang-ladang mereka.
Datangnya sinar matahari pagi memberikan semangat bagi manusia, terutama bagi petani yang ada di desa ini. Tampak burung-burung berkicauan  dengan berterbangan di udara, sungguh bersihnya alam desa membuat hewan menjadi betah berada di desa ini.
Panasnya terik matahari  sungguh telah menyengat tubuh, sehingga pekerjaan yang di lakukan kian bertambah,  ingin cepat untuk menyelsaikanya, namun karena di rasakan adanya hembusan angin yang terasa sejuk tiada di gubris adanya sengat panasnya matahari tersebut.
Sungguh maha besar Allah yang telah menciptakan, sehingga kehidupan desa yang terasa sejuk dan sejahtera lahir dan bantin, tidak membuat warganya mengeluh dengan keadaan yang terjadi, semua di rasakan itu adalah nikmat bagi mereka. Yang telah memberikan dan memperpanjang sisi  hidup  mereka  selama  ini,  besarnya  rasa syukur  itulah yang  menjadikan  desa ini  tetap  subur.
Mungkin rasa syukur ini juga  yang menjadikan warga ini menjadi damai antar mereka, rukun  dan tenang menjalani kehidupan desa yang jauhnya dari hiruk pikuk suara kendaraan. Dan jauh dari kesibukan manusia seperti yang terdapat di kota-kota.
Ada rawa-rawa yang besar di pinggiran desa, nah di sanalah kadang kala di jadikan untuk warga yang ingin memancing, namun di pinggiran rawa itu masih di tumbuhi oleh pohon-pohon yang besar. Juga terdapat hamparan rumput yang luas, oleh karena itu kadang kala di jadikan tempat hewan peliharaan yang di lepas di sana, apakah itu sapi, kerbau atau juga kadang-kadang kambing yang di ikatkan di sana.
Tampak di balik-balik rerumputan yang tinggi  itu ada sesuatu yang bergerak-gerak, sepertinya  ada sesuatu dibalik rerumputan tersebut, terrnyata   itu adalah seorang bocah  yang lagi duduk di pinggiran rawa-rawa, ia  ceria sekali, ia sepertinya tengah memancing ikan di tepi rawa itu.
Ia juga tak sendiri, karena ada seorang temanya  yang juga ikut memancing di tempat tersebut, namun ia agak berjahuhan di balik semak belukar, yang juga berada di pinggir rawa-rawa yang tidak jauh dari  tempat  itu juga. Karena untuk memancing ikan itu sesuai dengan keinginan mereka masing-masing.
Sepertinya pancing milik Ujang sedang   di tarik-tariik oleh ikan, Ujang tampaknya  sangat gembira, ketika pancingnya di tarik tersebut, dia biarkan sesaat ketika pancingnya di tarik oleh ikan, namun setelah itu pancing itu  secepatnya  ia lemparkan kedarat, dengan penuh rasa senang  dan penuh kegembiraan sekali ia, ketika ikan itu di dapatnya,  kemudian   teriaknya dengan kencang,”Horeeeeee!!!!!”
“Ujang ada apo ,” panggil oleh sahabatnya dari jarak kejauhan di balik semak-semak belukar yang  ada di  tepian rawa-rawa itu.
“ Aku dapat ikan !!!!” teriak oleh Ujang, betapa gembiranya ia, ikan itu ikan  sepat siam, hingga beberpa kali ia mendapat ikan tersebut, ikan itu  lalu ia kumpulkan pada sebuah tas kecil yang biasa ia bawa. Tas itu  yang memang  untuk  ia  siapkan  sebagai  tempat menyimpan  ikanya  kalau  ia  dapat  ikan jika  memancing.
“ Ihsan, aku pulang dulu ya!” panggilnya oleh Ujang kepada temanya, yang juga bersamanya sedang memancing ikan tersebut. Ia tampaknya merasa sudah cukup dengan ikan yang di perolehnya.
“ Baiklah Jang kalau begitu, hati-hati ya  Jang!” di balas oleh sahabatnya, yang merasa belum cukup pendapatanya  untuk  hasil memancingnya tersebut.
Di sisi lain ada juga temanya yang sedang memancing yang  sudah mendapatkan ikanya,  lalu ia  menyapa,”Ujang kau mau pulang ya?”
“Ya, aku rasa sudah cukup banyak aku  mendapatkan ikanya,” jawab oleh Ujang, ia lalu begegas  berlari-lari kecil ingin pulang, ia ingin  dengan  segera memberitahukan pada  ibunya bahwa  ia  dapat  ikan  yang banyak.
“ Tunggu Ujang, aku mau pulang juga, sama-sama saja kita pulangnya!” panggil temanya yang bernama Ihsan atau kadang juga di panggil Ujok itu, yang kemudian ia bergerak cepat mengiringi  Ujang  yang dengan segera melangkah pulang itu. Ujok  juga  ikut  lari-lari  kecil  menyusul Ujang  yang  sudah  lebih  dulu  itu.
Secara bersamaan  mereka pulang,  terlihat gembira sekali mereka pulang dengan membawa ikan hasil memancing tersebut, sambil berlompat-lompatan  mereka  menuju pulang membawa  ikan  hasil memancing tersebut.
“ Banyak Ujang kau dapat ikanya?” Tanya oleh sahabatnya yang bersama denganya menuju pulang          . ia  berdampingan  dengan Ujang tersebut, memang  mereka  berdua  adalah bersahabat.
Sambil berlari-lari kecil dengan gembiranya, karena telah banyak mendapat ikan, Ujang dengan santainya ia berkata,” enam ekor aku dapat ikan besar-besar!”
Ikan itu lalu ia tunjukan pada temanya, ternyata begitu juga temanya yang dengan bangga menunjukan hasil ikan yang dia peroleh. Bukan  kepalang bangganya  mereka  dengan hasil  ikan  yang  mereka  dapat  itu untuk  segera di bawa pulang.
“Ayolah kita pulang!” teriak oleh temanya  yang sedang mengikuti Ujang yang lagi lari-lari kecil itu.
Bersama-sama ia seakan bernyanyi, karena gembira telah mendapatkan ikan hasil mereka memancing tersebut, meskipun jalan sawah, yang  berada di  pinggiran rawa- rawa itu kecil yang  hanya  dengan  setapak, dengan berlari-lari kecil namun mereka sangat lincah melaluinya. Karena  jalan  ini  sudah  biasa  ia  jalani.
Langit makin cerah, matahari mulai bersinar dengan terangnya, petani mulai ada yang membajak sawahnya, yang berada  tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Karena  harus segera di bajak, kalau terlambat akan terlamnat pula panenya.
“Enak ya Ujang, ikan kau dapat besar-besar!” ujar sahabatnya yang bersama-sama dengan  melangkah menelusuri  jalan setapak di pinggir sawah tersebut.
Dari  kejauhan sesungguhnya  sudah tampak rumahnya Ujang, mereka sudah berpisah dengan temanya, di jalan setapak itu, temanya menuju  kejalan sebelah kiri  sedang Ujang jalan lurus saja.
Pada saat akan menuju pulang Ujang sangat gembira sekali, ketika itu ada seorang ibu-ibu menyapanya, “ hei aku beli ikanya, mau?”
“Boleh juga,” jawab oleh Ujang, yang kemudian ia berikan ikan itu pada ibu tersebut, kemudian ia menerima sejumlah uang.
“Terima kasih wak!” jawab oleh Ujang ketika ia telah menerima uang hasil penjualanya dengan ibu tersebut, ia lalu segera menuju pulang, tentu saja Ujang tampak kotor tubuhnya dari memancing di rawa-rawa itu.
Selanjutnya Ujang segera menuju pulang, di saat akan melalui sekelompok anak-anak seumurnya yang sedang bermain ia hanya lewat saja, tak ia perdulikan anak-anak itu bermain, karena ia harus menjual ikan atau segera pulang.
“Hei anak lebak, masih jual ikan ya!?” teriak  oleh anak-anak yang sedang bermain itu, yang melihat Ujang lewat di dekat mereka, namun Ujang tak ia perdulikan ejekan itu kepadanya.
Ujang hanya merunduk, seperti tak ia dengarkan ejekan itu, ia melangkah begitu saja dari hadapan mereka. Dengan langkah yang terburu ia meninggalkanya, begitu saja dari anak-anak itu.
“Cari makan di dusun apa anak lebak,!” teriak oleh seorang anak yang seumur dia, dengan berkata kasar, tetapi Ujang tetap diam dan terus saja ia meninggalkan sekelompok anak-anak yang tengah bermain itu.
Ujang  melanjutkan menuju pulang, namun ia melalui sebuah warung kopi yang ada di dekatnya itu, karena perutnya merasa lapar, ia lalu mendekati warung kopi itu. Pada saat itu ia hanya berdiri. Sesungguhnya ia ada memiliki uang hasil jual ikan. Namun pemilik warung itu hanya diam, seakan tak perduli akan kehadiranya. Mungkin badanya yang kotor dan lusuh itu.
Mereka makan makanan di warung kopi itu, mulai dari gorengan, pisang goreng dan lainya, ada makan yang sedikit rusak, tetapi bukan tak dapat dimakan hanya  kurang baikbaik saja, namun masih dapat di makan, tetapi pemilik warung itu melemparkan pada tong sampah yang kebetulan berada di dekat Ujang berdiri. Ujang hanya menggososk-gosok perutnya dan keronkonganya. Pikirnya, makanan itu masih bagus kok di buang, sayang sekali.
“Pergi….!!”
Ujang hanya tertegun diam.
Seorang laki-laki berdiri  dan membentaknya, Ujang jadi kecut dan saegera ia berlalu dari hadapan mereka. Ujang melangkah dengan lemah, semanagt menjadi kendor. Sesekali ia berlintasan dengan orang yang kadang tak perduli denganya, kadang ada saja anak yang seumurnya yang mengolok-oloknya…serta menghina…gila..gila.    
Ketika ia berjalan sudah mendekati  rumahnya, seakan ia tak pernah mengingat apa yang  terjadi apa yang di lakukan orang kepadanya,  Ujang dengan lincah dan rasa tak sabar lagi ia segera tiba di rumahnya. Sehingga  ia  masih  saja  melompat-lompat  karena  gembiranya ia mendapatkan ikan. Ikan yang di perolehnya dari memancing itu, tak seluruhnya dia jual, masih ada sisa yang dapat ia bawa pulang. Tak mau ia ceritakan pada ibunya tentang  penghinaan orang kepadanya.
“ Emaaaakkkk, aku dapat ikan banyak mak, tapi ada juga yang sudah aku jual Mak, ini uangnya Mak!!!!” teriak Ujang  dari kejauhan meskipun jarak     rumahnya masih jauh, namun ia sudah meneriakan bahwa ia dapat ikan yang banyak sekali.
Beberapa  kali  ia  berlintasan  dengan orang  lain, yang  mau  menuju ke  sawahnya  di  pagi  itu, tetapi ada juga  mereka  yang  sangat  senang  jika  melihat Ujang  yang  penuh  ceria  itu.terutama ibu-ibu.
Ibunya melihat dari kejauhanm ia tersenyum, dalam hatinya hanya berkata, sungguh anaknya   ceria sekali, apalagi kalau ia dapat ikan yang banyak, masih kecil namun sudah berpikir seperti orang dewasa saja.
Dari kejauhan ia sudah berteriak memanggil ibunya. Hal itu sebagai kegembiraanya yang telah mendapat ikan dari hasil memancingnya.
Seorang ibu yang juga tetangga  dari keluarganya Ujang  menyapa,”Jang  dapat ikanya Jang!”
“Ya, wak aku dapat banyak !” ujar Ujang dengan penuh rasa gembira sekali, sambil ia tunjukan ikan itu  pada seorang  perempuan yang datang  berlintasan denganya itu.
“Ya Jang, bawalah pulang dulu, dan bilang pada makmu , wak mau beli Ikan Ujang, nanti wak kerumahmu, wak mau ambil sayuran dulu, jangan lupa ya Jang?” pesan perempuan itu kepada Ujang  yang saat itu menunjukan ikan kepadanya.
Ujang tampak sangat senang sekali  ketika ikanya sudah di pesan oleh ibu-ibu tersebut, karena itu sambil ia anggukan kepalanya Ujang berkata,” Ya Wak , nanti aku sampaikan  pada emak!”
“Ya sudah, pulanglah!” perintah perempuan itu  dengan segera pula menuju ke arah ladangya, di  sana  juga  tempatnya menanam sayurnya yang tidak jauh dari  tempat ia sedang bertemu dengan Ujang tersebut,
Begitu juga Ujang, ia segera saja melangkah menuju pulang, meskipun demikian ia sesungguhnya  sudah di lihat  oleh ibunya, karena ia tahu kalau anaknya itu orang rajin dan selalu giat  membantu dirinya, meskipun sesungguhnya ibunya  tak pernah memerintahkan Ujang untuk mencari ikan tersebut. Kalau Ujang di larang agar tidak saha  memancing maka hal itu justru  akibatnya  akan  menambah  ia  kecewa saja,  maka itu  ia  relakan  anaknya untuk mencari  ikan tersebut.
“ Mak, ini Mak aku dapat ikan, tadi juga ada yang ku jual mak!” Ujang langsung menujukan ikan hasil pancinganya, ketika ia telah bertemu dengan ibunya.”Oh, ya Mak, tadi  Ujang bertemu dengan Wak Mas, katanya ia mau membeli ikan hasil pancingan  Ujang ini mak.”
“Ya, Ujang, Tapi Mak mau lihat dulu  hasil ikan yang kau dapat, kalau banyak ya, kita jual sebagian, lalu sebagain lagi kita makan nak,” ujar oleh Siti kepada anaknya yang telah memperoleh ikan tersebut. Sambil ia  menyambut  tas  Ujang  yang  berisi ikan tersebut.
Siti langsung mengambil ikan yang di berikan oleh anaknya Ujang, ia lihat  dengan seksama. Ternyata benar ikan itu   berjumlah empat ekor namun besar-besar. Karena dua ekornya sudah ia jual di saat akan menuju pulang.
Waktu hampir menjelang tengah hari, matahari telah bersinar sangat hangatnya, sehingga ia tahu dan ingat bahwa Ujang akan sekolah.
Terkadang terdengar suara Azan dari Musolah yang ada di dalam desa tersebut, kadangkala tak  ada betul yang mensuarakan Azan   di desa itu, Semua seakan sibuk dengan kegiatan mereka saja, atau hanya sholat di rumah.
Panasnya matahari telah menyinari desa, namun biar demikian bukan melemahkan semangat warga desa, tetapi justru sebaliknya, panasnya matahari telah membakar aroma kerja yang membara, hanya istirahat sejenak saja,  sekedar mengisi perut mereka dengan lauk pauk yang hasilnya di peroleh dari sungai yang  ada  di  desa, yaitu ikan-ikan, serta sayuran yang ada di ladang mereka, lalu  para petani di desa itu  melanjutkan pekerjaan kembali, menurut  kegiatan  mereka masing-masing.
Terdengar suara burung yang berkicau, burung yang bertengger di pepohonan, meskipun panasnya matahari, namun karena banyaknya pepohonan maka masih terasa sejuk di desa ini.
Tetapi juga ada orang yang datang dari desa lain, yang sengaja berburu hewan di desa ini, mulai dari burung, juga hewan lainya. Seperti babi, burung –burung atau  juga hewan-hewan  lainya.
Tampak pula terdengar bunyi kokok ayam jago, ia bersuara saling bersaut-sautan, hingga terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Pohon musiman sepertinya mulai berkembang, seperti buah duku, buah durian yang tampak mulai ada putik-putik bunga, maka itu biasanya pertanda akan ada buahnya nanti. Terelihat juga penduduk desa yang  memiliki tanaman buah-buahan  itu  mereka  merawatnya,  yaitu  dengan  merumput  dan  membersihkanya  yang  ada  di  bawah  itu.
Tampaknya Sibuk sekali, ibunya Ujang membersihkan ikan hasil dari Ujang memancing itu. Sepertinya  ikan itu akan di buatnya menjadi masakan  pindang, pindang merupakan makanan khas Sumatera Selatan, bahanya dari ramuan tumbuhan alami, mulai dari lengkuas, serai, juga kunyit, ditambah garam, gula, kadang juga di beri asam jawa, biar sedikit ada rasa asamnya. Karena masakan pindang adalah merupakan masakan khas  di daerah Sumatera Selatan.
“Enak Jang pindangnya?” Tanya oleh ibunya yang melihat anaknya begitu lahapnya ia makan, sehingga sampai ia menambah makanya.
“Enak mak!” jawab Ujang yang sambil ia menyuap makananya, ia lalu segera minum karena merasakan sedikit pedasnya pindang itu.
Langit masih terang, cahaya matahari hingga masuk kedalam rumahnya Siti, mereka baru saja usai makan, sejenak mereka duduk  rilek. Namun sebentar lagi Ujang akan pergi ke sekolah.


No comments:

Post a Comment

Sorga atau neraka

 Sorga itu sudah ada di dunia Hanya sedikit yang mau Banyak manusia lebih memilih dunia Jika dalam gembira kau gelisah Jika dalam susah kau ...