Wednesday 10 August 2016

Dunia Peradilan Kita Terluka Parah    
Dua kasus  di Jakarta  dan satu  kasus  di  Kepahiang  itu  sebagai  Gunung Es  yang apabila  mau serius  di keruk lebih dalam , puluhan  bahkan  ratusan bongkahan es kasus  serupa  mudah di temukan.
          Sungguh Dunia peradilan kita sedang  terluka parah, dua kasus tersebut  yaitu  kasus yang terkait penanganan  perkara di Mahkamah  Agung belum selesai diusut,  lalu pada (23/5) Senin, dua Hakim  tindak pidana Korupsi ditangkap  oleh Komisi  Pemberantasan  Korupsi(KPK)  di Pengadilan  Negeri  Kepahiang, Bengkulu, Kota  kecil yang sunyi.
          Dua kasus  ini  seperti  saling  bersautan, dua kasus  suap dengan  tersangka Andri Tristianto Saputra,  pegawai  di   Mahkamah  Agung, dan Edy  Nasution,  panitera  Pengadilan   Negeri Jakarta   Pusat,  melibatkan  hakim  atau tidak ,  namun aroma  suap  membuat  peradilan  kita  makin  terpuruk.  Kasus  tertangkapnya  dua  hakim  tindak  pidana  korupsi  di  Kepahiang  semangkin  menyakinkan  bahwa  suap- menyuap  di  pengadilan  sudah  menjadi  kenyataan yang  memalukan sekaligus  memilukan.
          Kita ketahui  bahwa  sebelumnya, di  Medan,  Ketua  Pengadilan  Tata Usaha  Negara yang juga  terjaring  operasi  tangkap  tangan  KPK.  Melihat hal ini, Mahkamah  Agung  Tergagap-gagap dan kehilangan  kata-kata  untuk  menjelaskan  mengapa  terus  terjadi    penyuapan  terhadap  pemegang  otoritas  keadilan  itu.
          Menjadi pertanyaan  sekarang,  bagaimana  dengan  pengawasan  dari  Badan Pengawasan  ketua  Pengadilan  Tinggi  terhadap  hakim-hakim  dan aparat  pengadilan berserta  jajaranya.
          Apakah  yang  menjadi  faktor  penyebab maraknya  praktik suap di  pengadilan.  Tidak  perlu jauh-jauh  mencari  kambing  hitam dari faktor  exsternal.
          Antara  lain  adalah  beberapa faktornya,  internal  yang  diduga  kuat menjadi  penyebab  suburnya penyuapan  kepada  aparat  pengadilan.  Pertama,  tentu rendahnya  integritas  para hakim.  Kedua ,  karena  serba  tertutupnya  pengadilan  dalam  membuka  akses  informasi  yang  di  perlukan  masyarakat.
          Ketiga,  dalam  membuat  putusan, para hakim  nyaris  tanpa  pertanggungjawaban  kepada  institusi   horinzontal  maupun  vertical. Para hakim  begitu  mudah  berlindung  di balik  kebebasan  hakim.  Siapapun   dan institusi  manapun  tidak  boleh  mencampuri  hakim  dalam  mengadili  dan  memutus  perkara .  Hal  ini   yang sering  menjadikan  bungker  bagi  para  hakim  untuk  memainkan   perkara  yang  di  tanganinya.
          Menurut  catatan  Koalisi  Pemantau  Peradilan,  dua  hakim  tindak pidana  korupsi(tipikor),  Janner Purba  dan  Toton,  adalah  hakim  tipikor  keenam dan  ketujuh  yang di  tangkap  KPK.  (kompas.com.24/5/2016).
          Selanjutnya, Hakim tindak pidana  korupsi  yang  pertama  terjerat  kasus  korupsi  adalah  Kartini  Juliana Madgdalena  Marpaung,  hakim  pada  pengadilan  Tipikor Semarang itu di tangkap  oleh KPK  pada 17  Agustus  2012.
          Hakim wanita , Kartini di tangkap  bersama  dengan  Heru  Subandono  yang  juga  hakim  di  Pengadilan Tipikor  Pontianak.  Keduanya  tertangkap  tangan  seusai  melakukan  transaksi  suap  di  halaman  Pengadilan   negeri  Semarang.
                Selain itu, KPK  juga  pernah  menahan  hakim Pengadilan  Tipikor  Semarang,  Pragsono,  di tetapkan  sebagai  tersangka   kasus  dugaan  suap  penanganan  perkara  korupsi  di  DPRD  Grobogan ,  Jawa  Tengah ,  pada  Desember  2013.  KPK  menetapkan  Pragsono  sebagai  tersangka   sekitar  Juli  2013.  Dia  di  tetapkan   sebagai  tersangka  bersama  dengan  Hakim  ad hoc  Tipikor  Palu,  Sulawesi  Tengah, Asmadinata.
          Juga termasuk  hakim ad hoc   Pengadilan  Tipikor  Bandung, Ramlan  Comel. Ramlan  di tahan  KPK  sebagai  tersangka  kasus dugaan  suap   penanganan  perkara  korupsi  bantuan  social  di  kota  Bandung.
          Jadi  jika  yang  tertangkap  tangan  kebanyakan  hakim  tipikor  yang  bertugas  mengadili  para  terdakwa  koruptor,  sungguh  sangat  ironis.  Hakim  yang  korup  sehari-hari  menangani  perkara  korupsi. Jadi,  hakim-hakim  koruptor   harus  mengadili  para  koruptor.
          Apapun  yang  akan  terjadi  hakim-hakim  yang  bermental  koruptor  itu  akan  kehilangan  sensitivitas   ketika  menangani  kasus   atau  perkara  korupsi,  sebab  yang  tersimpan  di  dalam  benaknya   seolah  melakukan  korupsi  itu  adalah  hal  biasa.  Mereka  akan  kehilangan   penghayatan  ketika  menuliskan  pertimbangan  hukum.  Hakim  yang  di  harapkan  memutus  dengan  obyektip  dikhawatirkan  akan  lebih  mengedepankan   subyektivitasnya.
         Dari  hasil  data  yang  di  peroleh pada  Pengadilan  Negeri  Begkulu.Kamis( 26/5/2016).  Janner  dan  Toton  Kerap  satu  majelis  mengadili  perkara  korupsi. Dari  ketokan  palu  keduanya,  umunya  para  terdakwa  di  vonis  ringan,  bahkan  sepuluh  di  antaranya  di  vonis  bebas.
          Seorang Hakim yang   menghukum   ringan  dan  membebaskan  terdakwa  bukanlah  hal  yang   dilarang.  Yang  tercela  adalah  jika  hakim  menghukum  ringan    dan  membebaskan  terdakwa  karena  di  suap.
          Sesungguhnya   seorang  hakim,  yang  menerima  suap  dan  korupsi  sangat  bertentangan  dengan  tuntutan  profesionalisme  seorang   hakim  itu  sendiri. Profesi  hakim  adalah  benteng  terkahir  dalam  integrated  justice system  di  Negara  manapun.  Didalam  diri  seorang  hakim  di  personifikasikan  berbagai  symbol  kearifan.  Kode  etik  hakim  memuat  janji  hakim  untuk  menjalankan  profesi  luhur(of ficium  nobile)  ini.
          Sedangkan  untuk  di  Indonesia  keluhuran  martabat  hakim  mengacu   pada  symbol-simbol   kartika’cakra,’candra’, ‘sari ‘ dan  ‘tirta’.  Sipat  Kartika (bintang)  melambangkan   ketagwaan  hakim  pada   Tuhan  Yang  Maha  Esa, lalu  dengan  kepercayaan  masing-masing  menurut  dasar  kemanusiaan  yang beradab.
          Selanjutnya  sipat  ‘Cakra’  (senjata  ampuh  penegak  pengadilan)  melambangkan  sipat  adil,  baik  di  dalam  maupun  di  luar  kedinasan.  Dalam  kedinasan,  hakim  bersipat  adil  tidak  berprasangka  atau  menebak,  bersungguh-sungguh  mencari  kebenaran  dan  keadilan,  memutuskan  berdasarkan  keyakinan  hati  nurani,  dan  sanggup  mempertanggungjawabkan  kepada  Tuhan.
          Sipat  ‘Candra’  (bulan)  melambangkan  kebijaksanaan  dan  kewibawaan.  Dalam  kedinasan,  hakim  harus  memiliki  kepribadian,  bijaksana, berilmu,  sabar,  tegas,  disiplin  dan  penuh  pengabdian, ingin  maju, dan  bertenggang  rasa.
          Kemudian  bersipat  ‘Sari’  (bunga  yang  harum)  yang  menggambarkan  hakim  yang  berbudi  luhur   dan  berperilaku  tanpa  cela.  Dalam  kedinasanya  ia  selalu    tawakal,  sopan,  bermotivasi  meningkatkan  pengabdianya,  ingin  maju  dan  bertenggang  rasa.
          Terakhir  ia  bersipat  ‘Tirta’ (air)  melukiskan  sipat  hakim  yang  penuh  kejujuran(bersih),  berdiri  di  atas  semua  kepentingan ,  bebas  dari  pengaruh  siapapun  tanpa  pamrih,  dan  tabah.
          Kita  perhatikan   pada  tujuh  hakim  tipikor  yang  tertangkap  tangan  karena   suap   dan  hakim-hakim  lain  yang  berprilaku  sama.Mereka  sudah  kehilangan  sifat-sifat  yang  seharusnya  di  sandang  seorang  pengadil.
          Jika  sifat-sifat   itu  sudah  tidak  melekat  pada  mereka,  mereka  telah  kehilangan  predikat  yang  mulia. Tugas  Mahkamah  Agung  dan  segenap  pemangku  kepentingan   adalah  menyelamatkan  ribuan  hakim  yang  masih  baik.
          Jadi  sikap  permisif  yang  selama  ini  di kesankan  pimpinan  MA  akan  melapangkan  jalan  bagi  hakim-hakim  yang  terhormat  menjadi  tercela. Sebuah  Negara  yang  berkeadilan  akan  semangkin sulit  terwujud  jika  pilar-pilar  keadilan. Yakni  para  hakim  kita. Masih  koruptif.                                 
                     

            

No comments:

Post a Comment

Sorga atau neraka

 Sorga itu sudah ada di dunia Hanya sedikit yang mau Banyak manusia lebih memilih dunia Jika dalam gembira kau gelisah Jika dalam susah kau ...