Wednesday 5 June 2019

Perkawinan beda agama


PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF KRISTEN DAN ISLAM
Oleh: M. Sahrul Murajjab
Pendahuluan
Perkawinan merupakan satu pilar penting yang tak terpisahkan dari tata sosial kehidupan umat manusia sejak awal keberadaannya di muka bumi. Sejarah menceritakan kepada kita bahwa hampir seluruh peradaban yang pernah ada, termasuk peradaban-peradaban klasik seperti peradaban Babilonia, Mesopotamia, Yunani, Mesir Kuno, Ibrani, maupun Aramaic dan lain-lain, menaruh perhatian besar terhadap adanya ikatan perkawinan ini.[1] Agama-agama (besar) yang pernah ada dimuka bumi juga mempunyai perhatian yang kurang lebih sama.
Secara umum, hampir keseluruhan agama-agama tersebut memiliki pandangan yang menempatkan perkawinan pada posisi yang cukup penting.[2] Karena itu, tidak aneh jika agama-agama memiliki aturan-aturan dan pedoman sebagai tuntunan kepada para pemeluknya agar perkawinan yang mereka lakukan dapat mencapai tujuan ideal seperti diharapkan.
Dalam kaitan ini, agama-agama memiliki aturan mengenai persoalan pernikahan beda keyakinan (interrreligious marriage) yang terjadi diantara pemeluknya. Secara garis besar, mayoritas agama-agama –termasuk Islam dan Kristen sebagaimana akan dibuktikan nanti– memandang perkawinan beda agama adalah sesuatu yang terlarang atau setidaknya “tidak menganjurkan” (discourage). Kenyataan ini tentu bisa dipahami karena pada dasarnya setiap agama memiliki doktrin “ekslusivisme”, sebagaimana pula bahwa masing-masing agama baik secara eksplisit maupun implisit saling mengklaim kebenaran dan ’memonopoli’ jalan keselamatan yang dikenal dengan istilah the conflicting truth claims. Dimensi eksklusif beserta segala derivasinya itulah yang sedikit banyak berpengaruh pada doktrin dan sikap etis agama tersebut, termasuk diantaranya larangan pernikahan beda agama sebagaimana disinggung diatas.
Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mencoba menggali lebih jauh hukum pernikahan beda agama baik menurut versi agama Kristen maupun Islam, dimana pada masa sekarang ini, -setidaknya menurut penulis- tema ini menjadi signifikan di saat pernikahan beda agama seringkali ramai dibicarakan sebagai satu hal yang kontroversial, terlebih seiring dengan semakin menghegemoninya globalisasi yang membawa nilai-nilai baru ke dalam masyarakat seperti paham pluralisme dan gerakan liberalisasi agama, serta munculnya gagasan-gagasan baru yang bertugas mendekonstruksi sekat-sekat ’primordialisme keagamaan’ dibawah naungan apa yang diperjuangkan –diantaranya–oleh John Hick sebagai global theology.
Akibatnya, kini masyarakat kita telah semakin mudah menjumpai “pendapat-pendapat baru” dalam diskursus keagamaan (baik Islam maupun Kristen) mengenai keabsahan perkawinan lintas agama, yang juga diperkuat oleh kenyataan maraknya fenomena pernikahan beda agama yang diramaikan pula oleh kalangan public figure dari para artis dan selebritis dengan menampilkan “tontonan live show” yang kemudian justru sering dijadikan “tuntunan” oleh banyak generasi muda sekarang.
Pernikahan Beda Keyakinan dalam Perspektif Kristen
Agama Kristen memandang perkawinan sebagai sebuah lembaga penting yang memang dikehendaki keberadaannya oleh Tuhan. Dia-lah yang berinisiatif menjodohkan Adam dengan Hawa dan mengawinkan keduanya dalam suatu ikatan perkawinan yang kudus.[3] Kristen juga menghendaki bahwa perkawinan akan berlangsung selamanya (sehidup semati) karena sebuah pasangan suami istri telah melebur menjadi satu daging[4] dan tidak dapat dipisahkan.[5] Kitab Perjanjian Baru mengharuskan agar perkawinan diletakkan pada tempat yang terhormat dan tidak dikotori oleh adanya perzinaan.[6] Perjamuan Perkawinan bahkan digunakan oleh Jesus untuk mengumpamakan kerajaan Tuhan.[7]
Menimbang sedemikian pentingnya arti sebuah perkawinan, agama Kristen menghendaki terciptanya sebuah perkawinan yang ideal, yaitu perkawinan yang dapat membawa pasangan suami-istri secara bersama-sama mewujudkan persekutuan hidup menuju kesempurnaan cinta dan kesucian. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.
Dengan tujuan-tujuan itu, pemeluk Kristen dilarang dengan tegas untuk melakukan ikatan perkawinan dengan dengan pemeluk agama selain Kristen, yang dalam Alkitab Perjanjian Baru disebut sebagai “orang-orang yang tidak percaya”.[8] Dalam II Korintius 6:14 yang merupakan teks utama sandaran pelarangan perkawinan beda agama, dinyatakan: “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”.
Dalil lain yang sering juga dijadikan sebagai dasar larangan perkawinan dengan pasangan diluar Kristen adalah yang tertulis dalam salah satu bagian di Perjanjian Lama, Ulangan 7:3, “Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki.” Hukum larangan ini kemudian dipertegas melalui undang-undang Kitab Hukum Kanonik Gereja yang menyebutkan bahwa kawin beda agama ini tidak sah karena merupakan halangan.[9]
Pertimbangan lain yang mendasari larangan kawin beda agama ini, menurut pendapat seorang Romo yang namanya kami sebutkan dalam catatan kaki dibawah ini, adalah adanya sebuah norma moral dasar bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Karena iman, merupakan suatu nilai yang amat tinggi yang perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.[10]
Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, dengan alasan kompleksitas dan pluralitas situasi masyarakat, Gereja kemudian membolehkan adanya perkawinan campur dengan syarat memperoleh “dispensasi” dari Uskup. Persyaratan mendapatkan Ijin atau Dispensasi adalah sbb:[11]
  1. Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dididik dalam Gereja Katolik.
  2. Pihak yang non-Katolik diberitahu pada waktunya mengenai janji-janji yang harus dibuat pihak Katolik, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik.
  3. Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan serta sifat-sifat hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.
Berbagai syarat tersebut diberikan dengan sejumlah syarat yang diletakkan atas dasar kepentingan pemeliharaan rohani pihak yang bersangkutan.[12] Kurang lebih senada dengan Kitab Hukum Kanonik, dalam Tata Gereja GKI, atau tepatnya dalam Tata Laksana, Bab X, pasal 30, ayat 9b ditulis demikian:
Jika salah seorang calon mempelai bukan anggota gereja (baca: bukan Kristen), ia harus bersedia menyatakan secara tertulis dengan formulir yang ditetapkan oleh Majelis Sinode bahwa :
  1. a. Ia setuju pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani.
  2. b. Ia tidak akan menghambat atau menghalangi suami / isterinya untuk tetap hidup dan beribadat menurut iman Kristiani.
  3. Ia tidak akan menghambat atau menghalangi anak-anak mereka untuk dibaptis dan dididik secara Kristiani.”[13]
Kenyataan ini menegaskan paparan sebelumnya, bahwa pada prinsipnya agama Kristen “keberatan” dan “khawatir” dengan terjadinya sebuah perkawinan antara pemeluknya dengan pemeluk agama lain. Bahkan dalam Buletin KABAR yang diterbitkan oleh Komsos Paroki St. Mikael, Kranji Bekasi dinyatakan dengan tegas bahwa ”Gereja menganjurkan agar sedapat mungkin perkawinan terjadi antar sesama umat Katolik”.[14]
Namun di luar mainstream Kristen seperti yang dipaparkan di atas, terdapat penafsiran lain terhadap ayat yang sering dijadikan landasan larangan perkawinan beda agama, yaitu ayat II Korintius 6:14 di atas. Menurut penafsiran tersebut yang juga sekaligus menolak pendapat umum Kristen diatas mengatakan bahwa konteks ayat itu sejatinya tidak ditujukan untuk melarang atau mendukung seorang Kristen menikah dengan orang non-Kristen, melainkan lebih ditujukan bagi para pemeluk Kristen baru, yang pasangannya masih memeluk kepercayaan yang lama.
Menurut penafsiran ini tujuan yang ingin dicapai adalah agar orang-orang Kristen benar-benar dapat menerapkan kekudusan dalam hidupnya dan tidak lagi terjatuh dalam kehidupan cemar yang masih menjadi gaya hidup pasangan barunya. Mereka dipanggil untuk menularkan positive influence bagi pasangannya yang belum percaya.[15]
Pendapat ini, meskipun boleh dibilang ”cukup liberal” dan menentang mainstream pengharaman nikah beda agama dalam Kristen, namun tidak dapat dipungkiri masih menyimpan resistensi terhadap hal-hal yang dianggap akan membahayakan keimanan seorang pemeluk Kristen dari pasangan hidupnya yang non-Kristen.
Pernikahan Beda Keyakinan Menurut Agama Islam
Dibanding Kristen, pendekatan Islam terhadap persoalan pernikahan tampak jauh lebih lengkap dan komprehensif. Luasnya spektrum persoalan ini menjadi salah satu bukti kelebihan Islam yang tidak dimiliki agama-agama lainnya dalam memandang berbagai aspek persoalan kehidupan manusia.
Terkait masalah yang dimaksud dalam pembahasan makalah ini, umat Islam mempunyai warisan intelektual (turāts) teramat kaya yang berasal dari berbagai generasi sejarah dan telah dibahas secara panjang lebar dalam bab-bab fiqh (jurisprudensi Islam) atau bahkan ratusan jilid buku di bawah tema yang biasa dikenal istilah fiqh al-nikāh, fiqh al-munākahāt ataupun fiqh al-ahwāl al-shakhşiyyah.[16] Buku-buku kodifikasi haditspun lazimnya juga menempatkan bab khusus yang menghimpun sabda-sabda Nabi SAW mengenai persoalan pernikahan tersebut, sebagai penjelasan langsung dari apa-apa yang terkandung dalam al-Qura’an baik secara eksplisit (manthūq) maupun implisit (mafhūm).
Dalam perspektif Islam, pernikahan dipandang sebagai salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah (QS. Al-Rūm:21) yang telah menjadikan manusia hidup berpasang-pasangan, sebagaimana fiţrah keharmonisan alam semesta yang juga senantiasa diciptakan berpasang-pasangan (QS. Yā Sīīn:36 dan QS. Al-Dzāriyāt:49). Nature keberpasangan inipun disempurnakan eksisistensinya oleh Allah dengan menjadikannya sebagai sebuah nikmat agung yang dihadiahkan kepada manusia (QS. Al-Baqarah:35, QS. Al-Rūm:21 dan QS. Al-Nahl:72) dan dikukuhkan sebagai “tradisi” hamba-hambanya yang terpilih yaitu para Nabi dan Rasul (QS. Al-Ra`d:38).
Melalui risalah Nabi penutup, “tradisi” para Nabi ini oleh Allah kemudian dijadikan sebagai salah satu ajaran (syari`at) yang seyogyanya dikerjakan dan pada tataran idealnya ditujukan sebagai salah satu sarana mencapai kesempurnaan kesalehan yang diharapkan. Dalam konteks inilah Nabi SAW menyatakan bahwa “barangsiapa yang diberi oleh Allah karunia berupa seorang istri yang salehah, maka artinya Allah telah membantunya (dalam memelihara) separuh agamanya. Maka hendaknya ia berhati-hati/mewaspadai separuh bagian lainnya.”[17]
Melalui pernyataan ini, Rasulullah tampaknya mengindikasikan bahwa pasangan yang memiliki kesalehan semestinya menjadi pertimbangan paling penting dalam memilih pasangan hidup. Untuk itu pada kesempatan lain Nabi SAW menegaskan bahwa religiusitas-keislaman (al-dīn) menjadi variabel utama yang harus diperhatikan dalam memilih pasangan.[18] Dalam QS. Al-Nisā’:21, Allah juga menyebut akad pernikahan sebagai perjanjian yang kuat (mītsāqan ghalīdzan), yang menunjukkan kaitan erat pernikahan dengan urusan ibadah, dengan alasan bahwa jika diteliti, kata mītsāq dalam al-Qur’an hampir senantiasa digunakan terkait perintah Allah kepada tauhid atau ibadah tertentu dan menjalankan hukum-hukum dan syariat-Nya.[19]
Dengan menggunakan perspektif atau kerangka berfikir seperti di atas itulah maka akan lebih mudah bagi kita untuk memahami larangan pernikahan seorang muslim atau muslimah dengan pasangan yang mushrik atau mushrikah yang secara tegas diungkapkan oleh Al-Qur’an QS. Al-Baqarah: 221;
ﭽ ﭲ  ﭳ  ﭴ  ﭵ  ﭶﭷ  ﭸ  ﭹ  ﭺ   ﭻ  ﭼ  ﭽ  ﭾﭿ  ﮀ  ﮁ  ﮂ  ﮃ   ﮄﮅ  ﮆ  ﮇ  ﮈ    ﮉ  ﮊ  ﮋ    ﮌﮍ  ﮎ   ﮏ  ﮐ     ﮑﮒ  ﮓ  ﮔ  ﮕ  ﮖ  ﮗ  ﮘﮙ   ﮚ  ﮛ  ﮜ  ﮝ  ﮞ  ﮟ  ﭼ:
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Ayat ini kemudian menjadi sandaran utama para ulama sehingga bersepakat mengenai keharaman pernikahan seorang muslim maupun muslimah dengan pasangan mushrik atau mushrikah, serta mereka yang tidak menganut agama samawi.[20] Dalam kajian fiqh para ulama kemudian mendefinisikan kesyirikan dalam ayat tersebut sebagai paganisme dan agama-agama yang bukan diturunkan dari langit, para penyembah tuhan selain Allah, atau juga kaum ateis. Kaum ateis dimasukkan kedalam golongan mushrik dengan menggunakan logika mafhūm al-muwāfaqah dimana pada kenyataannya keyakinan kaum ateis yang tidak memercayai keberadaan tuhan adalah jauh lebih buruk dibanding keyakinan kaum mushrik yang mempercayai keberadaan pencipta tetapi mempersandingkannya dengan tuhan-tuhan lain.  Sebagian ulama lain mengelompokkan  perempuan yang murtad dari agama Islam ke dalam golongan mushrik, meskipun agama baru yang mereka anut adalah agama Yahudi atau Nasrani.[21]
Ringkasnya, ayat ini menjadi dalil pengharaman pernikahan seorang muslim maupun muslimah dengan pasangan non-muslim secara mutlak. Alasan utama pengharaman tersebut, sebagaimana seringkali dikemukakan oleh para ulama adalah potensi timbulnya ancaman terhadap terciptanya keharmonisan dan kehidupan rumah tangga yang saling mendukung karena perbedaan keyakinan itu. Terlebih, seorang muslim atau muslimah yang menikah dengan pasangannya yang non-muslim akan rentan dengan berbagai kesulitan dalam menjalankan ajaran agama secara baik. Inilah yang diindikasikan dalam penggalan frase ayat QS. Al-Baqarah: 221 di atas, “Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya”.  
Pada ayat lain yang secara kronologis lebih dahulu turun dibanding ayat Surat Al-Baqarah di atas, Allah secara khusus juga menegaskan larangan perkawinan seorang muslimah dengan laki-laki kafir, sebagaimana dalam QS. Al-Mumtahanah/60: 10;
÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB Ÿxsù £`èdqãèÅ_ös? ’n<Î) Í‘$¤ÿä3ø9$# ( Ÿw £`èd @@Ïm öNçl°; Ÿwur öNèd tbq=Ïts† £`çlm;
“… maka jika kamu telah mengetahui bahwa perempuan-perempuan itu (benar-benar) telah beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”
Diantara alasan yang mengemuka dalam diskusi para ulama mengenai hikmah dan alasan dibalik larangan ini adalah karena posisi serang suami yang relatif lebih kuat dan dominan dalam sebuah keluarga dibanding seorang istri, sementara Islam sendiri telah “memutus jalan” dan mencegah terciptanya kepemimpinan atau kekuasaan orang-orang kafir terhadap orang mukmin,[22] termasuk dalam urusan rumah tangga.
Sementara itu, di sisi lain, frase selanjutnya dari ayat Al-Mumtahanah/60:10  tersebut yang artinya berbunyi “…Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir…” (وَلا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوافِرِ) menurut Al-Qurţubi bahwa ayat ini menegaskan pembatalan (naskh) hukum pernikahan beda agama antara kaum muslimin dengan kaum kafir Mekah yang sebelumnya masih diperkenankan di awal-awal sejarah Islam.[23]
Sampai di sini, melalui diskusi di atas tampak jelas bahwa prinsip dasar agama Islam adalah pada posisi mengharamkan pernikahan beda agama seorang muslim atau muslimah dengan pasangannya yang non-muslim. Akan tetapi, pada perkembangannya kemudian dilain pihak Allah juga memberikan dispensasi kebolehan pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim yang digolongkan sebagai ahl al-kitāb. Wahbah al-Zuhayli mencatat kesepakatan (ijmā`) para ulama mengenai bolehnya pernikahan jenis ini.[24] Kesepakatan umat Islam ini didasarkan pada firman Allah pada QS. Al-Mā’idah:5 yang tergolong ayat-ayat yang terakhir diturunkan. Allah berfirman:
tPöqu‹ø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh‹©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s%
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita muhşanāt diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita muhşanāt di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu…”
Jika dirunut pada masa generasi awal Islam, para Sahabat Nabi selain juga disebutkan bersepakat mengenai kebolehan menikah dengan perempuan ahl al-kitāb, kecuali barangkali satu riwayat pendapat berbeda dari `Abdullah ibn Umar yang menentang kebolehan perkawianan tersebut.[25] Bahkan sebagian mereka juga sekaligus mempraktekkannya.[26] Adapun mengenai riwayat larangan Khalifah Umar ibn Khaţţab terhadap sebagian sahabat Nabi untuk menikahi perempuan ahl al-Kitāb, hal itu tidak dikarenakan Umar melihatnya sebagai suatu hal yang terlarang dalam agama melainkan karena pertimbangan kemaslahatan tertentu.[27]
Jika pernikahan seorang muslim dengan perempuan ahl al-Kitāb telah disepakati kebolehannya oleh para ulama, perbedaan yang kemudian muncul diantara para fuqahā dan ulama adalah mengenai makna muhşanāt dalam ayat tersebut dan cakupan makna ahl al-kitāb itu sendiri. Memaknai kata muhşanāt ini menjadi penting karena kedudukannya dalam redaksi ayat tersebut merupakan pembatas dari istilah ”ahl al-kitāb yang masih bersifat infinitif (muţlaq) menjadi terbatas dan definitif (muqayyad).
Sebagian ulama menafsirkan muhşanāt dengan harā’ir (wanita yang merdeka dan bukan budak). Melalui penafsiran ini mereka mempersyaratkan bahwa  perempuan ahl al-kitāb yang boleh dinikahi adalah perempuan yang merdeka (al-harā’ir), bukan yang budak. Sementara sebagian ulama yang lain menafsirkan muhşanāt dengan `afīfāt atau `afā’if yang artinya perempuan-perempuan yang menjaga kesucian dirinya. Dengan penafsiran ini, ayat tersebut berarti mengandung pengertian bahwa perempuan ahl al-kitāb yang boleh dinikahi adalah mereka yang “bersih”, baik-baik dan menjaga diri.[28]
Para fuqaha sendiri cenderung memaknai muhşanāt dengan `afā’if.[29] Pendapat inilah yang dipandang lebih rājih. Alasannya, sifat baik dan menjaga diri seorang perempuan ahl al-kitāb lebih bisa menjamin keberlangsungan rumah tangga yang baik. Kesucian diri juga menjadi konsideran sangat penting dalam pernikahan seorang muslim dengan seorang muslimah, sebagaimana ditegaskan oleh QS. Al-Nūr: 3, ”Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”.
Sementara itu, sebagian mufassir seperti Ibn Katsir (w.774H) secara lebih berhati-hati memaknai muhşanāt sebagai perempuan-perempuan yang merdeka (harā’ir) dan perempuan-perempuan yang menjaga kesucian dirinya (`afīfāt atau `afā’if ) sekaligus.[30]
Persoalan penting lain yang juga muncul kemudian adalah terkait makna ahl al-kitāb atau identifikasi siapa saja kalangan non-muslim yang tergolong sebagai ahl al-kitāb sebagaimana dimaksud oleh ayat tersebut. Mengenai hal ini, pandangan para ulama sekurangnya terbagi kepada tiga pendapat.[31] Pendapat pertama, yang diwakili oleh Abu Hanifah (w.150/767) dan Ibn Hazm (w. 456/1063) memandang bahwa istilah ahl al-kitāb yang digunakan dalam Al-Qur’an memiliki makna yang luas tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani, tapi meliputi pula umat para Nabi yang menerima lembaran-lembaran wahyu (şuhuf, the sacred scrolls) seperti Nabi Ibrāhīm dan Shīth, serta Nabi Dāwūd yang menerima Kitab Zabūr. Bahkan, golongan Zoroastrer (Majusi) dan kaum Sabian (al-Şābi’ūn) juga dimasukkan kedalam golongan ahl al-kitāb. Berlawanan dengan pendapat di atas, Muhamad ibn Idrīs al-Shāfi`i (w. 204/819) secara lebih ketat membatasi cakupan ahl al-kitāb pada kaum Yahudi dan Kristen yang mempunyai garis keturunan Israel (bani Isrā’īl) saja. Pendapat diikuti oleh sebagian golongan madzhab Shāfi`iyyah dan Hanābilah.
Adapun pendapat ketiga adalah pendapat pertengahan dari dua pendapat sebelumnya di atas dan dianut oleh mayoritas ulama. Menurut pendapat ini bahwa makna ahl al-kitāb hanya merujuk kepada dua golongan saja, yakni Yahudi dan Nasrani tanpa memperluas cakupan ke yang lain-lain sebagaimana pandangan pendapat pertama, dengan didasarkan pernyataan tegas Al-Qur’ān yang menyebut ”dua kelompok” (ţā’ifatayn) penerima kitab dalam ayat QS. Al-An`ām:156.[32] Pendapat ketiga ini juga tidak membatasi dua golongan ahl al-Kitāb tersebut pada  mereka yang termasuk  dalam keturunan Israel (Banī Isrā’īl) sebagaimana pendapat kelompok kedua (Al-Shāfi’i), dengan alasan bahwa jikalau pembatasan tersebut diberlakukan berarti telah terjadi penghususan/pembatasan tanpa dalil yang semestinya (takhşīş bi ghayri mukhaşşiş) seperti dikatakan oleh Al-Shawkāni.[33]
Selain persoalan seperti telah dibahas di atas, sejatinya masih ada beberapa diskursus lain yang menjadi pembahasan dan bahkan perdebatan fiqih terkait perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb yang tidak bisa disajikan dalam tulisan ini semisal menyangkut perbedaan pandagan mengenai boleh tidaknya menikahi perempuan ahl al-kitāb dari kalangan ahl al-harb yang dibedakan dengan perempuan  ahl al-kitāb dari kalangan ahl dzimmah dan lain-lain.
Walhasil, pemaparan dan diskusi di atas secara gamblang berhasil menampilkan sebuah kesimpulan hukum yang jelas bahwa Allah SWT telah menghalalkan bagi kaum muslim untuk menikahi perempuan baik-baik (muhşanāt) dari kalangan Yahudi dan Kristen. Akan tetapi kehalalan ini selayaknya dipandang sebagai sebuah rukhşah (keringan-mudahan) sekaligus bentuk toleransi Islam terhadap agama lain[34] yang tidak sertamerta dapat dilakukan secara taken for granted.  Melalui pertimbangan-pertimbangan kemashlahatan tertentu dan dalam situasi-kondisi tertentu kehalalan menikahi perempuan ahl al-Kitāb tersebut bisa jadi tidak menjadi pilihan yang baik atau bahkan dilarang sebagaimana dipraktekkan oleh Khalifah ’Umar ibn Khaţţāb.
Untuk itu  Dr. Yūsuf al-Qaradlāwi dalam bukunya Al-Halāl wa al-Harām menyatakan bahwa berdasarkan pertimbangan kemashlahatan sosial-politik, bagi kaum muslimin yang menetap sebagai minoritas di satu negeri tertentu maka pendapat yang lebih rājih adalah diharamkannya laki-laki muslim untuk menikahi selain perempuan muslimat. Alasannya, pada kondisi yang sama, perempuan muslimah tidak akan mungkin dapat menikah dengan laki-laki non-muslim karena memang diharamkan, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan dampak sosial yang buruk bagi perempuan-perempuan muslimah.[35]
Al-Qaradlāwi juga menegaskan bahwa jika pernikahan seorang muslim dengan perempuan ahl al-Kitāb justru dikhawatirkan akan mengancam akidah dan agama anak-anaknya maka wajib baginya menjauhi pernikahan tersebut. Dan bagaimanapun, sebagaimana perempuan muslimah yang taat adalah lebih baik untuk dinikahi dari muslimah yang tidak taat, maka seorang muslimah –bagaimanapun kedudukannya- adalah lebih baik dari pada perempuan yang bukan muslimah.[36] Senada dengan Al-Qaradlāwi, Abu Zahrah juga menegaskan bahwa seyogyanya bagi seorang muslim untuk tidak menikahi kecuali seorang perempuan muslimah karena akan lebih menjamin kebaikan rumah tangga dari segala sisi.[37]
Memperhatikan pendapat para ulama yang otoritatif sebagaimana diatas, serta melihat fakta-fakta mengenai pola hubungan kaum Muslim dan Kristen yang saat ini mengindikasikan bahwa perempuan-perempuan Kristen cenderung untuk tidak akan mudah patuh dengan suaminya yang muslim, terlebih dengan merebaknya isu kesetaraan jender laki-laki dan perempuan atau isu Hak Asasi Manusia, sehingga membuat posisi kepemimpinan seorang laki-laki muslim dalam rumah tangganya bersama perempuan non-muslim semakin melemah baik dalam mengontrol perilaku maupun tanggung jawab terhadap istri dan anak, maka penulis cenderung kepada adanya larangan pernikahan beda agama antara seorang muslim dengan perempuan Yahudi atau Kristen.
Atas dasar ini pula barangkali akan lebih mudah bagi kita untuk memahami keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwanya yang dihasilkan pada Musyawarah Nasional VII MAJELIS ULAMA INDONESIA TAHUN 2005 bahwa ”perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah”.[38]
Simpulan Ahir
Dari diskusi singkat mengenai persoalan pernikahan beda agama menurut agama Kristen dan Islam, tulisan ini sampai kepada simpulan ahir bahwa menurut ajaran Kristen perkawinan beda agama pada dasarnya dilarang atau setidaknya tidak dianjurkan. Tidak jauh berbeda, pandangan Islam terhadap pernikahan seorang muslim/muslimah pada dasarnya juga dilarang (haram) dengan perincian hukum sebagai berikut:
  1. Haram hukumnya bagi laki-laki muslim maupun perempuan muslimah untuk menikah dengan calon pasangan dari kaum musyrik, maupun yang beragama selain Yahudi dan Nasrani.
  2. Seorang Muslimah tidak dibenarkan untuk menikah dengan siapapun laki-laki non muslim, baik dari kalangan ahl kitāb (Yahudi dan Nasrani) maupun lainnya.
  3. Dibolehkan bagi laki-laki muslim untuk menikah dengan seorang perempuan ahl kitāb dengan syarat bahwa perempuan tersebut adalah seseorang yang baik-baik dan menjaga kehormatan dirinya. Akan tetapi kebolehan ini masih harus mempertimbangkan maşlahat dan mafsadat yang bisa jadi akan muncul sebagai konsekuensi pernikahan tersebut, khususnya terkait persoalan keyakinan (aqidah) yang bersangkutan maupun anak keturunannya.
  4. Dan meskipun pernikahan seorang muslim dengan perempuan ahl kitāb dibolehkan, namun sangat dianjurkan bagi laki-laki muslim untuk menikah dengan perempuan muslimah yang baik, kecuali ada maşlahat yang pasti (muhaqqaqah). Jika dipandang perlu, pernikahan beda agama tersebut dapat dilarang oleh pihak-pihak otoritatif dengan alasan-alasan tertentu sebagaimana telah dilakukan oleh `Umar ibn al-Khaţţāb pada masa lampau dan oleh MUI pada masa kini di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
  • `Abdul Muta`āl al-Jabri, Jarīmah al-Zawāj bi ghayr al-Muslimāt:Fiqhan wa Siyāsatan (Kairo: Maktabah Wahbah, Cet.3, 1983/1403)
  • Abū Abdillah Muhamad al-Qurţubi, Al-Jāmi` li Ahkām al-Qur’ān, Tahqiq: Ahmad al-Bardūni dan Ibrāhiīm Aţfīsh (Kairo, Dār al-Kutub al-Mişriyah, Cet.2, 1964)
  • Abū al-Fidā Ismā’il ibn ‘Umar ibn Katsīr Al-Qurasyi al-Dimasyqy, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Adzīm, Tahqiq: Sāmy ibn Muhamad Salāmah, (Dār Ţaybah li al-Nashr wa al-Tawzī’, Cet. II, 1420H/1999M)
  • Badrān Abū al-`Aynayn, Ahkām al-Zawāj wa al-Ţalāq fi al-Islām (Mesir, Dār al-Ta’līf, Cet. 2, 1961)
  • Malikah Yūsuf Zirār, Mawsū`ah al-Zawāj wa al-`Alāqah al-Zawjiyyah fi al-Islām wa al-Sharā’i` al-Ukhrā: al-Muqāranah (Kairo: Al-Fath li al-I`lām al-`Arabi, Cet. 1, 2000)
  • Muhamad ibn `Ali al-Shawkāni, Tafsīr Fath al-Qadīr, (dalam Software Maktabah al-Shāmilah)
  • Muhamad Abū Zahrah, Muhādlarāt fī ‘Aqd al-Zawāj wa Ātsāruhu, (Kairo: Dār al-Fikr al-`Arabi, tt.)
  • Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, Cet. 7, 2005)
  • Muhamad ibn ‘Ismā’īl al-Bukhari, Al-Jāmi’ al-Musnad al-Şahīh, tahqiq: Muhamad Zuhayr ibn Nāşir al-Nāşir, Dar Ţawq al-Najah, cet. 1, 1422H
  • Muhamad Nāşiruddin al-Albāni, Şahīh al-Targhīb wa al-Tarhīb, (dalam Al-Maktabah al-Shāmila 3.28)
  • Muhamad ‘Ali al-Sāyis, Tafsīr Āyāt al-Ahkām (Beirut: Al-Maktabah al-‘Aşriyah, 2002)
  • Şiddīq Hasan Khan al-Qannūji, Nayl al-Marām min Tafsīr Āyāt al-Ahkām, Tahqiq: Muhamad Hasan Ismā`īl dan Ahmad Farīd al-Mazīdi (Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2003)
  • Yūsuf al-Qaradlāwi, Al-Halāl wa al-Harām fi al-Islām, (Beirut & Damaskus: Al-Maktab al-Islami, Cet.13, 1980)
  • Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuhu, (Damaskus: Dār al-Fikr al-Mu`āşir, Cet. 4)
Majalah dan Buletin
  • Buletin KABAR, Edisi 156, 8 Februari 2009, diterbitkan oleh Komsos Paroki St. Mikael, Bekasi
  • Majalah ISLAMIA (Jakarta: Thn. I, No. 4, Januari-Maret 2005)
Sumber Digital dan Internet
[1] Lihat misalnya: History of Marriage In Western Civilization, di http://www2.hu-berlin.de/sexology/ATLAS_EN/html/history_of_marriage_in_western.html, dan Marriage in Non-Western Societies, di http://www2.hu-berlin.de/sexology/ATLAS_EN/html/marriage_in_non_western_societ.html di akses terkahir tanggal 3 Agustus 2009. Tentang perkawinan dalam peradaban Mesopotamia dan Babilonia dapat di lihat di Roberto Naranjo, “Marriage in Ancient Mesopotamia and Babylonia”, di http://ehistory.osu.edu/world/articles/ArticleView.cfm?AID=58
[2] Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Marriage, diakses terakhir tanggal 3 Agustus 2009.
[3] Kejadian 2:21-25
[4] Kejadian 2:24
[5] Matius 9:4-6; Markus 10: 6-9
[6] Ibrani 13:4
[7] Matius 22:1-14 dan 25:1-13
[8] Dalam diskursus tradisi Kristen pernikahan beda agama ini biasa disebut dengan disparitas cultus, sebuah istilah yang digunakan untuk membedakannya dengan “kawin beda gereja” (mixta religio).
[9] Kitab Hukum Kanonik, ayat 1086. Kitab Hukum Kanonik ini dapat dibaca secara online di http://www.imankatolik.or.id/khk.php
[10] Romo Antonius Dwi Joko, Kawin Campur, dalam http://yesaya.indocell.net/id1066.htm, diakses terakhir tanggal 14 Agustus 2009.
[11] Kitab Hukum Kanonik, ayat 1125:1-3. Lihat juga: Buletin KABAR, diterbitkan oleh Komsos Paroki St. Mikael, Edisi 156, Minggu 8 Februari 2009, hlm. 2; Romo Antonius Dwi Joko, Kawin Campur
[12] Buletin KABAR, hlm. 2
[13] Andri Purnawan, Pernikahan Beda Agama, di http://www.gkjwcaruban.org/gema-kepandhitan/pernikahan-beda-agama.html, diakses tanggal 31 Maret 2009
[14] Buletin KABAR, hlm. 3
[15] Dikutip dari Andri Purnawan, Pernikahan Beda Agama.
[16] Istilah fiqh al-ahwāl al-shakhşiyyah sejatinya merupakan padanan dari istilah asing yang masuk ke dalam tradisi Islam-Arab dan kemudian banyak digunakan di dunia akademis untuk menyebut hukum-hukum  kekeluargaan. Lihat: Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuhu, (Damaskus: Dār al-Fikr al-Mu`āşir, Cet. 4), Vol. 9, hlm. 1
[17] Bunyi hadits tersebut selengkapnya adalah  من رزقه الله امرأة صالحة فقد أعانه على شطر دينه، فليتق الله في الشطر الباقي
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Thabarani, Al-Hakim dan Al-Bayhaqi. Dalam Şahīh al-Targhīb wa al-Tarhīb oleh Al-Albani dikatakan Şahīh lighayrihi.
[18] Selengkapnya berbunyi:    تنكح المرأة لأربع  لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها ، فاظفر بذات الدين تربت يداك
Artinya: “Perempuan lazimnya dinikahi dengan pertimbangan empat hal: hartanya, kebangsawanan/kemulyaan nasabnya, kecantikannya, serta agamanya. Maka hendaklah engkau memilih perempuan yang beragama supaya engkau beruntung.” Lihat: Şahīh al-Bukhāri, bab al-Nikah, hadits no. 4802; Şahīh Muslim, bab al-Radlā`, hadits no. 1466 dan lain-lain.
[19] Mahmoud Shaltout, Al-Islam Aqīdah wa Sharī`ah, hlm.146-148, sebagaimana dikutip oleh Dr. Malikah Yūsuf Zirār, Mawsū`ah al-Zawāj wa al-`Alāqah al-Zawjiyyah fi al-Islām wa al-Sharā’i` al-Ukhrā: al-Muqāranah (Kairo: Al-Fath li al-I`lām al-`Arabi, Cet. 1, 2000) hlm. 134
[20] Muhamad Abū Zahrah, Muhādlarāt fī ‘Aqd al-Zawāj wa Ātsāruhu, (Kairo: Dār al-Fikr al-`Arabi, tt.), hlm. 143
[21] Muhamad Abū Zahrah, Muhādlarāt fī ‘Aqd al-Zawāj wa Ātsāruhu, hlm. 145; Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuhu, Vol. 9, hlm. 143; `Abdul Muta`āl al-Jabri, Jarīmah al-Zawāj bi ghayr al-Muslimāt:Fiqhan wa Siyāsatan (Kairo: Maktabah Wahbah, Cet.3, 1983/1403), hlm. 12-13
[22] Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Nisā’: 141, yang berbunyi ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلاً
[23] al-Qurţubi, Al-Jāmi` li Ahkām al-Qur’ān, Vol. 18, hlm.65
[24] Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuhu, Vol. 9, hlm. 145. Meski demikian Al-Zuhayli juga menyebutkan pada halaman berikutnya (hlm.146) bahwa pernikahan ini makruh menurut pendapat dalam madzhab Hanafi, Shāfi`i dan satu pendapat dalam madzhab Māliki. Sedangkan madzhab Hambali menyatakannya sebagai perilaku yang tidak utama (khilāf al-awlā). Mereka mendasarkan pandangan ini kepada larangan `Umar ra dengan pertimbangan maslahah atau menolak kemudaratan yang mungkin ditimbulkan.
[25] Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari, bahwa Abdullah ibn ‘Umar ketika ditanya mengenai hukum menikahi perempuan Yahudi atau Nasrani, beliau menjawab,”Sesungguhnya Allah telah mengharamkan orang-orang mu’min untuk menikahi perempuan-perempuan musyrikah dan aku tidak mengetahui ada kesyirikan yang lebih besar daripada seseorang perempuan yang mengatakan bahwa tuhannya adalah ‘Īsa, padahal dia hanyalah salah seorang hamba dari hamba-hamba Allah.” Lihat: Muhamad ibn ‘Ismā’īl al-Bukhari, Al-Jāmi’ al-Musnad  al-Şahīh, tahqiq: Muhamad Zuhayr ibn Nāşir al-Nāşir, Dar Ţawq al-Najah, cet. 1, 1422H, vol. 7, hlm.48, hadits no. 5285
[26] Muhamad Abū Zahrah, Muhādlarāt fī ‘Aqd al-Zawāj wa Ātsāruhu, hlm. 144
[27] Lihat: Muhamad ‘Ali al-Sāyis, Tafsīr Āyāt al-Ahkām (Beirut: Al-Maktabah al-‘Aşriyah, 2002), hlm.  140-141
[28] Lihat misalnya: Abū Abdillah Muhamad al-Qurţubi, Al-Jāmi` li Ahkām al-Qur’ān, Tahqiq: Ahmad al-Bardūni dan Ibrāhiīm Aţfīsh (Kairo, Dār al-Kutub al-Mişriyah, Cet.2, 1964), Vol. 6, hlm.79; Al-Shaukani Fathul Qadir, 2: 274
[29] Lihat: Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuhu, Vol. 9, hlm. 145; Badrān Abū al-`Aynayn, Ahkām al-Zawāj wa al-Ţalāq fi al-Islām (Mesir, Dār al-Ta’līf, Cet. 2, 1961), hlm.100
[30] Abū al-Fidā Ismā’il ibn ‘Umar ibn Katsīr Al-Qurasyi al-Dimasyqy, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Adzīm, Tahqiq: Sāmy ibn Muhamad Salāmah, (Dār Ţaybah li al-Nashr wa al-Tawzī’, Cet. II, 1420H/1999M), Vol. III, hlm.42
[31] Sebuah pembahasan cukup baik telah dilakukan oleh Dr. Muhamad Azizan Sabjan dan Dr. Noor Shakirah Mat Akhir mengenai makna ahli Kitab dalam tradisi Islam. Lihat artikel mereka berjudul “Konsep Ahl al-Kitāb dalam Tradisi Islam”, Majalah ISLAMIA (Jakarta: Thn. I, No. 4, Januari-Maret 2005), hlm. 71-80. Penjelasan pendapat para ulama tentang ahl al-kitāb pada bagian ini juga penulis rujuk dari artikel tersebut hlm. 76-77
[32] Ayat tersebut selengkapnya berbunyi: أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا وَإِنْ كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ لَغَافِلِينَ  yang artinya: “(Kami turunkan al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: “Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.”
[33] Muhamad `Ali al-Shawkāni, Tafsīr Fath al-Qadīr,    vol. 2, hlm. 274; Lihat juga: Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuhu, Vol. 9, hlm. 147
[34] Mengenai dibolehkannya menikahi perempuan Yahudi dan Nasrani dalam Islam sebagai salah satu bentuk toleransi (tasāmuh) Islam terhadap agama lain dapat dilihat Yūsuf al-Qaradlāwi, Al-Halāl wa al-Harām fi al-Islām, (Beirut & Damaskus: Al-Maktab al-Islami, Cet.13, 1980) hlm. 178-179
[35] Yūsuf al-Qaradlāwi, Al-Halāl wa al-Harām fi al-Islām, 179
[36] Yūsuf al-Qaradlāwi, Al-Halāl wa al-Harām fi al-Islām, 179
[37] Muhamad Abū Zahrah, Muhādlarāt fī ‘Aqd al-Zawāj wa Ātsāruhu, hlm. 144
[38] Keputusan/Fatwa  MUI Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005, tentang Perkawinan Beda Agama. Lihat: http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=135
Related
Sejarah Peradaban AbbasiyahIn "PERADABAN ISLAM"
Kajian Pemikiran Al-KawakibiIn "Sejarah Pemikiran"
0 Responses to “PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF KRISTEN DAN ISLAM”


  1. Leave a Comment
Leave a Reply
Top of Form


Makalah Perkawinan Agama Kristen


PERKAWINAN AGAMA KRISTEN


MAKALAH
Diajukan guna memenuhi tugas
dalam mata kuliah Hukum Perdata

Disusun oleh:
DINA AULIA
NIM: 11360003/ PMH-A

Dosen:
Sri Wahyuni, S.Ag., M.Ag.M.Hum

PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna sebagai makhluk multi dimensional yang berimplikasi akan kebutuhan kehidupan, baik bio-psiko-sosio-religius. Kebutuhan tersebut pada dasarnya imun bagi salah satu aktivitas hidup yang penting bagi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu Perkawinan. Perkawinan adalah sebuah kesepakatan yang disepakati oleh kedua belah pihak yaitu antara seorang pria dan wanita untuk sama – sama mengikat diri hingga bersama memenuhi kebutuhan – kebutuhan tertentu, baik lahir maupun batin. Perkawinan tidak hanya menjadi ikatan antara seorang pria dan wanita, namun keluarga kedua belah pihak pun turut andil. Perkawinan merupakan suatu anjuran dalam setiap agama. Ketika dikatakan “memenuhi kebutuhan batin”, terdapat peranan yang penting antara hubungan perkawinan dengan agama (kerohanian). Dalam pasal 2 ayat (1) Undang – Undang  Perkawinan No. 1 tahun 1974 ditetapkan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Sangatlah jelas bahwa urgenitas agama berada pada tingkatan tertinggi, hingga kecil kemungkinan untuk kawin dengan melanggar “hukum agamanya sendiri”.  Pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara Kristen (Protestan) dan Katolik terutama mengenai masalah ketuhanan dan kitab suci. Mereka sama – sama berpedoman pada Al-Kitab (Perjanjian baru), yang terdiri dari empat bagian, yaitu Gospels (himpunan Injil), Acts of Apostles (kisah para Rasul), Epistles (himpunan surat) dan Apocalypse (wahyu).  Sebuah perkawinan kristen adalah perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri, yang untuk seumur hidup mereka, saling mengikatkan diri dalam ikatan kasih-setia. Perkawinan kristen punya tiga (trilogi) asas pokok. Tiga asas tersebut adalah: (a) asas monogami; (b) asas kesetiaan (fidelitas); dan (c) asas seumur hidup (indisolubilitas).
B.       Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penulis mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana konsep perkawinan dalam agama Kristen ?
2.      Apa saja hukum yang terkait dengan perkawinan agama Kristen ?
C.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk menjelaskan konsep yang terbentuk tentang perkawinan menurut perspektif agama Kristen (Protestan)
2.      Untuk melihat perbandingan konsep perkawinan antara agama Kristen dengan hukum yang terkait







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Perkawinan
Nama lain dari agama Kristen ialah Protestan. Di dalam agama Kristen, terdapat banyak aliran teologi. Dari aliran tersebut menimbulkan suatu otoritas tersendiri bagi setiap gereja, sehingga berdampak pada sulitnya mencari dan menemukan hukum perkawinan (khususnya) yang dapat diberlakukan bagi setiap gereja Kristen (Protestan). Dalam agama Kristen, istilah perkawinan disebut juga pernikahan atau nikah. Mereka memandang bahwa nikah itu suatu ketetapan Allah. Hal ini berdasarkan pada kesaksian Alkitab pada Kejadian 2 ayat 24 dan Matius 19 ayat 3. Menurut Dr. J.L.Ch.Abineno (1989:1), nikah mempunyai aspek kembar. Pada satu pihak ia adalah suatu hubungan (antara suami dan istri yang diatur dan disahkan oleh hukum). Pada pihak lain ia adalah suatu hubungan yang didasarkan atas penetapan atau peraturan Allah.[1][1] Hal ini sesuai dengan firman Tuhan dalam Kejadian 2 ayat 18, yaitu “Tidak baik, kalau manusia itu sendiri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”.[2][2] Ayat tersebut memberikan jawaban berupa alasan Tuhan dalam menetapkan pernikahan, yaitu :
1.    Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja
2.    Manusia memerlukan seorang penolong yang sepadan dengan dia
Menurut agama ini, Tuhan menghendaki pernikahan sebagai suatu persekutuan hidup. Persekutuan dalam kasih Tuhan, dalam menghayati berkat pernikahan dan dalam menunjukan perhatian pada pekerjaan masing-masing. Dalam Perjanjian Baru (Matius 19: 5 dan 6) terdapat ajaran Tuhan Yesus tentang perkawinan, yaitu :
ayat 5:      Sebab itu laki – laki akan meninggalkan ayah dan ibunya  dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
ayat 6:      Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
Dari sini dapat dilihat bahwa dalam ajaran agama ini sangat menekankan akan kekekalan perkawinan, dan hanya mautlah yang memisahkan mereka. Namun, tidak dapat dipungkiri adanya kuasa dosa yang menyebabkan terjadinya perceraian di hadapan hukum. Menurut Dr. Fridolin Ukur (1987: 1), bahwa walaupun Gereja Protestan menganggap perceraian itu sebagai kesalahan, namun mengakui kenyataan tersebut dan tidak menutup kemungkinan bagi awal perkawinan baru.[3][3]  Menurut buku Decree for the Armenians, tujuan pernikahan ada 3 rangkap, yaitu : [4][4]
1.      Melahirkan anak – anak dan mendidik mereka dalam penyembahan kepada Tuhan
2.      Kesetian suami dan istri, satu sama lain
3.      Karakter pernikahan tidak dapat dibatalkan, yaitu karena ini mencirikan persatuan yang tidak dapat diceraikan antara Kristus dan gereja
Secara umum, suatu kehidupan dengan tujuan kebahagiaan merupakan tujuan dari pernikahan Kristiani yang Allah ciptakan dengan maksud manusia dipersiapkan untuk benar – benar menjadi manusia yang seutuhnya.


B.     Tata cara Perkawinan
Dalam UU Perkawinan pasal 10 dan 11 tentang Peraturan Pelaksanaan No. 9 tahun 1975 ayat(2), yang pokoknya bahwa Tata Cara Perkawinan dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu. Begitu banyak pasangan Kristen membuka diri terhadap saran-saran tentang prosedur pernikahan mereka, sehingga menjadikan suatu angan akan pernikahan adalah tindakan ibadah Kristen yang paling indah. Pernikahan merupakan bentuk cinta kasih yang sedang matang. Pernikahan pada dasarnya terdiri dari kontrak (contract) umum yang disepakati secara bebas dan bersama-sama di hadapan para saksi.[5][5]
1.         Pra Pernikahan
Pada sesi awal ini, konseling merupakan proses awal yang harus dilewati oleh setiap calon pasangan. Jadwal mereka akan diatur untuk dapat face to face dengan pendeta yang sifatnya pribadi. Hal ini dilakukan agar calon pasangan telah mantab untuk mengikat janji suci di hadapan Tuhan. Dalam sesi ini, pendeta harus melakukan 3 hal, yaitu :[6][6]
·      Berbicara tentang Tuhan
·      Memberitahukan tentang cara membangun sebuah keluarga Kristen yang akan Allah berkati selamanya.
·      Memberitahukan untuk menemui seorang dokter sebelum menikah. Hal ini berbicara tentang keintiman mereka sebagai sepasang suami – istri yang bertanggung jawab.
·      Memberitahukan untuk tidak seharusnya seorang pasangan memiliki anak dengan segera setelah menikah.
Tentang persiapan, menjadi perhatian khusus bahwa semua yang berhubungan dengan pernikahan harus ditekankan dan mengekspresikan nuansa Kristen.
2.         Format dari Ibadah Pernikahan[7][7]
·      Setelah lilin menyala dan orang tua wanita duduk, pendeta yang diikuti pengantin pria dan orang yang terbaik memasuki ruangan menuju tengah kapel dengan iringan mars pernikahan. Selanjutnya, pengiring pengantin, pembawa cincin dan mereka yang terlibat mengambil tempatnya masing – masing.
·      Pengantin wanita masuk didampingi seseorang (khususnya ayah) yang akan menyerahankan dirinya kepada pengantin pria.
·      Pendeta menyampaikan kotbah sebagai pembukaan.
·      Sang ayah menyerahkan putrinya kepada pengantin pria setelah menjawab atas pertanyaan dari pendeta. Lalu ayah duduk di samping istrinya.
·      Pendeta dan pasangan pengantin melakukan pertanyaan dan pernyataan atas kesediaan dan janji yang kudus dalam ikatan pernikahan. Hingga acara tukar cincin diikuti pernyataan setiap calon pengantin untuk menerima pasangannya.
·      Pendeta berdoa, sebuah doa yang telah ditempatkan Allah di dalam hatinya.
Ketika upacara pernikahan berlangsung, hasil dari persiapan pernikahan harus terasa. Jemaat harus merasakan bahwa mereka telah menjadi bagian Gereja, khususnya pasangan pengantin dan keluarga.

C.    Hukum yang Mengatur
Dalam pasal 2 UU Perkawinan, diatur tentang sahnya suatu perkawinan, yaitu :
·           Ayat (1) : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Agama/Kepercayaannya”
·           Ayat    (2)          : “Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku”
Dari sini timbul pertanyaan, apakah harus terpenuhi kedua ayat tersebut untuk memenuhi sahnya perkawinan ? Dalam Ordonansi Perkawinan Indonesia – Kristen tentang Pemberitahuan dan Pengukuhan Perkawinan pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa “Semua orang yang akan kawin harus memberitahukan niatnya itu kepada Pegawai Catatan Sipil atau kepada Penuntun Agama dalam wilayah salah satu pihak yang akan kawin bertempat tinggal”.[8][8] Dapat ditarik sedikit kesimpulan bahwa setiap perkawinan harus dicatat terlebih dahulu di Catatn Sipil, kemudian diproses sesuai agama/kepercayaan masing-masing. Perbuatan pencatatan itu semata – mata bersifat administratif. Perkawinan Gerejani sangat penting bagi umatnya, tetapi tidak mempunyai akibat hukum dalam perkawinan, dan dalam Undang - undang ditentukan bahwa perkawinan Gerejani hanya boleh dilaksanakan sesudah perkawinan dihadapkan pegawai Catatan Sipil (Pasal 81 KUH Perdata).[9][9] Menjadi catatan penting, bahwa yang dilaksanakan gereja bukanlah menyatakan sah atau tidaknya suatu perkawinan, namun “meneguhkan dan memberkati” suatu perkawinan yang sudah disahkan oleh negara dihadapan hukum (dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil). Dalam SK Mendagri No. 97 tahun 1978[10][10], bahwa pemerintah mengangkat pemuka agama (pendeta/pastor) untuk bertindak atas nama pemerintah, dengan sebutan Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan.
D.    Problematika Perkawinan
Tidak ada yang sempurna dalam kehidupan ini, begitupun dalam perkawinan. Seideal apapun perkawinan tersebut, pasti ada saja lika – likunya. Berikut beberapa problematika dalam perkawinan dalam pandangan agama Kristen, yaitu :
1.         Perceraian
Perceraian merupakan salah satu persoalan utama yang dihadapi rumah tangga saat ini. Berbagai faktor dapat memicu timbulnya kata perceraian ini, seperti perselingkuhan, KDRT, desersi, dan sebagainya. Perceraian pasti menimbulkan dampak yang besar, baik secara fisik maupun batin. Dalam ajaran Kristen, perceraian / perpisahan tetap atau selamanya tidak diperbolehkan. Gereja setia pada ajarannya bahwa pernikahan hanya sekali antara seorang lelaki dan perempuan, dan apa yang telah dijodohkan Allah tidak boleh diceraikan. Hal ini mengacu pada Alkitab, Markus 10:9, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”.[11][11] Selanjutnya, jika melihat Alkitab, Matius 19:9, “Tetapi Aku berkata kepadamu : ‘Barang siapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah’”, maka dapat ditarik pemahaman bahwa satu-satunya alasan perceraian adalah perzinahan. Sekedar informasi bahwa dalam agama Kristen, pengajuan perceraian sangatlah tidak mudah. Mereka harus mengajukan permohonan perceraian dengan persyaratan tertentu, bukan hukum agama, tapi semacam KUHP. Sekali pun tidak mengizinkan perceraian, namun kebanyakan gereja Kristen (Protestan) mengizinkan perceraian dan perkawinan ulang. Perceraian dibolehkan hanya dalam kasus khusus, misalnya imoralitas seksual atau ditinggalkan pasangan yang tak beriman.
2.         Poligami
Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan).[12][12] Dalam ajaran Kristen ditegaskan bahwa praktek poligami itu dilarang. Hal ini mengacu pada Alkitab, Perjanjian Lama yang menyebutkan bahwa Allah menciptakan satu pria (Adam) dan satu wanita (Hawa) untuk melahirkan keturunan. Namun, Alkitab juga tidak menafikkan bahwa telah adanya praktek poligami yang dilakukan tokoh Kristiani. Adanya poligami dicatat dimulai dari anak Kain, Lamech. Kain adalah anak Adam yang berdosa membunuh Habel saudaranya.[13][13] Dari sinilah penyimpangan (praktek) poligami terjadi sejalan dengan penolakan manusia akan titah Tuhan. Dan pada zaman sekarang, banyak gereja yang memberikan kelonggaran poligami berdasarkan kitab – kitab kuno agama Yahudi.
3.         Perkawinan Beda Agama
Seperti yang diketahui bahwa setiap agama menghendaki adanya pernikahan seiman (seagama), tidak terkecuali agama Kristen. Untuk agama Kristen tidak adanya larangan bagi jemaatnya untuk nikah dengan orang yang berbeda agama. Dalam problem ini kebanyakan berputar pada perkawinan antar agama Kristen (Protestan) dengan agama Khatolik. Dalam hal terjadi perkawinan antar agama, maka menurut Pdt. Dr. Fridolin Ukur (1987 : 2)[14][14] ialah :
·      Mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil dimana kedua belah pihak tetap menganut agama masing – masing
·      Kepada mereka diadakan penggembalaan khusus
·      Pada umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka
·      Ada gereja – gereja tertentu yang memberkati perkawinan campur beda agama ini, setelah pihak yang bukan Protestan membuat pernyataan bahwa ia bersedia ikut agama Protestan
·      Ada pula gereja tertentu yang bukan hanya tidak memberkati, malah anggota gereja yang kawin dengan orang yang tidak seagama itu dikeluarkan dari gereja.
E.       Perbandingan
 Persoalan pernikahan, tidak ada perbedaan yang jauh antara Hukum agama Islam dengan Hukum agama Kristen. Mereka sama – sama meyakini akan ketetapan jodoh / pasangan hidup yang telah disiapkan buat umatnya di dunia. Namun, terhadap hal – hal tertentu, adanya sedikit perbedaan penafsiran antara ajaran Islam dan ajaran Kristen. Misalnya tujuan pernikahan, Islam berotoritas pada naluriah hidup guna melangsungkan kehidupan (keturunan), mewujudkan ketentraman hidup dan menumbuhkan serta memupuk rasa kasih sayang, sedangkan Kristen berotoritas pada kebahagiaan dan kekekalan akan suatu pernikahan. Selanjutnya, terhadap problem perceraian, Islam menganggap bahwa hal tersebut halal untuk dilakukan, meskipun pada dasarnya Allah sangat membeci perceraian, karena Islam membimbing umatnya untuk tidak saling terpecah-belah, namun pada ajaran Kristen, bahwa perceraian (dengan tegas) selamanya tidak diperbolehkan. Pada problem perkawinan beda agama, Islam berprinsip tidak diperkenankannya adanya perkawinan beda agama, karena hal ini telah dipertegas di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah : 221, namun adanya pengecualian bagi laki-laki muslim dengan wanita non muslim. Namun, pada agama Kristen, tidak adanya larangan untuk penganutnya, namun ada sebagian gereja tertentu di kalangan Kristen (Protestan) yang menurut tata gereja yang masih berlaku. Dan masih banyak lagi yang tidak dapat dijangkau dalam makalah ini.













BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
                     Dalam agama Kristen, nikah itu suatu ketetapan Allah. Suatu persekutuan hidup dalam kasih Tuhan, dalam menghayati berkat pernikahan dan dalam menunjukan perhatian pada pekerjaan masing-masing. Tujuannya ialah kebahagiaan dan kekekalan akan suatu pernikahan. Dalam UU Perkawinan pasal 10 dan 11 tentang Peraturan Pelaksanaan No. 9 tahun 1975 ayat(2), yang pokoknya bahwa Tata Cara Perkawinan dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu. Yang dilaksanakan gereja bukanlah menyatakan sah atau tidaknya suatu perkawinan, namun “meneguhkan dan memberkati” suatu perkawinan yang sudah disahkan oleh negara dihadapan hukum. Alkitab, Markus 10:9, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”.
B.       Saran dan Kritik
Dalam penulisan makalah ini tentulah memiliki banyak kekurangan, baik dari segi penulisan, ilmu yang saya tuangkan, maupun hal lainnya. Saya sangat menyadari bahwa pengetahuan yang saya peroleh sangat jauh dari kecukupan. Oleh karena itu, dengan rasa kerendahan hati dan kerdilnya ilmu yang saya miliki, saya memohon saran dan kritik yang dapat membangun penulisan selanjutnya baik dari dosen pengampu maupun teman – teman sekalian. Saran dan kritik dapat Anda kirimkan ke email saya di : auliauya_dolphin@yahoo.co.id


DAFTAR PUSTAKA

Alkitab. 2001. Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia
Eoh, O.S. 1996.Perkawinan antar Agama dalam Teori dan Praktek. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
Komariah. 2010. Hukum Perdata. Malang : UMM Press
Murtadho, Ali. 2009. Konseling Perkawinan : Perspektif Agama – Agama. Semarang : Walisongo Press
Sairin, Weinata dan J.M. Pattiasina. 1994. Pelaksanaan Undang – undang Perkawinan dalam Perspektif Kristen. Jakarta : Gunung Mulia
Saleh, K. Wantjik. 1982. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia
White, James F. 2002. Pengantar Ibadah Kristen. Jakarta : Gunung Mulia



ahmad muyasir 09.39



Perkawinan Beda Agama Menurut Gereja Katolik
12 March 2014

Description: Perkawinan Beda Agama Menurut Gereja Katolik
Semua agama melarang kawin beda agama.  Gereja Katolik memandang bahwa perkawinan antara seorang beragama Katolik dengan yang bukan agama Katolik bukanlah bentuk perkawinan yang ideal. Soalnya, perkawinan dianggap sebagai sebuah sakramen (sesuatu yang Kudus, yang Suci). Menurut Hukum Kanon Gereja Katolik, ada sejumlah halangan yang membuat tujuan perkawinan tidak dapat diwujudkan. Misalnya, adanya ikatan nikah (Kanon 1085), adanya tekanan/paksaan baik secara fisik, psikis maupun social / komunal (Kanon 1089 dan 1103), dan juga karena perbedaan gereja (Kanon 1124) maupun agama (Kanon 1086).

Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek dan dimensinya: personal-manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.

Setiap perkawinan, termasuk perkawinan antar agama (dan salah satunya bukan Katolik), hanya dianggap sah apabila dilakukan di hadapan Uskup, Pastor Paroki, dan Imam. Ini dapat dimaklumi karena agama Katolik memandang perkawinan sebagai sebuah sakramen. Sehingga kalau ada perkawinan antar agama (dan salah satu pihak adalah Katolik), dan tidak dilakukan menurut agama Katolik, maka perkawinan itu dianggap belum sah.

Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah Gereja Katolik menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam arti menikah dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik (mixta religio) maupun tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.

Namun Gereja juga menyadari akan komplesitas dan pluralitas situasi masyarakat, di mana orang-orang Katolik hidup berdampingan dengan non-Katolik. Selain itu, semangat ekumenis Gereja Katolik untuk merangkul dan bekerjasama dengan pihak-pihak Kristen lainnya, serta kesadaran akan kebebasan beragama, telah mendorong Gereja Katolik sampai pada pemahaman akan realita terjadinya perkawinan campur.


1. PENGERTIAN
Perkawinan campur, yaitu perkawinan antara seorang baptis Katolik dan pasangan yang bukan Katolik (bisa baptis dalam gereja lain, maupun tidak dibaptis). Gereja memberi kemungkinan untuk perkawinan campur karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya.

Keyakinan Gereja tentang perkawinan sebagai sakramen dan dimungkinkannya perkawinan campur tidak boleh diartikan bahwa Gereja membedakan dua perkawinan, seakan-akan ada perkawinan kelas 1 dan kelas 2. Perkawinan yang sudah diteguhkan secara sah dan dimohonkan berkat dari Tuhan apapun jenisnya, semuanya berkenan di hadapan Tuhan. Semuanya dipanggil untuk memberi kesaksian akan kasih Kristus kepada manusia.



2. DUA JENIS PERKAWINAN CAMPUR
Perkawinan campur beda gereja (seorang Baptis Katolik menikah dengan seorang Baptis non-Katolik) perkawinan ini membutuhkan ijin.  Perkawinan campur beda agama (seorang diBaptis Katolik menikah dengan seorang yang tidak diBaptis) untuk sahnya dibutuhkan dispensasi.



3. PERSYARATAN MENDAPAT IZIN ATAU DISPENSASI
a. Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dididik dalam Gereja Katolik (Kan.1125, 1°).
b. Pihak yang non-Katolik diberitahu pada waktunya mengenai janji-janji yang harus dibuat pihak Katolik, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik (Kan.1125, 2°).
c. Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan serta sifat-sifat hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya (Kan.1125, 3°).
Janji ini acapkali menjadi salah satu permasalahan. Maka sangat dianjurkan untuk dibereskan dahulu, sehingga bisa diantisipasi.



4. SOAL LARANGAN NIKAH GANDA (Kan 1127 $ 3)
Kita berhadapan dengan kenyataan: dalam perkawinan campur, tata peneguhan kanonik diwajibkan, sedangkan nikah ganda (peneguhan sebelum atau sesudah peneguhan Katolik masih diadakan peneguhan menurut agama lain) dilarang.
Kesan yang sering timbul  dari pihak non-Katolik: Gereja Katolik mau menangnya sendiri, mengapa tidak “FIFTY-FIFTY”: baik menurut hukum agama Katolik di Gereja Katolik, maupun menurut agama yang lain. Tetapi justru ini dilarang Kan. 1127 $ 3 yang sering sulit dipahami pihak non-Katolik.

a. Dalam Pernikahan Beda Gereja
Terbuka perkawinan ekumenis di hadapan pendeta dan pelayan Katolik, kalau perlu bahkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik (bila pernyataan konsensus tidak diterimakan oleh pelayan Katolik). Maka perlu disepakati pembagian tugas yang jelas antara pendeta dan pelayan Katolik, misalnya firman dan berkat diserahkan kepada pendeta, sedangkan pelaksanaan tata peneguhan kanonik dipercayakan kepada pelayan Katolik, demi sahnya perkawinan.

b. Dalam Pernikahan Beda Agama
Terutama pihak non-Katolik dapat mempunyai keberatan, mungkin bahkan menurut hati nuraninya: sebelum menikah menurut agamanya, perkawinan tidak sah, dan hubungannya dirasakan sebagai zinah. Atau dapat juga terjadi bahwa fakta ini dipakai sebagai kesempatan untuk berpisah (menceraikan jodohnya) dengan alasan: belum menikah sah.



5. PASTORAL BAGI PASANGAN KAWIN CAMPUR
Yang paling krusial adalah masalah anak. Orangtua tetap bertanggung jawab soal pendidikan anak. Dan harus dibereskan sebelum menikah. Sejak dulu kawin campur menjadi halangan, sebab menjadi ancaman iman. Maka Gereja mengingatkan bagi mereka yang melakukan kawin campur agar supaya tidak lupa akan janjinya. Selain itu mengingatkan orangtua akan kewajiban mendidik anak. Sebenarnya dua-duanya diingatkan. Yang diharapkan Gereja supaya mereka sadar akan pertumbuhan anak, yang harus dibicarakan sejak awal, sebenarnya hanya untuk membentengi iman. Bagi yang Katolik bila sudah membaptiskan anak berarti sudah melaksanakan janji itu? Belum, sebab soal pendidikan selanjutnya harus dipikirkan. Seandainya mengalami kesulitan besar sehingga tidak membaptiskan anak, tidak berarti tidak berhasil mendidik anak. Yang penting adalah melakukan yang baik untuk anak. Ini adalah resiko orang menikah kawin campur.

Memang sudah banyak ajakan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan keluarga, tidak hanya untuk tahap persiapan perkawinan yang hanya meliputi waktu yang amat pendek, melainkan terutama untuk tahap pasca-nikah yang meliputi hal-hal praktis seluruh hidup perkawinan. Namun demikian upaya-upaya itu kerap kali masih sporadis dan insidental, daripada gerakan yang melibatkan seluruh umat.

Dalam pandangan Gereja tentang kawin campur sudah disebut unsur-unsur (misalnya sehubungan dengan interaksi antara perkawinan dan agama) yang menggaris bawahi perlunya pastoral perkawinan dan keluarga pada umumnya, dan kawin campur pada khususnya. Kiranya pasangan kawin campur tidak hanya menunggu saja, tapi perlu aktif membina diri dan mencari kesempatan untuk memperkembangkan hidup imannya.

Hal yang utama dalam perkawinan adalah Kasih. Kasih yang selalu terikat pada pribadi. Perlu senantiasa mengusahakan berbagai hal yang menyatukan. De Facto dalam perkawinan campur ada perbedaan, namun membicarakan perbedaan tidaklah berguna bahkan menimbulkan kerenggangan. Senantiasa yakin akan pemeliharaan dan penyertaan Tuhan.


6. KESULITAN PENCATATAN SIPIL
Berlakunya Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia  1974 pasal 2 hanya mengakui sah perkawinan di agama masing-masing , mengakibatkan tidak mudahnya mereka yang menikah dalam perkawinan campur untuk mendapatkan pengesahan sipil. Atas dasar ini, kalau mau perkawinan diakui sah dan dicatat oleh negara, Kantor Catatan Sipil menuntut surat Baptis dari kedua pihak. Sering dijumpai tidak konsistennya petugas pencatatan sipil.


 7. SARAN DAN HARAPAN BAGI ORANGTUA DAN MUDIKA
Memang sudah cukup banyak usaha-usaha pastoral untuk mengurangi kawin campur. Namun seringkali usaha-usaha itu masih sporadis, dan belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Kiranya perlu suatu gerakan bersama. Belum lagi kesulitan banyak kaum muda untuk menemukan pasangan hidup yang seiman.

Salah satu usaha pastoral tradisional untuk mengurangi kawin campur adalah menggalakkan aktivitas Mudika. Namun kita sadari juga bahwa pada akhir-akhir ini minat kaum muda untuk berkumpul, mengadakan aktivitas bersama rekan seiman dirasa menurun.

Kiranya peran para orangtua untuk mendorong kaum muda untuk lebih banyak berinteraksi dengan teman mudika perlu kembali ditingkatkan. Orangtua tidak cukup kalau hanya mengharapkan atau bahkan menuntut agar anaknya tidak melakukan kawin campur.

Tentu tidak kalah pentingnya adalah usaha mudika sendiri untuk mengembangkan diri dan menyiapkan diri sedini mungkin untuk memasuki kehidupan keluarga dan perkawinan. Banyak calon pasangan sungguh tidak siap memasuki hidup perkawinan dan keluarga. Kaum muda perlu mempersiapan hidup perkawinan sejak dini. Perlu memahami apa itu tujuan perkawinan, sifat-sifat hakiki perkawinan Katolik. Perlu juga mengetahui halangan-halangan perkawinan, dan sebagainya. Karena itu hendaknya kaum muda sungguh berani lebih terlibat dalam aktivitas-aktivitas mudika. Di sana kaum muda juga akan berdiskusi bersama dan lewat interaksi itu akan semakin memahami hakekat perkawinan Kristiani dan mempersiapkan diri ke arah itu. Dan tentu saja, urusan pasangan hidup, kiranya tetap tekun memohon kasih karunia Tuhan untuk itu.


~ RD. Antonius Padua Dwi Joko


Pernikahan, atau perkawinan, adalah persatuan keseluruhan hidup sepasang laki-laki dan perempuan. Dengan titik-tolak ini, dapatlah dikatakan bahwa pernikahan pada dasarnya adalah sebuah kata kerja, bukan kata benda. Pernikahan adalah sebuah proses, bahkan proses yang sangat panjang, dengan segala jatuh bangunnya, karena masing-masing pribadi mempunyai keunikan. Dalam banyak pernikahan, keunikan-keunikan itu tidak bisa sepenuhnya bisa dipadukan atau dikompromikan. Supaya bisa menolong pasangan untuk bisa mengelola perbedaan itu pulalah Gereja Katolik merumuskan hukumnya tentang perkawinan (sebagai salah satu bagian kecil dari Kitab Hukum Kanonik 1983), yang secara tidak langsung didasarkan pada Alkitab yang sudah ’ditafsirkan’ secara lebih modern dalam Konsili Vatikan II pada tahun 1962-1965. Karena itu, dalam tulisan singkat ini acuan alkitabiah-nya sudah diandaikan.
Salah satu perbedaan yang sering terjadi dan menyulitkan pasangan dalam membina kebersamaan seluruh hidup adalah perbedaan keyakinan, yang sering tidak terhindarkan karena pluralitas sosiologis masyarakat. Dalam paparan singkat ini  akan diuraikan pandangan dasar (yuridis) tentang pernikahan dalam pandangan Katolik, dan dengan dasar itu pernikahan campur beda agama akan disikapi, khususnya dalam konteks Indonesia dan kaitannya dengan undang-undang nomor 1/1974 tentang perkawinan.

Pandangan Dasar tentang Pernikahan
Kanon (pasal) dalam KHK (Kitab Hukum Kanonik) 1983 tentang pernikahan atau perkawinan, dimulai dengan kanon 1055 § 1 yang berbunyi:
Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen
KHK 1983, berbeda dengan KHK 1917, memakai kata ’perjanjian’ bukan kontrak. Dengan kata itu mau digarisbawahi aspek dinamis dari sebuah pernikahan.  Secara implisit dikatakan bahwa pernikahan adalah kata kerja, karena pernikahan adalah sebuah proyek berdua antara laki-laki dan perempuan yang sepakat untuk saling mencintai dan saling memberikan diri. Pernikahan bukan sekedar hidup bersama berdua. Karena itu lalu bisa diibaratkan sebagai naik sepeda tandem berdua. Dalam kerangka inilah ada beberapa catatan penting.
Dalam klausul ’seorang laki-laki dan seorang perempuan’ bisa termaktub tiga catatan penting.
  • Pertama, yang bisa menikah hanyalah seorang laki-laki dan seorang perempuan. Secara tidak langsung pun dikatakan bahwa dalam keyakinan Katolik hanya ada dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Hal ini akan sangat berkaitan dengan keterbukaan pada kelahiran anak sebagai salah satu tujuan perkawinan. Karena itu, tidak dimungkinkan pernikahan orang yang berjenis kelamin sama.
  • Kedua, yang menikah adalah dua orang dewasa, masingmasing sebagai pribadi yang utuh dan sehat secara jasmani dan rohani. Yang satu berjanji menerima pribadi yang lain, juga secara utuh. Dengan kata lain, janji perkawinan itu diucapkan yang satu terhadap yang lain, dari pribadi yang satu ke pribadi yang lin, person to person, yang diandaikan diucapkan dengan bebas
  • Terkait erat dengan hal ini, catatan penting yang ketiga adalah bahwa kedua pribadi itu dipandang setara. Laki-laki tidak lebih tinggi daripada perempuan, dan karena itu tidak mempunyai hak dan kewajiban yang lebih banyak. Bahkan, sangat jelas bahwa dalam KHK 1983 tidak dikatakan bahwa laki-laki harus menjadi kepala rumah tangga. Dalam kanon 1135 dikatakan bahwa ” Kedua suami-istri memiliki kewajiban dan hak sama mengenai hal-hal yang menyangkut persekutuan hidup perkawinan.”
Catatan ke empat pada klausul ’membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup’ menggarisbawahi dimensi kesalingan antara laki-laki dan perempuan yang menjanjikan cinta itu. Kesalingan itu sangat terkait dengan pernikahan sebagai ’proyek berdua’ yang telah disebut diatas, dan masing-masing menyerahkan seluruh hidupnya. Keutuhan hidup yang dimaksud adalah keutuhan dalam dimensi ruang maupun waktu. Dalam dimensi ruang, masing-masing memberikan seluruh dimensi hidupnya, baik itu tubuhnya, jiwanya, maupun rohnya. Dengan kata lain, pernikahan tidak hanya menjadi sebuah hubungan fisik (seksual), melainkan juga ada keselarasan psikis dan juga spiritual. Lalu, dalam dimensi waktu, keutuhannya diwujudkan dalam pemberian diri seumur hidup. Itulah sebabnya, dalam pandangan Gereja Katolik, pernikahan itu bersifat monogam eksklusif dan tak terceraikan seumur hidup, yang ditekankan dalam kanon 1056 , ”Ciriciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.”

Catatan selanjutnya terkait dengan klausul selanjutnya, yaitu ”yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak.” Klausul ini didahului dengan frase ’yang menurut ciri kodratinya’, yang berarti – sebagai catatan kelima- bahwa tujuan perkawinan itu sudah ada sejak semula, sejak manusia diciptakan Tuhan. Tujuan pernikahan itu tentang kesejahteraan pasangan dan kelahiran serta pendidikan anak tidak ditetapkan oleh Gereja.
Catatan keenam, kedua tujuan tadi adalah tujuan ganda. Artinya, keduanya terkait erat, tidak bisa dipisahkan, dan juga tidak ada hirarkhinya, atau tidak ada yang lebih utama dari yang lain. Dengan menempatkan tujuan ’kesejahteraan pasangan’ lebih dahulu daripada tujuan ’kelahiran dan pendidikan anak’ Gereja tidak mengatakan bahwa yang pertama lebih tinggi daripada yang kedua, meski –perlu dicatat- mengubah pandangan lama yang menempatkan kelahiran anak sebagai tujuan pertama pernikahan.
Catatan ketujuh, kesejahteraan pasangan yang dimaksud, selaras dengan pandangan keutuhan hidup yang disebut di atas, berarti kesejahteraan dalam seluruh dimensi, baik itu kesejahteraan material dan fisik, kesejahteraan psikis maupun kesejahteraan rohani/spiritual. Demikian halnya dengan makna pendidikan anak yang juga menjadi tujuan perkawinan. Pendidikan disini bukan hanya pendidikan dalam arti formal, melainkan juga pendidikan rohani. Dengan kata lain pun, alam bahasa Katolik, pernikahan sebagai sakramen adalah sebuah sarana keselamatan jiwa pula.

Dari pandangan-pandangan itu, tampak jelas bahwa pernikahan idealnya adalah sungguh saling pemberian diri supaya pasangannya sungguh berkembang sebagai pribadi. Pandangan Gereja Katolik yang mengatakan bahwa pernikahan adalah sakramen, seperti ditegaskan dalam frase berikutnya (’oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen’) didasari pandangan ini. Yang semakin ditegaskan dalam kanon 1055 § 2 yang mengatakan, ”Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.” Hal ini berarti bahwa perkawinan antara seorang yang dibaptis secara Katolik atau diterima di dalamnya dengan seorang dari Gereja Kristen juga menjadi sakramen.
Bahwa yang disebut sakramen hanya antara dua orang dibaptis tentu terkait dengan pendasaran teologis bahwa Kristus adalah sakramen keselamatan dunia dan murid-murid Kristus dipanggil untuk mewartakan kasih Allah yang ’menjelma’ dalam diri Kristus. Karena itu pula, rumusannya adalah ’kedua pasangan saling menerimakan sakramen perkawinan.’ Yang memberi sakramen adalah pasangan itu sendiri, bukan pastor yang memberkatinya. Dalam tata peneguhan pernikahan Katolik, pastor hanyalah ’saksi resmi’ (sebagai pejabat) Gereja yang menanyakan kesepakatan, disamping ada dua saksi lain adalah sah.
Meski begitu, pemahaman makna sakramental (tidak dalam pengertian sempit yuridis-teologis) bisa dipahami dalam arti yang lebih luas. Mengacu bahwa makna dasar sakramen adalah tanda dan sarana cinta Tuhan, pernikahan berarti bahwa suami menjadi tanda cinta Tuhan bagi isteri dan isteri menjadi tanda cinta Tuhan bagi suami. Karena cinta itu menghidupkan, harapannya adalah bahwa kehadiran suami menghidupkan isteri dan begitu sebaliknya. Makna (quasi) sakramental ini tentunya bisa diberlakukan juga pada pasangan beda agama.
Dengan kata lain, dalam pandangan Katolik pernikahan mengandung makna teologis yang sangat dalam. Pernikahan bukanlah sekedar kontrak sementara, yang jika disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan kontrak bisa diputus. Pernikahan juga bukan main-main atau usaha coba-coba. Karena itulah Gereja Katolik menuntut persiapan yang matang dan juga persyaratan yang cukup banyak sebagai salah satu bentuk menguji kesungguhan itu, meski kadang dipandang terlalu berbelit dan merepotkan. Ada makna yang mendalam dalam persyaratan yang tidak sedikit itu. Pun, persyaratan ini masih harus dilengkapi dengan sebuah penyelidikan kanonik, yaitu pertemuan seorang pastor sebagai pejabat Gereja dengan masing-masing calon untuk ditanyai berbagai hal yang menyangkut persyaratan-persyaratan itu.

Pernikahan

Campur

Dari pandangan di atas, cukup jelas bahwa pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang bersifat sakramen, yang –seperti tadi dikatakan- berarti di antara dua orang yang dibaptis, terlebih yang dibaptis atau diterima dalam Gereja Katolik. Yang ideal ini tidak serta-merta satu-satunya kemungkinan. Meski tidak ideal, Gereja memberi kemungkinan adanya pernikahan campur, dengan segala persyaratannya. Meski dispensasi untuk pernikahan campur beda agama ini sudah cukup lama dipraktekkan, kemungkinan itu makin bisa dipertanggungjawabkan secara teologis terutama sejak Konsili Vatikan II dan juga mengingat situasi sosiologis masyarakat. Dalam pandangan teologis, Gereja Katolik tidak lagi mau memonopoli kebenaran iman dan keselamatan seperti terungkap dalam jargon lama yang berbunyi ”Extra ecclesiam nulla salus” yang berarti di luar Gereja (Katolik) tidak ada keselamatan. Sejak Konsili Vatikan II ada pandangan yang berubah dari Gereja Katolik terhadap gereja-gereja Kristen lain. Mereka dipandang sebagai saudara, eukomenisme. Sementara itu, Gereja Katolik juga mengakui bahwa ada juga keselamatan dalam agama lain. Kemudian, secara sosiologis, Gereja Katolik juga makin realistis bahwa dalam masyarakat ada pluralitas agama. Artinya, kemungkinan seorang Katolik jatuh cinta dan mau menikah dengan orang yang tidak Katolik tidak bisa dihindari seratus persen. Hal ini makin sulit dicegah ketika sarana komunikasi modern makin mempermudah perjumpaan manusia yang berbeda jenis kelamin.
Dalam khasanah Gereja Katolik, yang dimaksud pernikahan campur adalah pernikahan beda gereja dan beda agama.
Pernikahan campur beda gereja, dengan mendasarkan pada kanon 1124, adalah pernikahan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima didalamnya setelah baptis, dengan seorang anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik. Yang dimaksud dengan ’Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik’ adalah gereja-gereja Kristen atau juga gereja ortodoks yang tidak mengakui kepemimpinan Paus di Roma. Untuk konteks Indonesia, itu adalah gereja-gereja Kristen, baik yang tergabung dalam PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) maupun yang tidak tergabung, serta beberapa komunitas Katolik Ortodoks. Dalam hal ini, Gereja Katolik mengakui sah-nya baptis mereka, asal bersifat trinitarian (dibaptis dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus) dan dibaptis dengan air. Untuk pernikahan dengan mereka, diperlukan ijin dari otoritas Gereja yang berwenang. Dalam hal ini adalah Uskup atau yang ditunjuk olehnya.
Pernikahan campur yang kedua adalah pernikahan campur beda agama. Merujuk ke kanon 1086 § 1, yang dimaksud adalah pernikahan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya dan yang lain tidak dibaptis. Yang dimaksud orang yang tidak dibaptis berarti orang yang beragama selain Kristen/Katolik, termasuk mereka yang mengikuti aliran kepercayaan dan juga yang menyatakan diri tidak beragama. Pada dasarnya, pernikahan ini dilarang, meski, sesuai kanon 1086 §2,dimungkinkan adanya dispensasi, setelah memenuhi beberapa persyaratan.

Sebenarnya, bobot ’larangan’ antara pernikahan campur beda gereja dan campur beda agama berbeda. Hal itu tampak dari perbedaan istilah yang dipakai. Untuk pernikahan campur beda gereja ’hanya’ dibutuhkan ijin dari otoritas gerejawi, sedang untuk pernikahan beda agama dibutuhkan dispensasi. Dalam pengertian yuridis, dispensasi berarti pembebasan dari hukum, dan secara implisit mengandaikan bahwa larangannya lebih berat. Meski begitu, seperti disebut dalam kanon 1086 § 2 tadi, secara umum persyaratannya tidak jauh berbeda. Dua kanon secara eksplisit menyebutkan syarat-syarat didapatkannya baik ijin maupun dispensasi itu.

Kanon 1125 - Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;
  2. mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik; 
  3. kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya

Kanon 1126 - Adalah tugas Konferensi para Uskup untuk menentukan baik cara pernyataan dan janji yang selalu dituntut itu harus dibuat, maupun menetapkan cara hal-hal itu menjadi jelas, juga dalam tata-lahir, dan cara pihak tidak katolik diberitahu.

Sehubungan dengan syarat yang diminta, yang perlu digaris-bawahi adalah jaminan bahwa pihak Katolik tidak akan meninggalkan Gereja atau berpindah agama. Hal ini tentu saja wajar karena Gereja ingin menjamin agar umatnya menjaga, dan bahkan memupuk imannya sebaik-baiknya. Perlu diingat bahwa pernikahan sebagai persatuan dua pribadi yang unik memerlukan kemampuan untuk saling berkompromi, sementara banyak ajaran agama tidak bisa dikompromikan karena truth claim masing-masing.
Syarat kedua ini dijanjikan oleh pihak yang Katolik dengan menandatangani formulir yang telah disiapkan dan akan dilampirkan dalam permohonan ijin/dispensasi. Dalam hal ini, pihak yang tidak Katolik memang diminta ikut menandatangani, tetapi dalam status mengetahui. Artinya, dia mengetahui janji pihak Katolik kepada Gereja. Pihak yang tidak Katolik tidak perlu ikut berjanji.

Selain itu, ada beberapa syarat yang terkait dengan kondisi khusus dari pihak yang Katolik, baik kondisi yang lebih bersifat personal maupun yang bersifat sosial. Dalam lembar permohonan dispensasi yang diajukan pihak Katolik bersama pastor paroki kepada otoritas gerejawi yang berwenang, ditulis beberapa contoh. Beberapa alasan yang bisa menyertai pengajuan itu antara lain: sulit menemukan jodoh lain, bahaya menikah di luar Gereja, mengesahkan nikah yang telah diteguhkan di luar Gereja, pergaulan terlalu erat atau telah tinggal serumah, pihak wanita telah mengandung, wanita sudah superadulta (atau bahasa umumnya ’perawan tua’), menghindari percekcokan dalam keluarga, calon mempelai miskin, menghindari sandungan, dan telah berjasa besar bagi masyarakat/Gereja.

Jika persyaratan ini sudah dipenuhi dan kemudian ijin atau dispensasi diberikan, pasangan yang berbeda gereja/agama itu bisa menikah di depan pastor Katolik dan dua saksi. Itu syarat yang paling pokok, dan itulah yang disebut dengan tata peneguhan kanonik seperti yang telah disebut dalam kanon 1108 di atas. Hal yang lain, lebih bersifat sekunder, meski untuk tempat, Gereja Katolik mengaturnya dengan mengatakan dalam kanon 1115 bahwa
Perkawinan hendaknya dirayakan di paroki tempat salah satu pihak dari mempelai memiliki domisili atau kuasidomisili atau kediaman sebulan, atau, jika mengenai pengembara, di paroki tempat mereka sedang berada; dengan izin Ordinaris atau pastor parokinya sendiri perkawinan itu dapat dirayakan di lain tempat.
Hal yang sama juga berlaku untuk pernikahan campur, seperti dikatakan dalam kanon 1118 bahwa
§ 1. Perkawinan antara orang-orang Katolik atau antara pihak Katolik dan pihak yang dibaptis bukan Katolik hendaknya dirayakan di gereja paroki; dapat dilangsungkan di gereja atau ruang doa lain dengan izin Ordinaris wilayah atau pastor paroki.
§ 2. Ordinaris wilayah dapat mengizinkan perkawinan  dirayakan di tempat lain yang layak.
§ 3. Perkawinan antara pihak Katolik dan pihak yang tidak dibaptis dapat dirayakan di gereja atau di tempat lain yang layak. 
Kanon ini memberi kemungkinan untuk meminta ijin diberkatinya suatu pernikahan di tempat lain yang bukan Gereja Katolik, misalnya di suatu gereja Kristen lain, dengan diberkati bersama pendeta dan kesepakatan nikah ditanyakan oleh seorang pastor Katolik. Tentang kemungkinan ini, ijin bisa dimintakan pada pastor paroki saja.
Dalam situasi yang lebih berat, otoritas gerejawi (ordinaris wilayah) bisa juga memberikan dispensasi dari tata peneguhan Kanonik, asal prosedur dan pencatatannya tetap dilakukan juga di Gereja Katolik. Hal ini dikatakan dalam kanon 1121 § 3

Mengenai perkawinan yang dilangsungkan dengan dispensasi dari tata peneguhan Kanonik, Ordinaris wilayah yang memberikan dispensasi hendaknya mengusahakan agar dispensasi dan perayaan dicatat dalam buku perkawinan baik kuria maupun paroki pihak Katolik, yang pastor parokinya melaksanakan penyelidikan mengenai status bebasnya; mempelai yang Katolik diwajibkan secepat mungkin memberitahukan perkawinan yang telah dirayakan kepada Ordinaris itu atau pastor paroki, juga dengan menyebutkan tempat perkawinan dirayakan serta tata peneguhan publik yang telah diikuti.

Hal ini dipertegas dalam kanon 1127 § 2 yang menyebutkan bahwa
Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan Kanonik, Ordinaris wilayah dari pihak Katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan Kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang disepakati bersama.
Kemungkinan dispensasi ini disebutkan disini juga supaya pasangan itu tidak perlu dua kali mengucapkan janji, sekali dalam upacara Katolik dan sekali dalam upacara agama lain. Sehubungan dengan hal ini Gereja Katolik memang menegaskan dalam kanon 1127 § 3 bahwa
Dilarang, baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma § 1, mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk menyatakan atau memperbarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan perayaan keagamaan, dimana peneguh katolik dan pelayan tidak katolik menanyakan kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri.

Patut dicatat disini bahwa yang dilarang adalah perayaan keagamaan yang menyatakan atau memperbaharui kesepakatan. Jika ada perayaan keagamaan lain untuk berdoa bersama atau mendoakan, tanpa ada janji ulang, tentunya tidaklah dilarang. Pun, dalam perayaan ekumenis (dipimpin bersama pendeta dari Gereja Kristen lain), tidak melanggar larangan ini jika sahabat dekat pihak non-Katolik yang kebetulan bukan orang Katolik; pelayan Katolik tidak mungkin datang untuk memberikan pelayanan; Gereja terdekat dan mungkin dihubungi hanyalah Gereja non-Katolik; bila pihak Katolik ‘KTP’ menikah dengan seorang non-Katolik yang sangat taat pada agamanya. Lihat Robertus Rubiyatmoko, Pr, Perkawinan Kristiani menurut Kitab Hukum Kanonik, diktat kuliah Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta, hal. 124.

Efek

Yuridis

Pernikahan

Setelah semua dilakukan, terjadilah ikatan pernikahan atau perkawinan seperti disebut dalam kanon 1134 bahwa “Dari perkawinan sah timbul ikatan antara pasangan, yang dari kodratnya tetap dan eksklusif; selain itu dalam perkawinan kristiani pasangan, dengan sakramen khusus ini, diperkuat dan bagaikan dibaktikan (consecrare) untuk tugas-tugas dan martabat statusnya.” Ikatan dan juga kewajiban-hak yang sama terjadi untuk pernikahan campur beda agama. Dalam hal ini, perlindungan hukum atas pernikahan yang telah dilakukan dijamin Gereja, seperti ditegaskan dalam kanon 1060 “Perkawinan mendapat perlindungan hukum (favor iuris); karena itu dalam keragu-raguan haruslah dipertahankan sahnya perkawinan, sampai dibuktikan kebalikannya.”
Efek yuridis juga diberlakukan untuk anak yang dikandung dan dilahirkan, seperti ditegaskan dalam kanon 1137 bahwa “Adalah legitim anak yang dikandung atau dilahirkan dari perkawinan yang sah atau putatif.” Kanon ini menegaskan bahwa anak yang dilahirkan adalah anak pasangan itu, termasuk ayah anak yang dikandung jika tidak ada bukti sebaliknya, terutama jika dilahirkan enam bulan setelah pernikahan.

Itu pun berarti bahwa dalam pandangan Gereja Katolik, pernikahan yang dilakukan dengan tata peneguhan Katolik sudah sah dan memberi jaminan hukum bagi anak-anak yang akan dilahirkan. Karena itu, Gereja Katolik tidak mengharuskan atau mewajibkan pasangan yang telah menikah secara Katolik mencatatkan pernikahan ini dalam hukum sipil (atau catatan sipil dalam hukum Indonesia menurut Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Hanya saja, mengingat bahwa dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan pencatatan perkawinan secara sipil ini sangat penting, Gereja Katolik sangat menganjurkan agar pencatatan sipil dilakukan, karena, menurut kanon 1059  “Perkawinan orang-orang katolik, meskipun hanya satu pihak yang Katolik, diatur tidak hanya oleh hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum Kanonik, dengan tetap berlaku kewenangan kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari perkawinan itu.” Mengingat itu, untuk konteks Indonesia, para uskup Regio Jawa menetapkan agar “Mereka yang telah melangsungkan perkawinan secara gerejawi hendaknya didorong untuk selekas mungkin mengurus pencatatan sipilnya.”

Problem

Pastoral

Dalam kenyataan sosial di tengah masyarakat, apalagi dalam dunia yang bergerak begitu cepat, banyak hal terjadi yang tidak persis sesuai dengan hukum Gereja. Pada bagian ini, berdasarkan prinsip-prinsip di atas, dikomentari beberapa kasus yang kadang muncul, terutama terkait dengan pernikahan campur beda gereja dan campur beda agama.

Kasus pertama: tidak jarang terjadi pernikahan campur beda gereja atau beda agama dilakukan tidak secara Katolik atau dilakukan di luar negeri. Dalam hal ini, Gereja Katolik tidak mengakui sahnya pernikahan itu, meski juga sudah sah secara sipil. Jika pasangan ini tidak membereskannya secara Kanonik, pihak yang Katolik tidak diperkenankan menerima atau menyambut komuni suci dalam perayaan ekaristi (kanon915).
Kasus kedua: tidak jarang pasangan melakukan upacara pernikahan ganda. Artinya, selain meneguhkan pernikahan itu secara Katolik, mereka juga meneguhkannya melalui agama pihak yang non-Katolik. Hal ini tentu tidak sesuai dengan kanon 1127 § 3 yang telah disebut di atas. Meski sebenarnya Gereja Katolik sudah memberikan beberapa celah kemungkinan untuk menghindarkannya, seperti telah disebut di atas, baik dengan kemungkinan memohon ijin menikah tidak di gereja Katolik atau bahkan juga dispensasi dari tata peneguhan Kanonik, masih tidak sedikit yang melakukannya. Dalam hal ini Gereja memang hanya bisa melarang, tetapi upacara ganda seperti itu tidak menggagalkan pernikahan Katolik yang sudah atau akan dilakukan. Jadi, pernikahan itu tetap sah, dan pasangan itu tidak mendapat sanksi.

Kasus ketiga: ada pasangan berbeda campur beda agama yang ’membagi’ pendidikan agama anak-anaknya, separuh ikut pihak yang Katolik dan separuh pihak yang tidak Katolik. Tentu saja ini tidak sesuai dengan janji yang diberikan pihak yang Katolik sesuai dengan kanon 1125 nomor 1. Dalam hal ini, Gereja akan melihatnya kasus demi kasus, dan tidak begitu saja menjatuhkan sanksi, karena pada dasarnya yang dijanjikan pihak yang Katolik adalah usahanya, bukan hasilnya. Pun, karena ini lebih pada syarat sebelum pernikahan, kenyataan itu tidak menggagalkan pernikahan yang sudah ada.

Kasus keempat: ada pasangan campur beda gereja atau beda agama, karena berbagai kesulitan yang tak tertahankan, akhirnya mereka bercerai secara sipil. Dalam hal ini, Gereja hanya memandangnya sebagai ’pisah ranjang’ seperti diatur dalam kanon 1151-1155. Artinya, pihak Katolik tidak bisa menikah lagi secara Katolik, meski secara sipil dimungkinkan, kecuali kalau dia sudah mendapatkan pembatalan pernikahannya itu dari lembaga tribunal gerejawi. Terkait dengan pembagian harta dan anak, Gereja Katolik menyerahkannya pada hukum sipil/negara. Melalui kanon 1154 Gereja Katolik hanya mengingatkan “Bila terjadi perpisahan suami-istri, haruslah selalu diperhatikan dengan baik sustentasi dan pendidikan yang semestinya bagi anak-anak.”

Kasus kelima: ada seorang laki-laki Katolik yang menikah dengan perempuan non-Katolik dan kemudian meninggal. Ada pertanyaan sehubungan dengan harta warisan. Dalam hal ini, Gereja Katolik tidak mempunyai hukum waris sendiri. Gereja Katolik menyerahkan sepenuhnya pada hukum sipil yang berlaku bagi pasangan itu (hukum sipil yang diakui gereja). 
Penutup
Dari paparan di atas, dalam kaitannya dengan hukum sipil, atau untuk konteks Indonesia berarti undang-undang nomor 1/1974 tentang perkawinan, sehubungan dengan pernikahan pada umumnya dan khususnya pernikahan campur, bisa disimpulkan beberapa hal:
  1. Gereja Katolik, sesuai prinsip pemisahan antara agama dengan negara, memisahkan urusan pernikahan secara Katolik dengan pernikahan sipil. Karena itu, Gereja tidak mewajibkan pasangan yang menikah secara Katolik untuk mencatatkannya dalam catatan sipil, meski sangat menganjurkannya.
  2. Meski tidak ideal, mengingat situasi sosiologis masyarakat dan juga dengan pertimbangan teologis, Gereja Katolik memberi kemungkinan adanya pernikahan campur, baik beda gereja maupun beda agama, dengan beberapa persyaratan khusus. Dalam hal ini, pihak nonKatolik tetap berhak memeluk imannya sendiri, tidak harus menjadi Katolik.
  3. Untuk kasus-kasus yang tidak bisa ’dikerangkai’ dengan hukum, terutama karena perkembangan sosiologis yang begitu cepat, Gereja Katolik juga menempuh jalan pastoral kasus per kasus (case by case) terutama dengan pertimbangan bahwa di satu sisi ada kesulitan sosiologis yang tidak memungkinkan suatu aturan hukum (kanon) dilaksanakan dengan penuh dan di sisi lain Gereja Katolik sangat menghormati kedewasaan masingmasing pribadi, terutama dalam memakai hatinuraninya.
  4. Akhirnya, salah satu prinsip penting dalam menyikapi kasus demi kasus itu adalah pembedaan Kanonik antara hukum illahi yang memang bersifat mutlak dengan hukum gerejawi yang memberi kemungkinan dispensasi. Yang penting diingat adalah bahwa tidak semua pasal/kanon dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 bersifat illahi sehingga harus dimutlakkan; sehingga bisa memberi kemungkinan jalan pastoral yang lebih kontekstual. Pun, hukum sebagai sarana bantu manusia perlu terus diingat. Bukan manusia untuk hukum, tapi hukum untuk manusia, yang dalam bahasa Kitab Hukum Gereja 1983 dinyatakan dengan menyatakan bahwa dalam hidup Gereja, keselamatan jiwa-jiwa menjadi hukum yang tertinggi (kanon 1752). Salus animarum, suprema lex. Begitu istilah Latin-nya.

_______________________________________________________ 

 

Al. Andang L. Binawan, SJ

DAFTAR

PUSTAKA

 ---; Katekismus Gereja Katolik (a.b. P. Herman Embuiru,  SVD), Ende: Propinsi Gerejani Ende, 1995.
---; Dokumen Konsili Vatikan II (a.b. R. Hardawiryana,  S.J.), Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI  – Obor, 1993.
---; Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), edisi  resmi Bahasa Indonesia, Jakarta: Konferensi  Waligereja Indonesia, 2006.
---;Go O.Carm, Dr. Piet; Kawin Campur: Beda Agama dan  Beda Gereja, Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja dan Hukum Sipil, Malang: Penerbit  Dioma, 1990.
---;Nurcholish, Ahmad dan Ahmad Baso (eds.); Pernikahan  Beda Agama: Kesaksian, Argumen Keagamaan,  dan Analisis Kebijakan, Jakarta: Komnas HAM dan ICRP, 2010.
---;Rubiyatmoko, Pr, Robertus; Perkawinan Kristiani menurut 
---;Kitab Hukum Kanonik, diktat kuliah Fakultas  Teologi Wedabhakti Yogyakarta, (tanpa tahun).


Catatan kaki:
Perkawinan:Pandangan tentang perkawinan, terutama dalam dunia modern, bisa dibaca dalam dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes artikel 4752. Bisa dibaca dalam Dokumen Konsili Vatikan II (a.b. R. Hardawiryana, S.J.), Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993, hal. 568-579  atau buka http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/document s/vat-ii_cons_19651207 _gaudium-et-spes_en.html . Pandangan dasar ini diuraikan lebih rinci dalam Katekismus Gereja Katolik (a.b. P. Herman Embuiru, SVD), Ende: Propinsi Gerejani Ende, 1995, hal. 431-445. Versi asli bahasa Inggris bisa dibuka di http://www.vatican.va/archive/ENG0015/__P50.HTM dan seterusnya.
Dewasa: Untuk menjamin bahwa orang itu sungguh dewasa, ada ketentuan umur untuk menikah. Karena itu kanon  1072 menyebutkan bahwa ”Para gembala jiwa-jiwa hendaknya berusaha menjauhkan kaum muda dari perayaan perkawinan sebelum usia yang lazim untuk melangsungkan perkawinan menurut kebiasaan daerah yang diterima.” Tentang batasan usia, Gereja mengatur dalam kan. 1083 § 1 bahwa, ”Laki-laki sebelum berumur genap enambelas tahun, dan perempuan sebelum berumur genap empatbelas tahun, tidak dapat melangsungkan perkawinan yang sah.” Selain itu, kedewasaan yang menjadi syarat bukan hanya kedewasaan fisik, melainkan juga kedewasaan intelektual dan psikis. Kanon 1093 mengatakan “Tidak mampu melangsungkan perkawinan:
a. yang kekurangan penggunaan akal-budi yang memadai;
b.yang menderita cacat berat dalam kemampuan menegaskan penilaian mengenai hak-hak serta kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan yang harus diserahkan dan diterima secara timbalbalik;
c.yang karena alasan-alasan psikis tidak mampu mengemban kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan.
Jasmani dan Rohani: Kesehatan jasmani yang dimaksud adalah kesehatan jasmani yang terkait langsung dengan esensi pernikahan, yaitu kemampuan hubungan seksual. Karena itu, impotensi akan menjadi halangan perkawinan seperti disebut dalam kanon1084 - § 1. ”Impotensi untuk melakukan persetubuhan yang mendahului (antecedens) perkawinan dan bersifat tetap (perpetua), entah dari pihak laki-laki entah dari pihak perempuan, entah bersifat mutlak entah relatif, menyebabkan perkawinan tidak sah menurut kodratnya sendiri.”
Utuh: Keutuhan janji itu bukan hanya terkait dengan kelebihan dan kekurangan pasangannya, melainkan juga keutuhan janji dalam konteks isi yang dijanjikan, khususnya kedua tujuan perkawinan yang tercantum dalam kanon 1055 § 1 di atas.
Bebas:Kebebasan menjadi syarat penting dalam janji perkawinan Katolik, sehingga keterpaksaan bisa menggagalkan janji itu, seperti disebut dalam kanon 1103 “Tidak sahlah perkawinan yang dilangsungkan karena paksaan atau ketakutan berat yang dikenakan dari luar, meskipun tidak dengan sengaja, sehingga untuk melepaskan diri dari ketakutan itu seseorang terpaksa memilih perkawinan.”
Monogami ekslusif dibedakan dari monogami suksesif. Monogami eksklusif adalah monogami seumur hidup, sedang monogami suksesif hanya berarti satu pasangan untuk kurun waktu tertentu, yang mungkin saja akan berganti.
keselamatan jiwa: Ditegaskan dalam kanon 1136, “Orangtua mempunyai kewajiban sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun moral dan religius.”
sah: Lihat kanon  1108 § 1. Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan di hadapan Ordinaris wilayah atau pastor paroki atau imam atau diakon, yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi; tetapi hal itu harus menurut peraturan-peraturan yang dinyatakan dalam kanon-kanon di bawah ini, serta dengan tetap berlaku kekecualian-kekecualian yang disebut dalam kanon-kanon 144, 1112, §1, 1116 dan 1127, § 1-2.
kanon  1108 § 2. Peneguh perkawinan hanyalah orang yang hadir menanyakan pernyataan kesepakatan mempelai serta menerimanya atas nama Gereja.

eukomenisme:Lihat dokumen Konsili Vatikan II tentang ekumenisme yang berjudul“Unitatis Redintegratio.” Bisa dibaca dalam Dokumen Konsili Vatikan II (a.b. R. Hardawiryana, S.J.), Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993, hal. 183-208 atau buka http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-ii_decree_19641121_unitatisredintegratio_en.html.
agama lain: Lihat dokumen Konsili Vatikan II tentang hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristen  yang berjudul “Nostra Aetate.” Bisa dibaca dalam Dokumen Konsili Vatikan II (a.b. R. Hardawiryana, S.J.), Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993, hal. 309-316 atau buka http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vatii_decl_19651028_nostra-aetate_en.html.
1124:Kanon 1124, “Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima didalamnya setelah baptis, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang, dilarang.”
1086: Kanon 1086 - § 1. Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.
Kanon 1086 -§ 2. Dari halangan itu janganlah diberikan dispensasi, kecuali telah dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam kan. 1125 dan 1126.
Dispensasi  Lihat catatan kaki dalam Formulir 1 (Mohon Dispensasi dari Halangan Nikah), yang harus diisi oleh pastor paroki dalam mengajukan permohonan dispensasi dari halangan pernikahan bagi salah satu umatnya yang mau menikah.
ordinariswilayah: Yang dimaksud ordinaris wilayah adalah para “Uskup diosesan dan orang-orang lain, yang, walaupun untuk sementara saja, diangkat menjadi pemimpin suatu Gereja partikular atau suatu jemaat yang disamakan dengannya menurut norma kan. 368; dan juga mereka yang di dalam Gereja partikular atau jemaat tersebut mempunyai kuasa eksekutif berdasarkan jabatan, yaitu Vikaris Jenderal dan Episkopal.” (Lihat kanon 134§ 1 dan § 2).
kesulitan: Yang biasanya dikategorikan dengan kesulitan-kesulitan besar misalnya: adanya kesulitan besar untuk memenuhi tata peneguhan kanonik, misalnya karena pihak non-katolik menolak perayaan perkawinan secara Katolik, atau karena desakan dari pihak keluarga non-katolik, yang menjadi pelayan adalah anggota keluarga atau
ayah Kanon 1138 § 1. Ayah ialah orang yang ditunjuk oleh perkawinan yang sah, kecuali bila kebalikannya dibuktikan dengan argumen-argumen yang jelas.
Kanon 1138 § 2. Diandaikan legitim anak yang lahir sekurang-kurangnya sesudah 180 hari dari hari perkawinan dirayakan, atau dalam 300 hari sejak hidup perkawinan diputuskan.
Catatan sipil Statuta Keuskupan Regio Jawa pasal 116 no. 5a. Lihat Para Waligereja Regio Jawa 1995, Statuta Keuskupan Regio Jawa, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996, hal. 57.
ttg beda agama  Salah satu buku yang memuat kesaksian beberapa pasangan beda agama adalah Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen Keagamaan, dan Analisis Kebijakan (ed. Ahmad Nurcholish dan Ahmad Baso), Jakarta: Komnas HAM dan ICRP, 2010.
secara Kanonik: Pemberesan pernikahan seperti ini relatif sederhana, karena pihak yang Katolik bertemu dengan pastor paroki dan mengikuti prosedur dan persyaratan yang ada. Hal ini dimungkinkan dengan cara pemberesen biasa (convalidatio simplex) yang diatur oleh kanon 1156 atau dengan penyembuhan pada akar (sanatio in radice) seperti diatur dalam kanon 1161.
kanon 915; Kanon 915 mengatakan “Jangan diizinkan menerima komuni suci mereka yang terkena ekskomunikasi dan interdik, sesudah hukuman itu dijatuhkan atau dinyatakan, serta orang lain yang berkeras hati membandel dalam dosa berat yang nyata.” Dalam hal ini, mereka yang ‘nekad’ menikah tidak secara Katolik dipandang melakukan dosa berat. Sanksi ini relatif lebih lunak dibanding Kitab Hukum Kanonik 1917 yang mengekskomunikasi, atau mengeluarkannya dari Gereja, pihak Katolik yang melakukan pernikahan seperti ini.
sustentasi Yang dimaksud dengan sustentasi adalah jaminan hidup.
ttg hukum sipil yang diakui gereja Dengan mengacu pada kanon 22 “Undang-undang sipil yang dirujuk oleh hukum Gereja  harus ditepati dengan efek-efek yang sama dalam hukum kanonik, sejauh tidak bertentangan dengan hukum ilahi, dan tidak ditentukan lain dalam hukum kanonik.” 


Makalah Pendidikan Agama Kristen tentang Pacaran Beda Agama

Sempat bingung sama pembahasan materi makalah tentang Pacaran Beda Agama.
Tapi untung aja ada banyak website yang mendukung penyusunan makalah :D
Udah ada di daftar pustaka kok, terimakasih ya atas informasinya.
Daripada gak kepakai lagi ini makalah, nih aku share buat yang butuh pemahaman, hehe.

Perbedaan di antara setiap agama, akan tetap menjadi perbedaan dan selama-lamanya begitu. Tetapi hal ini tidak sama dengan pengertian bahwa agama mesti memisahkan. Perbedaan itu dapat mungkin disatukan kalau kedua orang saling mengerti, memahami dan mengenal perbedaan kemudian memutuskan untuk saling menghormati. Tetapi hal ini selalu menjadi tugas berat kalau kedua pihak selalu mempermasalahkan dan mencari pembedaan dan bahkan saling menjatuhkan keyakinan pasangannya.
Pembicaraan mengenai agama memang kadang terasa mengganggu. Hal ini benar kalau dikatakan di awal pacaran. Akan tetapi, merupakan suatu konsekuensi kalau pada beberapa waktu sesudahnya pembicaraan mulai mengarah ke hal beda agama itu, karena memang itu akan dihadapi berdua, baik selama pacaran, maupun kemudian kalau akhirnya memilih hidup bersama dalam lembaga perkawinan.(Msfmusafir t.thn.)
Pembicaraan mengenai agama bukanlah suatu tuntutan, melainkan membuka mata pasangan yang berpacaran bahwa sejak semula perbedaan itu ada. Penyadaran dari awal perkenalan adalah wajar sebagai bentuk hubungan yang sehat dan dewasa.perbedaan yang dibicarakan dan akhirnya diterima merupakan bentuk kesepakatan untuk saling menghormati dan selanjutnya tidak mempermasalahkan perbedaan itu sebagai alasan untuk bertengkar atau berpisah.
Masalah pacaran di zaman sekarang ini tampaknya menjadi gejala
umum dikalangan para remaja. Bahkan pacaran menjadi sebuah identitas
dikalangan para remaja. Biasanya seorang remaja akan bangga dan
percaya diri jika sudah memiliki pacar. Namun justru sebaliknya bagi
yang tidak memiliki pacar di anggap sebagai orang “kuper” /kurang
pergaulan. Karena itu, mencari pacar di kalangan remaja tidak saja
menjadi kebutuhan biologis tetapi juga menjadi kebutuhan sosiologis.
Maka tidak heran, kalau mayoritas remaja sekarang ini sudah memiliki teman spesial yang di sebut”pacar”.(Albukori 2008)
Dengan pertimbangan yang demikian, kami akan membahas sedikit tentang Pacaran Beda Agama.

1.      Apa Itu Berpacaran?
2.      Menurut Alkitab, Mengapa Pacaran Beda Agama Itu Dilarang?
3.      Bagaimana Jika Sudah Terlanjur Dengan Beda Iman?
4.      Apa Resiko Pacaran Beda Agama?
5.      Apa respon yang benar dari orang beriman dalam menanggapi bahwa memang pacaran beda agama itu salah?

1.      Supaya tahu akan tujuan pacaran.
2.      Supaya tahu kehendak Tuhan bahwa pacaran beda agama itu salah.
3.      Supaya tidak kecewa/ menyesal jika sudah terlanjur.
4.      Supaya tahu alasan yang menjadikan pacaran beda agama itu tidak diperbolehkan.



Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang lebih dikenal dengan pernikahan. Atau bisa disebut juga dengan hubungan yang dijalani sebagai kesempatan untuk mengenal lebih jauh seseorang yang akan menjadi suami atau istri dikemudian hari.
Pacaran adalah rasa senang dari suasana ketika berdua dan ada perasaan bergelora yang timbul dari keadaan pertemuan, seolah-olah ada arus listrik pada kedua insan yang berlainan jenis dan keadaan inilah yang disebut pacaran. (Singgih D t.thn.)
Menurut Dr. Boyke, pacaran adalah perasaan jatuh cinta bagi seorang dapat menjadi ekstrim dan penting, saat sulit untuk menunjukkan dengan tepat apa yang menjadi tanda-tanda cinta bagi orang-orang tertentu. Puncak dan lembah tampaknya menjadi arti penting, dan perasaan dapat berubah mencoba menerima kemampuan membaca pikiran dan hati apa yang mereka rasakan ketika jatuh cinta. (Dian Nugraha t.thn.)
Berpacaran merupakan tahap lebih mengenal untuk mengarahkan tujuan pada pernikahan antara remaja putera dan remaja puteri sehingga remaja putera tidak memandang remaja puteri sebagai objek kenikmatan. Berpacaran yang sopan dan terpuji sangatlah didambakan oleh semua individu dimana berpacaran yang sopan adalah bilamana remaja putera mencintai seorang remaja puteri harus mempunyai keberanian dalam mengutarakannya dan mereka mempunyai kesepakatan untuk berpacaran. 
Pada dasarnya berpacaran yang sopan dan terpuji adalah berpacaran yang bertanggungjawab dalam arti perkenalan kepada orangtua disaat remaja putera datang ke rumah remaja puteri. Selanjutnya menjalani masa berpacaran dengan saling menyayangi, setia, membangun dalam studi dan karir serta pengenalan akan Tuhan Yesus.
Yang perlu diketahui remaja bahwa berganti-ganti pacar adalah dosa. Memutuskan hubungan dan mencari yang lebih baik memang itu mengasyikkan. Tetapi yang jelas menyakitkan dan melukai hati bagi yang ditinggalkan. Banyak orang menjadi trauma pacaran, bahkan ada yang tidak menikah. Intinya merusak hidup orang lain inilah dosanya dan yang terpenting adalah menjaga Kekudusan Tubuh.
Pada masa masa berpacaran tidak semata-mata memuaskan Nafsunya (berpelukan, ciuman, bersetubuh), tetapi bagaimana remaja itu mengendalikan keinginan daging mereka yang menggebu-gebu. Dapat dilihat dalam 1 Korintus 6:19 bahwa tubuh kita adalah bait Roh Kudus. Oleh karena itu remaja harus menjaga kekudusan tubuh mereka dari keinginan yang menyesatkan untuk dapat hidupkudus. Ketahuilah, jika ia benar-benar tulus mencintaimu dengan KASIH dari TUHAN, maka ia TIDAK AKAN merusak kehormatan seseorang”. (Pristianku 2014)
Pertanyaan tentang pacaran beda iman atau pacaran beda agama sepertinya merupakan salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan, dan jawabannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan karena walaupun sudah jelas apa yang tertulis di Alkitab, masih banyak orang yang tidak setuju. Ada satu bagian dalam Alkitab yang menjelaskan tentang hal ini, yaitu dalam
2 Korintus 6:14, Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?
Pesan dari ayat ini jelas, bahwa dalam memilih pasangan hidup, kita harus memiliki pasangan yang satu iman. (Kompasiana.com t.thn.)
Satu iman yang dimaksudkan di sini adalah satu iman dalam Yesus Kristus. Setiap orang yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat pribadinya, bisa dikatakan sebagai orang yang memiliki satu iman, selain daripada iman kepada Yesus Kristus berarti berbeda.
Selain memang kita menuruti apa kata alkitab tentang pasangan yang seiman, ternyata firman ini mempunyai alasan yang jelas. Kalau kita lihat dari sejarah bangsa Israel, mereka seringkali jatuh pada penyembahan berhala karena pasangan mereka yang tidak seiman, yaitu pasangan dari bangsa lain. Padahal Tuhan sudah berfirman agar mereka tidak mengambil pasangan dari bangsa lain selain bangsa Israel agar mereka tidak turut menyembah allah - allah bangsa lain. Raja Salomo pun yang dikatakan sebagai orang yang paling bijak ternyata jatuh ke dalam dosa penyembahan berhala pada akhir hidupnya (1 Raja2 11:1-13). Kalau Salomo yang begitu bijak saja bisa jatuh dalam dosa penyembahan berhala karena istri - istrinya, bagaimana dengan kita?
Alasan lain adalah karena dalam suatu hubungan pernikahan, bukan hanya sekedar tentang cinta antara seorang laki - laki dan seorang perempuan, tetapi juga tentang bagaimana hubungan tersebut mempunyai dasar yang teguh, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Seperti kapal yang tidak boleh mempunyai dua orang Nakhoda, demikian juga hubungan pernikahan yang tidak boleh berdasarkan dua iman yang berbeda karena nantinya tidak mempunyai arah yang jelas. Lagipula saya yakin setiap dari kita pasti menginginkan pasangan kita, yang adalah orang yang paling dekat dengan kita di dunia ini juga diselamatkan oleh Yesus Kristus. Hubungan yang tidak dilandaskan oleh kasih kepada Yesus Kristus sangatlah berbahaya, oleh karena itu baiklah kita mempunyai pasangan yang satu iman, iman dalam Yesus Kristus.
Ya, benar sekali bahwa Yesus mengasihi semua orang dan ingin semua orang diselamatkan, oleh karena itu kita harus mengasihi semua orang tanpa terkecuali. Bertemanlah dengan siapa saja agar kasih Kristus dalam diri kita dapat terpancar kepada semua orang, namun dalam masalah memilih pasangan hidup firman Tuhan katakan mutlak harus satu iman. (TanyaAlkitab.com 2012)
Yang menjadi masalah tentu jika memang sudah terlanjur pacaran beda iman. Saya hanya bisa bilang, break dulu hubungannya, buat dia satu iman dulu kalau benar - benar mau sama dia, lalu pacaran lagi kalau memang sudah satu iman. Kalau memang tidak bisa menjadi satu iman maka lebih baik ditinggalkan dan mencari yang satu iman. Memang terkesan seperti memaksa, tetapi jika memang mau dengan orang tersebut ya memang harus seperti itu karena kita mutlak harus mempunyai pasangan yang satu iman, ingat dalam amanat agung Tuhan Yesus Kristus?(TanyaAlkitab.com 2012)
Matius 28:19, Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,
Dengan demikian selain kita mendapatkan pasangan yang seiman, kita juga turut memenuhi amanat agung ini, ketika memang Anda sudah jatuh dalam pacaran ataupun tidak, Anda harus bisa jadi berkat bagi pasangan kalian supaya mereka bisa melihata bahwa Yesus itu ajaib dalam hidup kalian, dan Yesus seorang Tuhan yang layak di sembah.
Jadi jika jatuh dalam hubungan dengan agama lain, itu waktu Anda menjadi berkat untuk pasangan Anda dan suatu keharusan mengenalkan pasangan bahwa Yesus adalah Tuhan lewat cara hidup, serta perkataan sehari-hari. (Kompasiana.com t.thn.)
Pada dasarnya adalah pastikan dia benar - benar percaya dan mengalami Yesus terlebih dahulu, baru pacaran. Jangan sampai dia ikut agama Kristen karena mau bersama dengan kita saja, karena menurut saya bukan status sebagai Kristen yang penting, yang penting adalah bagaimana seseorang tersebut telah mengenal dan mengalami Yesus sehingga percaya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat pribadinya. Percuma seseorang pindah agama Kristen kalau tidak mengenal Yesus terlebih dahulu. Memang terdengar sedikit sulit, oleh karena itu disarankan untuk memilih pasangan yang memang sudah mengenal dan mengalami Yesus. Jangan hanya melihat dari rupa saja, tetapi juga bagaimana imannya terhadap Yesus Kristus.
Resiko baru muncul kalau rambu-rambu dalam berpacaran dilanggar dan dinodai dengan perbuatan yang belum boleh dan akhirnya berakibat fisik dan sosial, yaitu hamil. Selain itu, pacaran akan menjadi tekanan kalau dinodai oleh hubungan seks yang mengharuskan,misalnya pihak perempuan, untuk tidak dapat memilih yang lain, karena sudah dengan laki-laki yang pernah berhubungan intim dengan wanitanya. Artinya, seorang dipaksa memilih karena sudah kepalang basah.
Akibat dari pelanggaran aturan main pacaran ini pada semua pasangan dan khususnya pada pasangan beda agama adalah keharusan untuk memilih sesuatu yang belum tentu dapat menguntungkan dan membahagiakannya. Pilihan karena terpaksa sering pada akhirnya akan berbuah pemaksaan-pemaksaan berikutnya. Ini yang perlu dipertimbangkan dari semula.
Jika setiap orang diperbolehkan berpindah agama hanya karena pasangan Anda beda agama, apakah selama ini cara hidup beragama Anda tidak lebih dari menjalankan formalitas, aturan dan hukum saja? Apakah Anda tidak pernah merasakan suatu hubungan mendalam dengan Tuhan kita melalui cara khas Anda sebagai orang Kristen?Apakah selama ini hidup beragama sebatas melanjutkan kepercayaan orang tua dan hanya itu? Kalau demikian, mungkin tidak heran kalau seseorang dengan mudah berpindah, karena selama hidup tidak pernah merasakan hubungan kasih yang mendalam dengan Tuhan sebagai orang Kristen.
Sebagai orang Kristen, kita harus percaya sebagai pribadi bahwa di luar Kristus, tidak ada keselamatan. Dia satu-satunya jalan. Yohanes 14:6 “...Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Lalu bagaimana jika hidup diluar Kristus? Galatia 5:4 “Kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup diluar kasih karunia.”; 1 Yohanes 5:12 “Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup;barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup.” Ada juga tertulis dalam Filipi 4:13 “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.”
Dari ayat-ayat tersebut bahwa jelas sekali beresiko jika kita hidup diluar kasih karunia yang Tuhan telah beri dalam hidup, jika tidak ada Tuhan dalam hidup Anda, darimana Anda mendapatkan suatu kekuatan untuk bertahan hidup jika tidak karena Tuhan? Karena hanya Tuhan sajalah yang sanggup untuk menolong dan memberikan kekuatan.
Yeremia 29:11Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.
Hidup mengikut Kristus bukanlah jaminan untuk hidup tanpa penderitaan dunia. Percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi adalahrancangan Tuhan yang terbaik. Bersama Yesus ada damai sejahtera. Ada sukacita yang berasal dari Allah. Pasangan yang benar akan menguatkanmu dengan Firman Tuhan, setia dan turut berdoa bersamamuuntuk melewati segala tantangan hidup. (pacarankristen.com 2014)
Bagaimana jika seseorang tidak memegang kebenaran Firman?
"Suami ngga bisa nafkahin istri! Cerai! Pokoknya gue balik ke rumah ortu gue!"
"Ke orang pinter itu yuk sayang, katanya dia bisa nyembuhin sakit yang aneh-aneh."
"Sayang, karena kita belum punya anak dari hubungan kita, saya harus menikahi si A untuk mendapatkan keturunan."
Mungkin kamu akan memberikan ayat Alkitab Yeremia 29:11, dan pasanganmu akan berkata, "itu kata Tuhan loe, bukan Tuhan gue".
Bahkan dia memberikan ayat-ayat balasan di agamanya yang jelas-jelas bertentangan dengan kebenaran Firman misalnya mengenai perceraian dan perintah dari "tuhan" nya yang bertentangan dengan prinsipmu.
Apa yang akan kamu lakukan? Berdebat lagi masalah agama? sudah terlambat. Mazmur 127:1 “Nyanyian ziarah Salomo. Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan TUHAN yang mengawal  kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.”
Yesus Kristus adalah dasar dari keluarga. Tanpa Yesus, segala sesuatu mudah diruntuhkan.


Semua agama mempunyai kekhasan dan ciri-cirinya sendiri yang jelas membedakan cara orang berelasi dengan Tuhan. Agama memang sering diturunkan dari orang tua, tetapi mudahkah kita menghilangkan atau mengubah apa yang sudah kita pahami sebagai benar dan apa yang selama ini paling cocok dengan irama hidup kita? Beda cara beda pula rasa keagamaannya.
Apakah kita dapat dengan mudah menyembah patung Buddha kalau sebelumnya mengenal pun tidak? Atau mudahkan bagi kita menerima kebiasaan sholat dalam waktu-waktu tertentu sepanjang hari? Yang lebih dalam Apakah mudah bagi kita meninggalkan sesuatu yang selama ini kita percaya, telah memberi segalanya bagi kita, seorang pribadi, yaitu Yesus Kristus?
Jika pacaran hanya main-main saja dengan orang yang berbeda agama lebih baik tinggalkan semua harapan untuk tidak berpacaran dengannya, tetapi bertemanlah saja dengan setiap orang meskipun berbeda agama, dan biarlah Anda menjadi Terang dan Garam di dunia ini, agar setiap orang yang mengenal Anda, bisa melihat Yesus dalam hidup Anda. Sesuai dengan yang tertulis dalam Matius 5:16 “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”


Keputusanmu akan menentukan masa depanmu, berjalan dalam kasih karunia dan perkenanan Tuhan atau berjalan ke arah sebaliknya. Jika kamu berkata kamu MENCINTAI Yesus, TAATLAH pada Firman-Nya. Siapa yang lebih kamu cintai? Yesus atau pasanganmu yang belum berkenan bagi-Nya? Yesus memberikan hidupNya untukmu, mati di kayu salib demi kamu,
karena cintanya yang KEKAL kepadamu. Jangan sia-siakan hidupmu demi cinta dunia yang tidak kekal.
Pilihlah orang yang  juga memilih Tuhan Yesus. Ini tidak menentang asas toleransi antar umat beragama karena memang kita berhak memilih pasangan hidup yang juga mencintai Tuhan Yesus.
Coba perluas pergaulan, jangan pernah menghindar dari persekutuan, tetap percaya bahwa Tuhan pasti memberikan pasangan yang terbaik untuk kita yang sesuai dengan kehendak-Nya. Kehendak-Nya adalah supaya kita mendapatkan pasangan hidup yang benar - benar seimbang dengan kita. Jangan ada lagi kompromi, percaya pada janji Tuhan.Tuhan Yesus memberkati.

Juni 2014. http://www.pacarankristen.com/2014/06/pacaran-beda-agama-boleh-gak-sih.html.
Desember 2012. http://www.tanyaalkitab.com/2012/12/pacaran-beda-iman-menurut-alkitab.html.
http://www.kompasiana.com/kevinkone211/pacaran-beda-agama_550a34f88133111278b1e12c.
Albukori, Jefri. Sekumtum Mawar Untuk Remaja. Jakarta: Pustaka Al Mawardi, 2008.
Dian Nugraha, Dr.Boyke. apa yang ingin di ketahui remaja.
Msfmusafir. Msfmusafir. https://msfmusafir.wordpress.com/2009/03/10/pacaran-beda-agama-mengapa-dibicarakan/.
Pristianku. Pristianku. Februari 2014. http://pristianku.blogspot.co.id/2014/02/saya-adalah-orang-yang-pernah-menyakiti.html.
Singgih D, Gunarsa. Psikologi Untuk Muda-Mudi.
Debora Linda 18.39


      [1][1] O.S, Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, cet. ke-1 (Jakarta : PT. RajaGrafindo, 1996),  hlm. 111.
[2][2] Alkitab, cet. ke-13 (Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia, 2001),  hlm. 2.
      [3][3] O.S, Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, cet. ke-1 (Jakarta : PT. RajaGrafindo, 1996),  hlm. 113.
[4][4] James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, cet. ke-1 (Jakarta : Gunung Mulia, 2002), hlm. 289.
[5][5] Ibid., hlm. 284.
[6][6] Ali Murtadho, Konseling Perkawinan Perspektif Agama – Agama, cet. ke-1 (Semarang : Walisongo Press, 2009), hlm. 126.
[7][7] Ibid., hlm. 128.
[8][8] K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet. ke-7 (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 215.
[9][9] Komariah, Hukum Perdata, cet. ke-4 (Malang : UMM Press, 2010), hlm. 40.
[10][10] Weinata Sairin dan J.M. Pattiasina, Pelaksanaan Undang – undang Perkawinan Dalam Perspektif Kristen, cet. ke-1 (Jakarta : Gunung Mulia, 1994), hlm. 17.
[11][11] Alkitab, cet. ke-13 (Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia, 2001),  hlm. 55
[12][12] http://id.wikipedia.org/wiki/Poligami
[13][13]http://www.kadnet.info/web/index.php?option=com_content&view=article&id=1958:pandangan-alkitab-mengenai-poligami&catid=98:theology&Itemid=99
[14][14] O.S, Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, cet. ke-1 (Jakarta : PT. RajaGrafindo, 1996),  hlm. 122 – 123.

No comments:

Post a Comment

Sorga atau neraka

 Sorga itu sudah ada di dunia Hanya sedikit yang mau Banyak manusia lebih memilih dunia Jika dalam gembira kau gelisah Jika dalam susah kau ...