Dunia Peradilan Kita Terluka Parah
Dua kasus di Jakarta
dan satu kasus di
Kepahiang itu sebagai
Gunung Es yang apabila mau serius
di keruk lebih dalam , puluhan
bahkan ratusan bongkahan es
kasus serupa mudah di temukan.
Sungguh
Dunia peradilan kita sedang terluka
parah, dua kasus tersebut yaitu kasus yang terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung belum selesai diusut, lalu pada (23/5) Senin, dua Hakim tindak pidana Korupsi ditangkap oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi(KPK) di Pengadilan Negeri
Kepahiang, Bengkulu, Kota kecil
yang sunyi.
Dua
kasus ini seperti
saling bersautan, dua kasus suap dengan
tersangka Andri Tristianto Saputra,
pegawai di Mahkamah
Agung, dan Edy Nasution, panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
melibatkan hakim atau tidak ,
namun aroma suap membuat
peradilan kita makin
terpuruk. Kasus tertangkapnya
dua hakim tindak
pidana korupsi di
Kepahiang semangkin menyakinkan
bahwa suap- menyuap di
pengadilan sudah menjadi
kenyataan yang memalukan
sekaligus memilukan.
Kita
ketahui bahwa sebelumnya, di Medan,
Ketua Pengadilan Tata Usaha
Negara yang juga terjaring operasi
tangkap tangan KPK.
Melihat hal ini, Mahkamah
Agung Tergagap-gagap dan
kehilangan kata-kata untuk
menjelaskan mengapa terus
terjadi penyuapan terhadap
pemegang otoritas keadilan
itu.
Menjadi
pertanyaan sekarang, bagaimana
dengan pengawasan dari
Badan Pengawasan ketua Pengadilan
Tinggi terhadap hakim-hakim
dan aparat pengadilan
berserta jajaranya.
Apakah yang
menjadi faktor penyebab maraknya praktik suap di pengadilan.
Tidak perlu jauh-jauh mencari
kambing hitam dari faktor exsternal.
Antara lain
adalah beberapa faktornya, internal
yang diduga kuat menjadi
penyebab suburnya penyuapan kepada
aparat pengadilan. Pertama,
tentu rendahnya integritas para hakim.
Kedua , karena serba
tertutupnya pengadilan dalam
membuka akses informasi
yang di perlukan
masyarakat.
Ketiga, dalam
membuat putusan, para hakim nyaris
tanpa pertanggungjawaban kepada
institusi horinzontal maupun
vertical. Para hakim begitu mudah
berlindung di balik kebebasan
hakim. Siapapun dan institusi manapun
tidak boleh mencampuri
hakim dalam mengadili
dan memutus perkara .
Hal ini yang sering
menjadikan bungker bagi
para hakim untuk
memainkan perkara yang
di tanganinya.
Menurut catatan
Koalisi Pemantau Peradilan, dua
hakim tindak pidana korupsi(tipikor), Janner Purba
dan Toton, adalah
hakim tipikor keenam dan
ketujuh yang di tangkap
KPK. (kompas.com.24/5/2016).
Selanjutnya,
Hakim tindak pidana korupsi yang
pertama terjerat kasus
korupsi adalah Kartini
Juliana Madgdalena Marpaung, hakim
pada pengadilan Tipikor Semarang itu di tangkap oleh KPK
pada 17 Agustus 2012.
Hakim
wanita , Kartini di tangkap bersama dengan
Heru Subandono yang
juga hakim di
Pengadilan Tipikor Pontianak. Keduanya
tertangkap tangan seusai
melakukan transaksi suap
di halaman Pengadilan
negeri Semarang.
Selain
itu, KPK juga pernah
menahan hakim Pengadilan Tipikor
Semarang, Pragsono, di tetapkan
sebagai tersangka kasus
dugaan suap penanganan
perkara korupsi di
DPRD Grobogan , Jawa
Tengah , pada Desember
2013. KPK menetapkan
Pragsono sebagai tersangka
sekitar Juli 2013.
Dia di tetapkan
sebagai tersangka bersama
dengan Hakim ad hoc
Tipikor Palu, Sulawesi
Tengah, Asmadinata.
Juga
termasuk hakim ad hoc Pengadilan
Tipikor Bandung, Ramlan Comel. Ramlan
di tahan KPK sebagai
tersangka kasus dugaan suap
penanganan perkara korupsi
bantuan social di
kota Bandung.
Jadi jika
yang tertangkap tangan
kebanyakan hakim tipikor
yang bertugas mengadili
para terdakwa koruptor,
sungguh sangat ironis.
Hakim yang korup
sehari-hari menangani perkara
korupsi. Jadi, hakim-hakim koruptor
harus mengadili para
koruptor.
Apapun yang
akan terjadi hakim-hakim
yang bermental koruptor
itu akan kehilangan
sensitivitas ketika menangani
kasus atau perkara
korupsi, sebab yang
tersimpan di dalam
benaknya seolah melakukan
korupsi itu adalah
hal biasa. Mereka
akan kehilangan penghayatan
ketika menuliskan pertimbangan
hukum. Hakim yang
di harapkan memutus
dengan obyektip dikhawatirkan
akan lebih mengedepankan subyektivitasnya.
Dari hasil
data yang di
peroleh pada Pengadilan Negeri
Begkulu.Kamis( 26/5/2016).
Janner dan Toton
Kerap satu majelis
mengadili perkara korupsi. Dari
ketokan palu keduanya,
umunya para terdakwa
di vonis ringan,
bahkan sepuluh di
antaranya di vonis
bebas.
Seorang
Hakim yang menghukum ringan
dan membebaskan terdakwa
bukanlah hal yang
dilarang. Yang tercela
adalah jika hakim
menghukum ringan dan
membebaskan terdakwa karena
di suap.
Sesungguhnya seorang
hakim, yang menerima
suap dan korupsi
sangat bertentangan dengan
tuntutan profesionalisme seorang
hakim itu sendiri. Profesi hakim
adalah benteng terkahir
dalam integrated justice system di
Negara manapun. Didalam
diri seorang hakim
di personifikasikan berbagai
symbol kearifan. Kode
etik hakim memuat
janji hakim untuk
menjalankan profesi luhur(of ficium nobile)
ini.
Sedangkan untuk
di Indonesia keluhuran
martabat hakim mengacu
pada symbol-simbol kartika’cakra,’candra’, ‘sari ‘ dan ‘tirta’.
Sipat Kartika (bintang) melambangkan
ketagwaan hakim pada
Tuhan Yang Maha
Esa, lalu dengan kepercayaan
masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang beradab.
Selanjutnya sipat
‘Cakra’ (senjata ampuh
penegak pengadilan) melambangkan
sipat adil, baik
di dalam maupun
di luar kedinasan.
Dalam kedinasan, hakim
bersipat adil tidak
berprasangka atau menebak,
bersungguh-sungguh mencari kebenaran
dan keadilan, memutuskan
berdasarkan keyakinan hati
nurani, dan sanggup
mempertanggungjawabkan kepada Tuhan.
Sipat ‘Candra’
(bulan) melambangkan kebijaksanaan
dan kewibawaan. Dalam
kedinasan, hakim harus
memiliki kepribadian, bijaksana, berilmu, sabar,
tegas, disiplin dan
penuh pengabdian, ingin maju, dan
bertenggang rasa.
Kemudian bersipat
‘Sari’ (bunga yang
harum) yang menggambarkan
hakim yang berbudi
luhur dan berperilaku
tanpa cela. Dalam
kedinasanya ia selalu
tawakal, sopan, bermotivasi
meningkatkan pengabdianya, ingin
maju dan bertenggang
rasa.
Terakhir ia
bersipat ‘Tirta’ (air) melukiskan
sipat hakim yang
penuh kejujuran(bersih), berdiri
di atas semua
kepentingan , bebas dari
pengaruh siapapun tanpa
pamrih, dan tabah.
Kita perhatikan
pada tujuh hakim
tipikor yang tertangkap
tangan karena suap
dan hakim-hakim lain
yang berprilaku sama.Mereka
sudah kehilangan sifat-sifat
yang seharusnya di
sandang seorang pengadil.
Jika sifat-sifat
itu sudah tidak
melekat pada mereka,
mereka telah kehilangan
predikat yang mulia. Tugas
Mahkamah Agung dan
segenap pemangku kepentingan
adalah menyelamatkan ribuan
hakim yang masih
baik.
Jadi sikap
permisif yang selama
ini di kesankan pimpinan
MA akan melapangkan
jalan bagi hakim-hakim
yang terhormat menjadi
tercela. Sebuah Negara yang
berkeadilan akan semangkin sulit terwujud
jika pilar-pilar keadilan. Yakni para
hakim kita. Masih koruptif.
No comments:
Post a Comment