Sajak
Untuk Murni
Oleh : M Kamil
Seperti biasa setiap hari Sabtu , mengembalikan buku pinjaman dari perpustakaan
dikotaku ini, di Jalan Demang Lebar
Daun, sebuah tempat peminjaman buku yang
sudah sangat di kenal di Palembang.
Tetapi hari ini agaknya lain, mendadak
akan mengembalikan buku pinjaman pada
hari sebelum waktunya.
Aku datang menjelang waktu yang tanggung sekali yaitu sekitar
11:30 Waktu Indoesia Barat (WIB)
, waktu yang mendesak bagi kita umat Islam, yang akan
melaksanakan sholat Jumat. Aku terus
masuk kedalam perpustakaan dan seperti
biasanya pula aku mengisi buku tamu,
ya………inilah kewajiban bagi setiap tamu yang akan masuk meminjam buku.
Di saat akan mencari buku rasanya bagiku sepi sekali , kutatap
sekitar ruangan Nampak hanya
segelintir anak-anak saja,
ada lagi duduk-duduk baca buku,
ada pula yang sedang sibuk
mencari buku yang
akan di pinjam.
Seorang peminjam buku yang sudah habis masa pinjamanya masuk ruang perpustakaan, sambil bertanya . “ Mbak, tempat
memperpanjang kartunya dimana ?”
“Itu
! masak tidak tahu ! Itu ada
bacaanya, Kata pegawai itu
berkata kepada peminjam yang
akan meminjam buku baru tau
di perpanjang lagi.
Ini
kuingat kejadian yang
telah lalu pada
perpustakaan ini, aku hanya
menyaksikan dan pernah pula ikut
bicara, bahkan aku sampai
disekors dan tak dapat di perpanjang lagi masa
pakai kartuku. Tetapi berkat
aku sabar dan barangkali Tuhan
masih memberikan kekuatan bagiku, akhirnya aku dapat
masuk kembali menjadi
anggota sampai sekarang.
“Mbak
……..ini saya pinjam buku,” kataku sambil memberikan buku-buku
yang akan aku
pinjam.
“Ya
letakan saja nanti akan
di catat lebih
dahulu,” kata pegwai yang Nampak segera mencatat buku
yang akan di
pinjam tersebut.
Terlihat juga
ada mahasiswa yang
sedang asik memainkan
laptop mereka, karena di perpustakaan
ini disediakan jalur internet
bebas pulsa, alias jalur
internet yang gratis.
Buku-buku itu
yang akan di
pinjam oleh anggota perpustakaan, masuk
dalam data yang akan di
pinjam, setelah itu buku
itu boleh di
bawa pulang, sesuai kebutuhan, namun di perpustakaan
ini di batasi jumlah
pinjaman maksimal tiga
buah buku pinjaman, aku
segera keluar, niatku agar aku
dapat mengikuti Sholat
Jumat. Namun baru beberapa
langkah keluar, aku
melihat seorang wanita.
Aku
tersentak perasaanku ingin menyapanya, menegurnya dan mengajaknya untuk dapat bicara denganku, karena dalam
perasaanku siapa tahu tujuanya sama
dengaku. Kulihat dari belakang,
perlahan – lahan kuikuti lagak dan
gayanya.
“Dik…..?” kusapa ia dari belakang,
setelah aku sangat dekat
sekali.
Gadis
itu menghentikan langkahnya.
“Pulangnya kemana ?”
“Dekat
sinilah .”
“Dimana ?”
“Ini di jalan Candiwelan .”
Akhirnya aku dan gadis itu berjalan berdua dan arah luar pagar, kulihat gapura dan pagar
yang di tata rapi, di ukir dan di cat indah sekali. Kupikir seharusnya di servis lebih menarik lagi.
Cuaca tampak cerah, hembusan angin
sungguh terasa, sambl berjalan kaki bersama-sama gadis itu, aku menjawab kata-katanya,”Dekat……sekali kalau
begitu, tetapi pulangnya apa
mau kepasar dulu ?”
“Ya, saya akan naik mobil ke pasar lebih dulu, sebab ada keperluan di
pasar , “ kata gadis itu.
“Sama-sama saja.”
Ia hanya diam menunduk. Kemudian
memanggil becak yang tak berapa jauh
dari kios rokok. Gadis itu naik becak lebih dulu.
Ketika
berada di becak ia
berkata,”Ayolah ……….naik nggak apa-apa.”
Aku senyum dan bercampur bimbang
dalam hatiku sebab perasaan ini,
bergelatak-glutuk, ,”biarlah aku jalan saja, bukankah dekat
sekali,” kataku sambil sedikit berjalan.
“Sudah nggak apa-apa, ayolah naik
saja,”kata gadis itu sekali lagi.
“Baiklah …….”kataku.
Berdua kami bersama dalam becak, walau
hati masih bingung dan pikiran setengah bertanya-tanya. Ada kesan aneh memlalui
sikapnya.
Hening keadaan, meskipun hiruk
pikuk lalulintas, namun diam tanpa suara yang terdengar.
Becak terus berjalan, sementara aku
masih bertanya dalam bathinku, darimana
aku mulai berkata. Apakah aku
bertanya tentang nama, alamat rumah, atau bertanya buku apa saja yang di pinjam dan yang di
senangi dari perpustakaan.
“Ini
dari pada kita
akan naik becak ketempat dekat itu, bagaimana jika saya usul begini ?”
“Usul apa ?” Tanyanya ingin tahu.
“Jika anda setuju lebih baik langsung saja menuju kepasar dan kalau mau
mampir di tempat situ boleh juga,” kataku dengan pelan.
“Boleh juga .”
“Situ siapa sih namanya ?” tanyaku mendadak.
Bersamaan dengan itu ia juga melempar pertanyaan
yang serupa.
Kami jadi tertawa.
Tanpa
ragu aku memberikan kartu perpustakaan yang di selipkan dalam buku. Dia mengambilnya dan segera membacanya dengan lamban, meskipun aku tak
mendengar kata-katanya.
“Kalau
begitu Jon Seorang penulis ya ?”
“Begitulah tapi belum apa-apa kok. Kamu sendiri siapa
namanya ?”tanyaku balik bertanya kepadanya.
Dia
membuka tas merahnya,
lalu menyodorkan sebuah kartu yang
serupa denganku. Sambil dipegangnya
erat.
Suara hiruk pikuk lalulintas kendaraan
terdengar nyaring, sesekali melintasi
kami yang berada dalam
kendaraan becak yang beroda tiga itu.
“Murni ?” wah sebuah nama yang bagus.”
“Jangan begitu berkata, aku jadi malu
ah,” tukasnya dengan senyum.
“Sungguh aku berkata apa adanya. Orang tuamu telah memberikan
nama Murni, dan memang orangnya
menawan,”kataku.
Melayang jiwaku mengatakan itu. Bergoncang-goncang seperti akan
membangun sebuah mahligai diatas
angan-angan, dari sebuah mimpi
yang berakhir. Ini aku rasa dan
bukan sebuah mimpi yang
berakhir…….bukan? bukan mimpi
tapi ini
adalah sebuah kenyataan yang ada
di depan mata.
Seakan-akan roda
becak ikut bicara, seakan mampu melukiskan untaian
kata-kata, apa yang tengah ku alami
saat ini.
Jari-jari becak berbisik-bisik,”ya
baru kali ini saya dengar dan melihat
hal-hal yang Nampak seperti
mimpi belaka.”
“Di dunia ini, hal
yang tidak mungkin itu akan
mungkin sekali terjadi, seperti apa yang telah kita lihat sekarang ini,”kata
bodinya becak.
Meskipun baru kenal namun keakraban terjalin seakan seorang teman lama yang baerjumpa lagi, bagai bernostalgia.
“Ya aku juga
baru kali ini, di duduki oleh dua
insan yang baru saja bertemu, ibarat
sudah lama tak saling khabar
berita, namun bukan bak kodok rindukan bulana………salah maksudku
hujan, bukankah begitu
sadel ?” Tanya jok becak.
Becak berhenti di sebuah persimpangan
menunggu rambu-rambu menyala hijau, becak perlahan maju
kedepan. Lebih mendahului
kendaraan lainya.
“Ya aku juga
sama dengan kalian, tapi aku Tanya pada
kalian, Pada jari-jari, pada ban, dan juga kepada jok,
apakah doa kita akan
terkabul untuk mereka ?” Tanya
Sadel becak.
Perbincangan yang mistery dari alat manusia
memang tak terdengar oleh
manusia, namun benda itu tercipta tetap saja akan selalu mendampingi
setiap kehidupan sisi manusia. Yang berada di muka bumi
ini.
“Itu semua tergantung pada perilaku kita
selama ini sahabat..!” teriak oleh Jari-Jari dengan lantang sekali.
Dialog
benda di muka bumi, yang
merupakan alat kehidupan
bagi manusia, jadi saksi nyata di dunia
ini yang terus berjalan, hanya manusia
saja yang terkadang lupa akan
perbuatanya tersebut.
“Maksudmu apa ?” balas Sadel becak
kembali.
Becak perlahan menuju ketempat yang sudah di pesankan
sebelumnya.
“Maksudku jika kau rajin sholat dan banyak berbuat kepada kebajikan maka itu
sebagai pengantar hidup yang
mulia,” kata Jari-Jari becak,” Biasanya
apa-apa yang akan diminta akan di
kabulkan.”
“Ya, saya akan mampir saja dan sekalian
Jon akan tahu juga tempatku nanti,” Murni memotong pembicaraan.
Becak berhenti
di sebuah mulut lorong Murni
turun dari becak.
“Baiklah kalau begitu, saya akan terus ke Mesjid Agung
untuk sholat Jumat disana saja.”perlahan aku jawab .
Murni telah turun dari becak
tersebut,” tempat tinggalnya jauh ?”
“Tidak, aku tinggal di Kertapati.”
Suasana hening, diam sesaat hanya
sempat saling pandang, sehingga beragam
keinginan tertuang saja. Inilah sebuah
angan kasih di awal sebuah perjumpaan yang banyak meninggalkan bagai
pertanyaan.
Murni Tanya kembali,” Kira-kira ?”
“Didaerah simpang tiga
atau lebih tepatnya di jalan Ogan no 2 “
Tanpa diketahui aku semangkin
tertarik memandang wajahnya, rambutnya yang keriting, dan itu …….cara berbicaranya yang khas. Suaranya yang merdu membuat aku terhanyut.
Kami
berdua saling tertegun tiada
kata yang dapat berucap, sehingga bagaimana
untaian kata-kata yang harus ku ucap, agar perjumpaan ini akan
membawa kesan, yang tak akan pernah dapat
kulupakan, adakah kata-kata indah yang dapat kuucap?, bisiku dalam hati.
Saat ia turun becak, lewat lorong yang tak bernama itu ia
memandangku,” Daaaahhhh…, “ ucapanya seraya.
Diam aku memandangnya, bisikan hatiku tak mampu berkata sesuatu yang ingin kuucapkan, untuk perpisahan ini, hanya aku berkata,”Terima kasih sampai kita
berjumpa kembali.”
Kupandangi ia, begitupun Murni sangat dalam ia berkesan bagiku.
Dia menghilang dibalik
di balik barisan rumah-rumah itu, hingga
menyelinap sudah. Bagai
pertanyaan yang tersimpan di hatiku , kini diam seribu bahasa, entah
apa yang hendak kutanya kini.
Meskipun bising suara kendaraan yang lalu lalang namaun, tak sedikit aku terganggu dengan itu, yang aku pikirkan
hanya pertemuan ini, bertanya-tanya di
hatiku.
Sejenak
pikiranku menerawang jauh, ingin tadinya
kuminta sebuah photo
darinya , tapi malurasanya, tak terucap
jua sedikit katapun dari bibirku. Ingin ku mengenalnya lebi jauh
dalam waktu
yang lebih lama lagi, namun ke khawatiranku masih ada mengganjal di benakku pada saat ini.
Becak putar kembali melalui jalan yang di
lalui oleh becak, bentuk rumah panggung masih Nampak,
karena ini merupakan rumah khas
masyarakat Palembang. Aku
bangga sebagai warga Palembang yang
masih mempertahankan rumah adat
tersebut.
Di kota lain, rumah adat
ini sudah hampir
tak Nampak lagi, karena rumah khas daerah
tersebut secara perlahan-lahan mulai
musnah, yang sudah di ganti dengan rumah-rumah gedung yang modern, dengan mode yang bertingkat-tingkat.
Ingin
kurangkai kata-kata agar
pertemuan itu membawa kenangan indah, supaya kisah ini akan tetap di kenang, baik dalam suka maupun
duka, tapi aku bukan seorang pujangga
yang pandai merangkai kata-kata.
Keras
aku berpikir untuk menuliskanya pada kertas
yang dapat kujadikan pegangan hidup, ingin ku buat
sajak indah tapi
dari mana awalnya yang
harus kumulai.
Banyak kadang-kadang orang
bilang inspirasi itu akan muncul bila dalam
keadaan hening, dalam suasan
yang sepi di saat
kita menyendiri, kadang
juga ingi ku
tuliskan kisah-kisah itu di dinding –dinding rumah.
Sungguh aku
menjadi bingung sekarang,
mengapa aku jadi begini, di luar
sana tampak angin
brhembus lembut, malam
terang bulan membawa
hanyut khayalku kini. Mengapa
aku begini setelah
tadi siang bertemu
dengan Murni? Ada perasaan
yang teramat dalam
yang tersisa di dalam
lubuk hatiku yang
paling dalam, sehingga
kesan itu yang
tak dapat aku
lupakan.
Meskipun kesan
itu sukar untuk kugambarkan, oleh karena
itu sungguh jujur, aku
tak dapat untuk
melupakanya. Meskipun
demikian aku juga
tak mau beranda-andai
tentang Murni, hanya
saja kesan ku bersamanya terukir
di hatiku yang paling
dalam.
Berjalan menenbus rasa
hingga dapat kupandangi
semua alam yang jauh itu,
ingin kutembus dengan
penuh rasa, bersama
persaan hati dengan
kisah-kisah antara aku
dan Murni.
Menjalin kata-kata ingin
kulakukan agar sajak
itu hidup bersama
langkah-langkahku dan Murni,
tapi kubukan seorang
ahli puisi atau
sajak, hanya tak ingin
memperkosa perasaan di
hatiku, karena ini semua
hak semua insan
untuk saling kenal, saling
bagi kasih, hingga
kubertanya bolehkah aku
mencumbuuuuuuuu…..????????
No comments:
Post a Comment