Wednesday, 10 August 2016

Sajak Untuk Murni


 Sajak
 Untuk Murni
                                       Oleh : M Kamil





            Seperti  biasa setiap hari Sabtu ,  mengembalikan buku pinjaman dari perpustakaan dikotaku  ini, di Jalan Demang Lebar Daun, sebuah tempat peminjaman  buku yang sudah sangat di kenal di Palembang.

          Tetapi hari ini agaknya lain, mendadak akan mengembalikan  buku  pinjaman pada  hari sebelum waktunya.

          Aku datang menjelang  waktu yang tanggung sekali yaitu  sekitar  11:30 Waktu Indoesia  Barat (WIB) , waktu yang  mendesak  bagi kita umat Islam, yang akan melaksanakan  sholat Jumat. Aku terus masuk kedalam perpustakaan  dan seperti biasanya pula aku mengisi buku tamu,  ya………inilah kewajiban bagi setiap tamu yang akan  masuk meminjam buku.

          Di saat akan mencari buku  rasanya bagiku sepi sekali  , kutatap  sekitar  ruangan Nampak  hanya  segelintir  anak-anak  saja,  ada lagi duduk-duduk  baca  buku,  ada pula  yang sedang  sibuk  mencari  buku  yang  akan di  pinjam.

          Seorang peminjam  buku yang sudah habis  masa pinjamanya masuk ruang  perpustakaan, sambil  bertanya . “ Mbak,  tempat  memperpanjang  kartunya  dimana ?”

          “Itu  ! masak tidak tahu  ! Itu  ada  bacaanya,  Kata pegawai  itu  berkata  kepada peminjam yang akan  meminjam buku  baru tau  di perpanjang  lagi.

          Ini  kuingat  kejadian  yang  telah  lalu  pada  perpustakaan  ini,  aku hanya  menyaksikan dan pernah  pula  ikut  bicara, bahkan aku  sampai disekors  dan tak  dapat di perpanjang  lagi masa  pakai  kartuku. Tetapi  berkat  aku  sabar  dan barangkali  Tuhan  masih memberikan  kekuatan  bagiku, akhirnya  aku dapat  masuk  kembali   menjadi  anggota  sampai  sekarang.

          “Mbak  ……..ini saya  pinjam  buku,” kataku sambil memberikan  buku-buku  yang  akan  aku  pinjam.

          “Ya  letakan  saja  nanti akan  di  catat  lebih  dahulu,”  kata pegwai  yang Nampak segera mencatat  buku  yang  akan  di  pinjam  tersebut.

          Terlihat  juga  ada  mahasiswa  yang  sedang  asik  memainkan  laptop  mereka, karena di  perpustakaan  ini  disediakan jalur  internet  bebas  pulsa, alias  jalur  internet  yang  gratis.

          Buku-buku  itu  yang  akan  di  pinjam oleh anggota perpustakaan, masuk  dalam  data  yang akan di  pinjam, setelah  itu  buku   itu  boleh  di  bawa  pulang, sesuai  kebutuhan, namun di  perpustakaan  ini  di  batasi jumlah  pinjaman  maksimal  tiga  buah  buku  pinjaman, aku  segera  keluar, niatku  agar aku  dapat  mengikuti  Sholat  Jumat.  Namun baru  beberapa  langkah  keluar,  aku  melihat  seorang wanita.

          Aku  tersentak  perasaanku ingin  menyapanya, menegurnya dan mengajaknya  untuk dapat bicara denganku, karena  dalam  perasaanku  siapa tahu  tujuanya sama  dengaku. Kulihat dari  belakang, perlahan – lahan kuikuti lagak  dan gayanya.

          “Dik…..?” kusapa ia dari belakang, setelah  aku  sangat dekat  sekali.

          Gadis  itu  menghentikan langkahnya.

          “Pulangnya  kemana ?”

          “Dekat  sinilah .”

          “Dimana ?”

          “Ini di jalan Candiwelan .”

          Akhirnya aku dan gadis  itu berjalan berdua dan arah luar  pagar, kulihat gapura  dan pagar  yang di tata rapi, di ukir dan di cat indah  sekali. Kupikir  seharusnya di servis lebih menarik  lagi.

          Cuaca tampak cerah, hembusan angin sungguh terasa, sambl berjalan kaki bersama-sama gadis itu, aku menjawab  kata-katanya,”Dekat……sekali  kalau  begitu, tetapi pulangnya  apa mau  kepasar  dulu ?”

          “Ya, saya akan naik mobil  ke pasar lebih dulu, sebab ada keperluan di pasar , “ kata gadis itu.

          “Sama-sama saja.”

          Ia hanya diam menunduk. Kemudian memanggil becak yang  tak berapa jauh dari kios rokok. Gadis itu naik becak lebih dulu.

          Ketika  berada  di becak ia berkata,”Ayolah ……….naik nggak apa-apa.”

          Aku senyum dan bercampur bimbang dalam  hatiku sebab perasaan ini, bergelatak-glutuk, ,”biarlah aku jalan saja, bukankah  dekat  sekali,” kataku sambil sedikit berjalan.

          “Sudah nggak apa-apa, ayolah naik saja,”kata gadis itu sekali lagi.

          “Baiklah …….”kataku.

          Berdua kami bersama dalam becak, walau hati  masih bingung  dan pikiran setengah  bertanya-tanya. Ada kesan aneh memlalui sikapnya.
          Hening keadaan, meskipun hiruk pikuk  lalulintas, namun diam  tanpa suara yang terdengar.

          Becak terus berjalan, sementara aku masih bertanya  dalam bathinku, darimana aku mulai berkata.  Apakah aku bertanya  tentang nama,  alamat rumah, atau bertanya  buku apa saja yang di pinjam dan yang di senangi  dari perpustakaan.

          “Ini  dari  pada  kita  akan naik becak ketempat  dekat  itu, bagaimana jika saya usul begini ?”

          “Usul apa ?” Tanyanya ingin tahu.

          “Jika anda  setuju lebih baik langsung  saja menuju kepasar dan  kalau mau  mampir di tempat situ  boleh  juga,” kataku dengan pelan.

          “Boleh juga .”

          “Situ siapa sih  namanya ?” tanyaku  mendadak.

          Bersamaan dengan  itu ia juga melempar  pertanyaan  yang serupa.

          Kami jadi  tertawa.

          Tanpa  ragu aku  memberikan  kartu perpustakaan yang di selipkan  dalam buku. Dia mengambilnya  dan segera membacanya  dengan lamban, meskipun aku tak mendengar  kata-katanya.

          “Kalau  begitu  Jon  Seorang penulis ya ?”

          “Begitulah tapi  belum apa-apa kok. Kamu sendiri  siapa  namanya ?”tanyaku  balik  bertanya kepadanya.

         Dia  membuka  tas  merahnya,  lalu menyodorkan  sebuah kartu  yang  serupa denganku. Sambil dipegangnya  erat.

          Suara hiruk pikuk lalulintas kendaraan terdengar nyaring, sesekali melintasi  kami  yang berada  dalam  kendaraan becak yang beroda tiga itu.

          “Murni ?” wah sebuah  nama yang bagus.”

          “Jangan begitu berkata, aku jadi malu ah,” tukasnya dengan senyum.

          “Sungguh aku berkata  apa adanya. Orang tuamu telah  memberikan  nama Murni, dan  memang  orangnya  menawan,”kataku.

          Melayang  jiwaku mengatakan  itu. Bergoncang-goncang seperti  akan  membangun  sebuah mahligai  diatas  angan-angan, dari sebuah mimpi  yang berakhir. Ini aku rasa  dan bukan sebuah mimpi yang  berakhir…….bukan? bukan  mimpi tapi  ini  adalah  sebuah kenyataan yang ada di depan  mata.

          Seakan-akan  roda  becak  ikut bicara, seakan  mampu melukiskan  untaian  kata-kata, apa yang tengah ku alami  saat ini.

          Jari-jari becak berbisik-bisik,”ya baru kali ini saya dengar dan  melihat  hal-hal  yang Nampak  seperti  mimpi belaka.”

          “Di dunia  ini, hal  yang tidak mungkin itu  akan mungkin sekali terjadi, seperti apa yang telah kita  lihat sekarang  ini,”kata  bodinya  becak.

          Meskipun baru kenal  namun keakraban  terjalin seakan seorang teman  lama yang baerjumpa  lagi, bagai bernostalgia.

          “Ya aku  juga  baru kali ini, di duduki oleh dua  insan yang baru saja  bertemu,  ibarat  sudah  lama tak saling  khabar  berita,  namun bukan bak  kodok rindukan bulana………salah maksudku hujan,  bukankah  begitu  sadel ?” Tanya  jok becak.

          Becak berhenti di sebuah persimpangan menunggu rambu-rambu  menyala hijau,  becak perlahan  maju  kedepan. Lebih mendahului  kendaraan lainya.

          “Ya aku  juga  sama dengan kalian,  tapi aku  Tanya pada  kalian, Pada jari-jari, pada ban, dan juga kepada  jok,  apakah doa kita  akan terkabul  untuk mereka ?” Tanya Sadel  becak.

          Perbincangan  yang mistery dari alat  manusia  memang tak terdengar  oleh manusia, namun benda itu  tercipta  tetap saja akan selalu  mendampingi  setiap  kehidupan  sisi manusia. Yang berada di muka  bumi  ini.

          “Itu semua  tergantung pada perilaku  kita  selama ini sahabat..!” teriak oleh Jari-Jari dengan lantang sekali.

          Dialog  benda di muka  bumi, yang merupakan  alat  kehidupan  bagi manusia, jadi saksi nyata di dunia  ini  yang terus  berjalan, hanya  manusia  saja  yang terkadang lupa  akan  perbuatanya tersebut.

          “Maksudmu apa ?” balas Sadel  becak  kembali.

          Becak perlahan  menuju ketempat yang sudah di pesankan sebelumnya.

          “Maksudku jika kau  rajin sholat dan banyak berbuat  kepada kebajikan  maka itu  sebagai pengantar  hidup yang mulia,” kata Jari-Jari  becak,” Biasanya apa-apa yang akan diminta  akan di kabulkan.”

          “Ya, saya akan mampir saja dan  sekalian  Jon akan tahu juga  tempatku  nanti,” Murni memotong pembicaraan.

          Becak  berhenti  di sebuah  mulut lorong Murni turun dari becak.

          “Baiklah kalau  begitu, saya akan terus ke Mesjid Agung untuk  sholat Jumat  disana saja.”perlahan aku jawab .

          Murni telah turun dari becak tersebut,” tempat tinggalnya  jauh ?”

          “Tidak, aku tinggal di Kertapati.”

          Suasana hening, diam sesaat hanya sempat  saling pandang, sehingga  beragam  keinginan  tertuang saja.  Inilah sebuah  angan  kasih  di awal sebuah  perjumpaan yang banyak meninggalkan bagai pertanyaan.

          Murni Tanya kembali,” Kira-kira  ?”

          “Didaerah simpang  tiga  atau  lebih tepatnya  di jalan Ogan no 2 “

          Tanpa diketahui aku semangkin tertarik  memandang  wajahnya, rambutnya  yang keriting, dan itu …….cara berbicaranya  yang khas. Suaranya yang merdu  membuat aku terhanyut.

          Kami  berdua saling tertegun  tiada kata  yang dapat berucap, sehingga  bagaimana  untaian  kata-kata  yang harus ku ucap, agar perjumpaan  ini  akan membawa kesan, yang tak akan pernah dapat  kulupakan, adakah kata-kata indah yang dapat kuucap?, bisiku dalam hati.

          Saat ia turun becak, lewat lorong  yang tak bernama itu  ia  memandangku,” Daaaahhhh…, “ ucapanya seraya.

          Diam aku  memandangnya, bisikan  hatiku tak mampu  berkata sesuatu  yang ingin kuucapkan, untuk perpisahan  ini, hanya aku berkata,”Terima kasih  sampai kita  berjumpa  kembali.”

          Kupandangi ia, begitupun Murni  sangat dalam ia berkesan  bagiku.

          Dia menghilang  dibalik  di balik barisan rumah-rumah itu, hingga  menyelinap  sudah. Bagai pertanyaan  yang tersimpan  di hatiku , kini diam seribu  bahasa, entah  apa yang  hendak kutanya  kini.

          Meskipun bising suara kendaraan  yang lalu lalang namaun, tak sedikit  aku terganggu dengan itu, yang aku pikirkan hanya  pertemuan ini, bertanya-tanya di hatiku.
         
Sejenak pikiranku menerawang jauh, ingin tadinya  kuminta  sebuah  photo  darinya , tapi malurasanya, tak terucap  jua sedikit  katapun  dari bibirku. Ingin ku mengenalnya lebi jauh
dalam  waktu  yang lebih  lama   lagi, namun ke khawatiranku  masih ada mengganjal di benakku pada  saat ini.

          Becak putar kembali  melalui jalan yang  di  lalui  oleh becak, bentuk  rumah panggung  masih Nampak,  karena ini  merupakan rumah  khas  masyarakat  Palembang. Aku bangga  sebagai warga Palembang  yang  masih mempertahankan  rumah  adat  tersebut.

          Di kota lain, rumah  adat  ini  sudah  hampir  tak  Nampak  lagi, karena rumah khas  daerah  tersebut  secara  perlahan-lahan  mulai  musnah,  yang sudah di ganti  dengan rumah-rumah gedung yang  modern, dengan  mode yang bertingkat-tingkat.

          Ingin  kurangkai kata-kata  agar pertemuan  itu membawa  kenangan indah, supaya kisah ini  akan tetap di kenang, baik dalam suka maupun duka, tapi  aku bukan seorang pujangga yang pandai merangkai kata-kata.

          Keras  aku  berpikir untuk  menuliskanya pada  kertas  yang dapat  kujadikan  pegangan hidup,  ingin ku buat  sajak  indah  tapi  dari mana  awalnya  yang  harus  kumulai.

          Banyak kadang-kadang  orang  bilang  inspirasi  itu akan muncul bila  dalam  keadaan  hening,  dalam suasan  yang sepi  di  saat  kita  menyendiri,  kadang  juga  ingi  ku  tuliskan  kisah-kisah  itu di dinding –dinding  rumah.

          Sungguh  aku  menjadi  bingung  sekarang,  mengapa aku jadi  begini, di  luar  sana  tampak  angin  brhembus  lembut,  malam  terang  bulan  membawa  hanyut  khayalku  kini. Mengapa  aku  begini  setelah  tadi  siang  bertemu  dengan  Murni? Ada  perasaan  yang  teramat  dalam  yang  tersisa  di dalam  lubuk  hatiku  yang  paling  dalam,  sehingga  kesan  itu  yang  tak  dapat  aku  lupakan.

          Meskipun  kesan  itu sukar  untuk  kugambarkan, oleh  karena  itu  sungguh  jujur, aku  tak  dapat  untuk  melupakanya. Meskipun  demikian  aku  juga   tak  mau  beranda-andai  tentang  Murni,  hanya  saja kesan ku  bersamanya  terukir  di  hatiku  yang paling  dalam.

          Berjalan  menenbus rasa  hingga  dapat  kupandangi  semua alam  yang jauh  itu,  ingin  kutembus  dengan  penuh  rasa,  bersama  persaan  hati  dengan  kisah-kisah  antara  aku  dan  Murni.

          Menjalin kata-kata  ingin  kulakukan  agar  sajak  itu  hidup  bersama  langkah-langkahku dan  Murni, tapi  kubukan  seorang  ahli  puisi  atau  sajak, hanya  tak  ingin  memperkosa  perasaan  di  hatiku, karena  ini  semua  hak  semua  insan  untuk  saling  kenal, saling  bagi  kasih,  hingga  kubertanya bolehkah aku  mencumbuuuuuuuu…..????????  

           

             

         


No comments:

Post a Comment

Sorga atau neraka

 Sorga itu sudah ada di dunia Hanya sedikit yang mau Banyak manusia lebih memilih dunia Jika dalam gembira kau gelisah Jika dalam susah kau ...