Oleh
: M Kamil
Pagi
itu langit tampakanya cerah, angin berhembus dengan lembutnya, sehingga terasa sekali
sejuk dingin menusuk tubuh. Seorang pemuda berjalan gontai membawa map menuju
ke sebuah kantor dinas, sepertinya focus sekali ia melangkah, mendekati kantor
itu.
Belum lagi ia sampai di ruangan kantor itu, terlihat tampaknya ada seorang
lelaki yang baru saja turun dari kendaraanya. Perlahan namun pasti ia
sepertinya juga menuju ke arah kantor dinas itu. Sekilas ia pandangi karena ada
seorang anak muda yang tanpa sengaja
bersamaan melangkah dan saling berpandangan mata dengannya, mereka
terhenti sesaat.
Karena merasa pemuda itu melihat
laki-laki yang baru saja turun dari kendaraan, yang lalu menuju ke kantor itu secara bersamaan, Edo agak
terperanjat kaget. Dengan cepat ia melakukan gerakan.
“Maaf Pak, saya mau mengajukan
permohonan,” ungkap Edo yang dengan tiba-tiba berkata kepada laki-laki yang
berada di hadapanya itu.
“Ya, boleh ada apa ya?”
Laki-laki itu sesaat diam, namun ia
pandangi sekali lagi pemuda itu, hanya saja dalam benaknya, berpikir, apa
gerangan keinginan pemuda yang berada di hadapanya ini, bagai pertanyaan yang
tersimpan?
“Begini Pak, saya mau ajukan
permohonan lamaran, “ kembali ungkap pernyataan keinginanya kepada lelaki yang
baru saja turun dari kendaraan tersebut.
Laki-laki itu sesaat memandang
kepada Edo, ia renungkan dengan teliti, namun tampaknya ia juga memikirkan sesuatu tentang Edo. Tampaknya ia ada
perhatian, meskipun baru kali ini ia melihat Edo. Entah apa yang ada dalam
benaknya kepala dinas itu, sepertinya ia senang sekali dengan Edo, walau baru
kali ini ia melihatnya.
“Mau kau jadi sopirku?”
“Mau Pak!!”
Semangat sekali Edo menjawabnya,
tanpa ia berpikir lebih lama, serta dengan rasa yakin dengan pekerjaan itu.
“Kalau begitu lamaran ini saya
terima, dan besok kamu boleh datang, mau?!”
“Ya, Pak!!!”
Girang sekali ia menerima tawaran
itu, pikirnya terima saja, daripada ngaggur
di rumah.Rezeki.
Sejak tawaran kerja itu, Edo senang
sekali, meskipun untuk sementara ia hanya sebagai seorang sopir kepala Dinas
dari sebuah departemen pemerintah. Tekun
sekali ia kerja sebagai sopir. Ketika pagi ia sudah berada di rumah kepala dinas itu.
Menjelang siang, dan usai makan
siang Edo tiba-tiba di panggil kepala dinas ke ruang kerjanya, berbagai pertanyaan
yang menggelayut di benaknya. Meskipun itu sudah biasa ia di panggil ke ruang
kerjanya kepala dinas, karena memang ia adalah sopirnya dari seorang kepala
dinas tersebut..
“Assalamu alaikum Pak!!?
“Ya, waalaikum sallam, silahkan
masuk Edo!”
Edo segera saja masuk ke ruangan
itu, dengan segera ia masih saja berdiri di dekat pintu itu, tanpa ia bergerak
sedikitpun. Namun ia berdiri dengan tenang. Karena sudah kebisaan menunggu
perintah dari seorang kepala dinas.
“Ada apa ya Pak?’
“Duduklah, ini kau terima Sk
kerjamu, kau sudah menjadi pegawai di kantor ini, sebentar lagi kalian akan di
lantik bersama, sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan dinas ini,” ujar oleh kepala dinas dengan santai, sambil
ia memberikan Sk pegawai kepada Edo.”ini baru kopinya, yang asli nanti secara
bersamaan akan di berikan, pada saat di laksanakan pelantikan nanti, bagaiman?!”
Tampaknya gembira sekali ia menerima
Sknya itu, ingin rasanya ia melompat tinggi, namun ia tahan perasaan itu.
Meskipun rasa gembira yang sangat tak terkira lagi.
“Terima kasih Pak!?”
“ ya, mulai sekarang kau telah
menjadi pegawai yang sah, oh ya..nanti sore kita akan adakan jamuan untukmu di
rumah!?’
“Ya, Pak!?”
Sore telah menjelang, sementara itu
Kepala dinas tampak santai, dan baru
saja turun dari kendaraanya. Ia tampaknya dengan segera menuju ke rumahanya. Di
belakang ia di ikuti oleh sopir dan ajudan pribadinya itu. Ia tiada lain adalah
Edo.
Ternyata di ruang makan telah di
siapkan sesuai dengan rencana yang di inginkan oleh kepala dinas itu. Ia
meliaht betapa rasa senangnya yang tak terkira, karena rencana persiapan jamuan
makan telah tersedia dengan lengkap.
“Edo, silahkan duduk, ma kau panggil
Mayang sekarang!?
“Sekarang Pak?!!
“Ya sekarang, kita makan bersama,
menyambut diterimanya Edo sebagai pegawai negeri!” ujar oleh orang tuanya
Mayang yang semangat sekali menjamu Edo,
untuk makan bersama dengan keluarganya itu.
Edo tampaknya sudah duduk dengan
diam di kursinya, sementara itu kepala dinas juga telah duduk dengan tenang di
kursinya. Meskipun sesekali ia pandangi Edo dengan penuh harapan sekali.
Di saat itu Mayang bersama dengan
ibunya datang.
“Ayolah silahkan kalian duduk,” ujar
oleh Kepala Dinas itu setelah mereka sedikit tenang lalu ia berkata kembali.”
Nah untuk ini saya akan tegaskan bahwa, mulai saat ini, saya akan jodohkan
antara Mayang dengan Edo!”
Mendengar keptusan yang di sampaikan
oleh orang tuanya Mayang itu, tampaknya Edo hanya diam, namun ia hanya
berbsisik dalam hatinya,’jabatan dan dia.’. Pikir Edo terima saja ini adalah
rezeki. Suatu kesemp;atan yang baik, kalau aku tolak tak akan ada sampai dua
kali. Sudah dapat pekerjaan, lalu akan di jodohkan pula. Tuhan telah melimpahkan rezeki
yang besar kepadaku, demikian bisik Edo dalam hatinya.
Karena kedua orang antara Mayang dan
Edo tampaknya, hanya diam. Begitu juga
Mayang yang hanya senyum-senyum itu, sambil ia pandangi Edo yang juga hanya
diam, tanpa banyak bicara apa-apa lagi.
Sepertinya, tanda diam adalah bahwa kedua orang itu menerima apa yang di
sampaikan oleh orang tuanya.
Artinya itu mereka berdua menerima
keputusan yang di sampaikan oleh orang tuanya Mayang. Betul sekali bahwa kedua
orang tua mereka ternyata juga sangat menyetujui hubungan mereka berdua. Bahkan
pernikahan itu dapat di langsungkan dengan meriah sekali.
Sehingga dari hubungan itu Edo dan
Mayang telah mendapatkan dua orang anak,
sehingga mereka terjalin menjadi keluarga yang bahagia sekali. Karena inilah
harapan dari otrang tua pada anaknya, yaitu agar bahagia.
Seiring dengan itu pula, Edo
berhasil juga di angkat menjadi seorang
pimpinan proyek, yang akan di langsungkannya reklamasi tanah hingga ribuan
hektar tersebut. Di saat itu Edo hanya merenungkan bahwa ini adalah rezeki yang
besar telah di anugrahkan kepadanya.
Di ruang kerjanya, Edo menerima
surat kaleng, segera saja ia buka surat itu, di saat ia baca surat itu, ia
tampak sangat kecewa sekali. Ia simpan
surat itu di sakunya . Namun di wajahnya sangat tampak marah sekali.
Sore ketika pulang Edo tak banyak
bicara, ia di saat turun dari kendaraanya, menuju langsung ke ruang kamarnya.
Melihat itu istrinya tampak ingin tahu apa yang telah terjadi pada suaminya
ini. Ingin tahu ia apa sesungguhnya?
Namun ketika Mayang masuk kamar,
segera saja surat itu di lemparkan kepada Mayang, melihat itu Mayang jadi
gusar, ia baca surat itu, ia tampak seakan tak percaya isi surat itu. Namun ia
hanya diam saja. Serta terpaku beku dan bisu.
Tak ada suara yang keras terdengar,
tampaknya Edo hanya diam, entah mengapa ia tak ada komentar tentang isi surat
itu. Hanya ia tampaknya berbisik, kau, dia atau jabatan, tampaknya mnenjadi
pikiran yang berat baginya. Walaupun ia hanya diam, namun tak dapat di hapuskan
baginya. Karena arang telah mencoreng wajahnya kini, sakit rasanya.
Tercipta dendam yang dalam di dalam
pikiran Edo, namun sejak ia menjadi ketua KNPI, ia tertarik menjadi seorang
walikota di Palembang. Atas dasar dorongan temanya, juga rekan-rekan kerjanya
serta sahabatnya ia akhirnya ikut juga kompetisi calon walikota itu.
Ternyata rezeki memang berada di
pihak Edo, dari hasil pemilihan itu, ternyata para anggota DPRD kota telah
memilih Edo menjadi walikota. Dari tiga orang saingan itu, Edo berhasil menjadi
pemenang sebagai seorang walikota Palembang. Begitu juga saat pemilihan yang
kedua ia juga berhasil menang.
Meskipun ia mendapat Rezeki besar
bahwa ia menjadi walikota, namun hatinya merasa tertekan, karena meskipun ia
mendapat rezeki yang besar, namun isu selingkuh itu telah merusak pikiranya.
Betul-betul telah menghancurkan perasaanya.
Kini Edo mulai tertarik pada seorang
gadis yang bernama Eva, ia seorang photo
model yang tinggal di Jakarta. Itu hasil
hubungan dengan seorang artis Ayu Azhari. Hal itu di kenalkan oleh Ayu Azhari
pada Edo, di kala hari ulang tahun kemerdekaan di hotel Jakarta Diara. Sungguh
pertemuan itu tak dapat di lupakan. Sejak itu wanita yang menjadi kenalan
tersebut akrab dengan Edo.
Setiap Jumat sore Edo selalu ke
Jakarta, di sana di sebuah perumahan mewah kalangan artis ia telah hidup bersama dengan artis photo model itu.
Sejak ia menjadi walikota Palembang Hubungan it terus berjalan dengan baik.
“Kak kamu mau kemana?!”
“Aku ada rapat di Jakarta, penting,
senin pagi aku pulang, langsung masuk kerja!”
Mendengar jawaban itu Mayang sangat kecewa,
dan ia tahu kalau Edo sudah punya simpanan di Jakarta. Namun hal itu membuat
dirinya tak putus asa. Mayang Punya rencana tersendiri, dalam hatinya hanya ia
berbisik, kau dia dan jabatan,aku tak
akan tinggal diam, kau juga akan merasakan. Kita sama hancur.
Di sebuah acara pesta perkawianan,
Edo datang bersama istrinya, namun ia juga secara diam-diam datang kemudian, ia
tak datang bersama istrinya yang tercinta. Namun yang datang bertsama seorang
wanita lain.
Pada saat ada panggilan MC agar
walikota untuk berdiri dan menyampaikan kata sambutan sungguh ia terlihat tak
ada muncul. Setelah sesaat berlalu ia baru menyampaikan sambutanya di muka para
undangan tersebut. Saling pandang para undangan di saat itu.
Mayang juga berada di tempat itu, ia
merasa sangat gelisah sekali, hatinya merasa terkoyak-koyak saja. Kini suaminya
telah mencorengnya dengan kasar, ia merasa di permalukan di muka umum kali ini.
Lalu di kala ada kembali panggilan
dari pembawa acara agar Edo bersama dengan istrinya di minta untuk berphoto
bersama dengan istrinya. Di saat itu juga menjadi gempar tempat itu, karena Edo
ternyata berdiri bersama dengan seorang wanita lain, yang bukan bersama dengan
istrinya.
Menyaksikan itu, betapa hancur
perasaan Mayang, ia seakan-akan di robek-robek jantung dan hatinya. Di saat itu
juga ia menuju pulang ia tinggalkan acara itu, karena malu baginya bukan kepalang. Terasa bagaikan di iris-iris hatinya pada saat ini.
Ketika menjelang pagi, Mayang sudah
berada di sebuah pertemuan, ia mengundang semua awak media atau wartawan yang
di kenal, ia lalu menggugat cerai suaminya. Ia ingin agar cerai saja dengan
Edo, karena baginya sudah tak dapat di pertahankan lagi mahligai rumah
tangganya saat ini.
Kembali hatinya berkata, kau, dia
dan jabatan, akan hancur bersama-sama, aku tak
ingin kau menikmati bahagia di atas penderitaan orang lain. Kau juga
akan menderita karena ulahmu ini.
Masyarakat tahu akan hal ini, media
masa khususnya untuk media kota Palembang dan sekitarnya. Memuat tentang berita
Mayang dan suaminya Edo telah menggugat cerai atas suaminya tersebut.
Ternyata jabatan sebagai walikota
bagi Edo sudah mulai berakhir, juga mahligai rumah tangganya akan juga segera
berakhir. Sore itu Edo hanya melamun diam, ia tak dapat lagi berbuat apa-apa,
nasi sudah jadi bubur.
Ketika terjadi sidang perceraian,
maka hakim telah memutuskan bahwa, harta dan gono gini, rumah mewah, serta
hotel dan usaha adalah di nyatakan hakim itu adalah miliknya Mayang. Jadi bukan
miliknya Edo.
Meskipun dalam keadaan hatinya yang
tengah gunda gulana itu, Edo masih juga menyempatkan diri ikut mencalonkan untuk
sebagai Gubernur Sumatera Selatan. Namun
kali ini ia tak dapat menang. Juga masa jabatan sebagai walikota Palembang mulai dan telah berakhir. Di pagi itu ia juga telah
menerima surat perceraian, bersamaan pengumuman calon gubernur Sumatera
Selatan, yang juga ternyata ia tak berhasil sebagai gubernur Sumatera Selatan.
Sudah jatuh di timpa tangga pula.
Edo terdiam di sudut sebuah ruangan,
ia hanya duduk menyendiri merenungkan hal dirinya, jauh ia berpikir, dan ia
hanya berkata, kau dia dan jabatanku kini telah berakhir. Ia renungkan bahwa
derita ini ia rasakan, hanya bagai sebuah mimpi belaka. Sungguh sangat singkatnya perjalanan ini pikirnya.
“Edo ada apa?!”
Orang tua Edo ketika itu menyapanya,
sembari mendekati anaknya, yang masih duduk terdiam itu. Ia ikut sedih
merasakan ini. Namun pikirnya, ini adalah perjalanan bagi hiudp anaknya, karena
semuanya hanya Allah yang mengaturnya ini. Tuhan punya rencana sendiri.
“Tidak apa-apa, aku baik-baik
saja,”ujar Edo seakan ia tak tahu kalau orang tuanya ikut merasakan apa
yang telah ia rasakan itu.”pak besok aku ke Jakarta!?”
“Ya, sabar ya nak?!”
Edo kembali diam, ia tak banyak
bicara.
Hatinya sangat hancur, di luar langit
mulai gelap awan telah menutupi langit dengan pekatnya, tidak ada yang dapat akan menahanya keinginan alam yang
datang waktunya gelap menjelang malam tiba.
Pagi sekali Edo sudah berangkat
menuju ke Jakarta, tak lagi ia dapat menemui istrinya Mayang, karena ia telah
resmi menurut keputusan pengadilan bahwa ia dan Mayang telah bercerai,
sedangkan ia saja, harus angkat kaki
dari rumahnya. Karena itu ia kini telah tinggal di rumah orang tuanya saat ini.
Ingin rasanya menjumpai anaknya,
rindunya ayah kepada anaknya, tetapi apa
daya, ingin rasanya meraih gunung namun apa daya tangan tak sampai.
Di saat menuju ke rumahnya di
kalangan perumahan mewah dan berderet
rumah-rumah yang megah itu. Perlahan Edo lalu segera juga turun dari
kendaraanya. Ia naik taksi dari bandara
Sukarno- Hatta. Baru ia akan turun bukan kepala terkejut dan kaget ia.
Di depan matanya, Edo melihat
Istrinya Eva di antar oleh seorang laki-laki, ia lihat laki-laki itu dengan
mesranya mencium Eva yang turun dari sebuah kendaraan mewah itu. Edo berlari
kecil ingin mengejar kendaraan itu, namun kendaraan itu telah berlalu begitu
saja.
Eva seakan-akan tak mperdulikan dengan kedatangan Edo, ia dengan santai saja
menuju ke arah rumahnya, ia melihat Edo dengan sebelah matanya.
“Eva, apa yang telah kau lakukan!”
“Apa kau bilang!?”
“Siapa dia!?
“Hei, kau itu telah habis masa tahu,
kau laki-laki yang tak berguna lagi, lalu untuk apa kau masih datang kemari,
apa yang akan kau berikan padaku kini, Hah!!?
Entah apa yang membuat Edo hanya
diam, tak ada jawaban yang di sampaikannya,
ia hanya beku, ia perhatikan ketika Eva telah berlalu dari hadapanya. Ia hanya
berbisik dalam hatinya. Kau, dia dan jabatanku kini telah berakhir sudah.