Friday, 23 August 2019

Kepercayaan Merapu Di Sumba


KEPERCAYAAN MARAPU DI SUMBA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Agama-Agama Lokal

DI SUSUN OLEH:
M U R N I A T I
NIM: 1653100027

Dosen Pengampuh: Aristophan Firdaus, M.S.I

STUDI AGAMA AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN RADEN FATAH PALEMBANG
2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan  hidayah-Nya sehingga terwujud makalah Agama-agama Lokal yang berjudul Kepercayaan Marapu di Sumba. Terima kasih kepada Dosen Pengampu yang telah membimbing kami dalam proses pemahaman mata kuliah ini.
Makalah ini kami susun berdasarkan untuk memenuhi tugas perkuliahan Agama-agama Lokal. Semoga dengan mempelajari Agama Lokal menambah keimanan kita terhadap Agama Islam dan menjadi generasi yang berakhlakul karimah, cinta bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aamiin.


Palembang, Oktober 2018



Penulis



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang .................................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
PEMBAHASAN
A.    Asal-usul Agama Marapu ................................................................................... 2
B.     Respon Negara Terhadap Problem Pelayanan .................................................... 3
C.     Pemuka Agama Marapu ...................................................................................... 6
D.    Upacara Adat Agama Marapu ............................................................................ 6
PENUTUP
Kesimpulan ............................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 19

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Apa yang dimaksud dengan “agama asli” orang Umalulu itu ialah suatu agama yang berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah leluhur. Dalam bahasa Sumba Timur arwah-arwah leluhur disebut Marapu yang berarti “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Oleh karena itu, agama yang mereka anut disebut Marapu pula.
Bagi orang Umalulu, agama Marapu menjadi penanda identitas yang penting. Identifikasi keagamaan ini merupakan sebuah konstruksi yang menekankan pada perbedaan bahwa “inilah agama kita”, walaupun tidak pula mengabaikan keberadaan komunitas lain yang berbeda agama. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa identitas budaya ke Marapuannya diberi label oleh “orang lain”, namun mereka secara aktif melabelkan diri mereka sendiri dengan  melakukan berbagai kegiatan keagamaannya.

B.     Rumusan Masalah
E.     Apa asal-usul Agama Marapu?
F.      Bagaimana Respon Negara Terhadap Problem Pelayanan?
G.    Siapa Pemuka Agama Marapu?
H.    Bagaimana Upacara Adat Agama Marapu?




PEMBAHASAN
A.    Asal Usul Agama Marapu
Agama Marapu adalah "agama asli" yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Adapun yang dimaksud dengan Kepercayaan Marapu ialah sistem keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan terhadap arwah –arwah leluhur. Premis dasar dari setiap pemujaan adalah kepercayaan akan adanya jiwa, sesuatu yang bersifat supernatural, dan kekuatan supranatural. Dalam artinya pemujaan didalam religi tersebut mempunyai mekanisme yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan kekuatan alam lain.
Kepercayaan Marapu merupakan kepercayaan yang bersumber pada zaman megalitik. Inti kepercayaan yang berkembang pada masyarakat megalitik adalah roh nenek moyang setelah mati tidak akan pergi selamahnya, namun hanya berpindah tempat dari kehidupan nyatake kehidupan alam akhirat, karena itulah upacara penguburan nenek moyang menurut mereka menjadi awal lahirnya kembali nenek moyang mereka pada alam lain. Konsep pemujaan roh nenek moyang dan para leluhur didasari dengan penghormatan yang tinggi kepada para arwah leluhur. Hal ini tidak lepas dari ilmu pengetahuan dan keahlian yang telah mereka peroleh dari leluhur serta peninggalan yang telah diwariskan pada anak keturunan mereka.
Hal yang paling mencolok pada pemujaan nenek moyang adalah pada waktu upacara pemujaan dan upacara penguburan. Para leluhur yang datang pertama ke pulau Sumba sangat di hormati oleh para keturunannya hingga kini. Penghormatan terhadap arwah leluhur inilah yang kemudian melahirkan agama lokal yang di sebut kepercayaan Marapu. Kepercayaan Marapu mengkultuskan arwah nenek moyang (leluhur) sebagai perantara untuk memuja Yang Maha Pencipta atau Ilahi Tertinggi.[1] Selain merunjuk kepada sebuah sistem religi tertentu yang di anut oleh masyarakat Sumba, istilah Marapu juga menunjuk kepada makna lain yang lebih sempit sifatnya, yaitu arwah nenek moyang.
Dalam kosmologi masyarakat Sumba, alam semesta terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan atas (langit), lapisan tengah (bumi), dan lapisan bawah (di bawah bumi). Sebagai penguasa tertinggi, Anatala yang di sebut juga Hupu Ima-Hupu Ama (ibu dan bapa segalah sesuatu) tingal di langit. Dalam konsepi masyarakat Sumba, langit terdiri dari delapan petala (lapis yang berbentuk kerucut, bagian paling atas memiliki daratan paling sempit, sementara bagian paling bawah memiliki daratan paling luas. Pada lapis pertama yang di sebut Awangu Walu Ndani (lapis langit kedelapan) itu Hupu Ina-Hupu Ama tingal bersama para Marapu.
Dari konsepsi masyarakat Sumba ini dapat di gambarkan bahwa eksistensi Tuhan sangat di bedakan dengan manusia, baik karena sifatnya yang adikodrati maupun tempatnya yang jauh di atas sana. Semula, ketika para Marapu belum turun ke bumi, hubungan antara manusia dengan Ilah tertinggi dapat terjalin secara langsung. Namun, ketika mereka memutuskan untuk tinggal di bumi, maka relasiantara Tuhan dan manusia kemudian terputus. Jalinan komunikasi dengan Tuhan hanya dapat terjadi dengan perantara arwah nenek moyang, yaitu para Marapu. Melalui Marapu, manusia dapat memohon pertolongan untuk di sampaikan kepada Hulu Ina-Hupu Ama, dan melalui Marapu pula Hupu Ina-Hupu Ama mengirimkan pesan atau jawaban atas permohonan tersebut.[2]
Keberadaan Marapu dapat dikatakan telah menganti peran Tuhan (Hupu Ina-Hupu Ama) dalam kehidupan masyarakat Sumba. Pemahaman bahwa Tuhan terletak jauh di atas sana membuat posisi Marapu menjadi penting. Marapu penting karena dapat menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhan. Selain itu, ia telah mewakili Tuhan dengan tugas-tugas menolong atau menghukum manusia. Jika Marapu di puja, maka ia akan memberikan pertolongan, perlindungan, dan keselamatan. Begitu juga sebaliknya, jika ia tidak di sembah akan menimbulkan malapetaka.
Disamping percaya terhadap roh para leluhur, masyarakat Sumba juga meyakini adanya roh-roh halus yang dapat menolong atau mencelakakan kehidupan manusia. Kepercayaan terhadap roh merupakan kebutuhan untuk menangkal kejahatan, musibah, atau untuk menjamin keselamatan. Orang Sumba percaya dengan memberikan sesaji kepada roh halus yang berada dekat dengan masyarakat, maka roh halus tersebut akan melihat dan menjaga mayarakat dari hal – hal yang buruk.[3]

B.     Respon Negara Terhadap Problem Pelayanan
Pelayanan negara dalam kehidupan masyarakat dapat digambarkan pada kelancaran pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Perkawinan, Akte Kelahiran, hak-hak pendidikan, pendirian rumah ibadah, dan fasilitas/bantuan pemerintah sebagai berikut:
1.      Kartu Tanda Penduduk dan Akte Kelahiran
Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan tanda identitas yang harus dimiliki oleh warga negara termasuk warga Marapu. Namun, tidak semua kehendak warga Marapu diakomodasi dalam perjalanannya. Sebagai contoh, masyarakat Sumba yang menganut kepercayaan Marapu tidak dicantumkan agama Marapu, tetapi banyak yang tertera agama tertentu. Padahal tidak ditanya terlebih dahulu juga tidak pernah meminta atau pun mengisi data dan langsung saja ditulis agama tertentu.
Pada masa sekarang, di Sumba Barat, pendaftaran dan pengisian formulir KTP sudah ada poin lain-lain dalam kolom agama. Dalam keterangan poin lain-lain tercantum kepercayaan Marapu. Hal ini menandakan, bahwa ada upaya pemerintah Kabupaten Sumba Barat untuk mewadahi warga masyarakat yang menganut kepercayaan Marapu untuk memilih sesuai agama dan kepercayaan yang dianut. Namun demikian, Elektronik KTP (e-KTP) merupakan program pemerintah pusat dan kepercayaan Marapu belum tersedia dalam aplikasi, sehingga dalam KTP belum tercantum agama Marapu, seperti yang diharapkan masyarakat.
Dalam pelayanan akta kelahiran, semua dilayani sesuai regulasi yang ada. Persyaratan pembuatan akte kelahiran yang sering dikeluhkan penganut Marapu adalah akte perkawinan yang tidak dimiliki oleh penganut Marapu. Ini dikarenakan pelaksanaan perkawinan dilakukan secara adat dan tidak diberitaacarakan oleh komunitas tersebut. Hal ini tidak berarti, pelayanan akte kelahiran diabaikan. Regulasi yang ada, bahwa pengajuan akte kelahiran yang tidak menunjukkan akta perkawinan, maka anak yang didaftarkan diakui sebagai anak ibu tidak dicantumkan nama ayah (Yermia   Ndappa, Kepala Dinas Dukcapil, 28 Oktober 2015).
2.      Akte Perkawinan
Pencatatan peristiwa perkawinan, baik di KUA maupun Catatan Sipil bagi masyarakat Sumba umumnya adalah nomor dua (Fuad, KUA Kecamatan Kodi, 3 November 2015). Artinya, tidak begitu perlu proses perkawinan dicatat oleh negara asal sesuai adat sudah dipenuhi itulah perkawinan sesungguhnya. Perkawinan menurut masyarakat Sumba pada umumnya mempunyai beberapa tujuan, di antaranya; untuk memenuhi perintah nenek moyang (Marapu), untuk memelihara persekutuan keluarga, maka perkawinan yang ideal adalah laki-laki mengawini anak perempuan saudara laki-laki ibunya (ana tuya) atau anak saudara pamannya, untuk memelihara derajat, untuk memelihara dan memperluas pengaruh dan kekuasaan dalam masyarakat dan memperoleh tenaga penolong.
Dalam perkawinan adat tidak ada berita acara, karena Marapu di Sumba pada umumnya sampai sekarang belum ada lembaganya. Tidak heran, ketika ada aturan dan persyaratan melampirkan akta perkawinan saat mengurus akta kelahiran anak, warga Marapu merasa ada paksaan dan tekanan. Sebagai solusi permasalahan tersebut pemerintah sudah menerapkan pelayanan sesuai regulasi administrasi kependudukan.
3.      Pendirian Rumah Ibadah
Pendirian  rumah  ibadah  mengacu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 terkait tugas dan tanggung jawab kepala daerah dalam pendirian rumah ibadah. Komposisi pemeluk agama di Sumba pada umumnya, yaitu beragama Kristen, Katholik, Islam, Kepercayaan, Hindu, dan Budha. Meskipun Kristen mayoritas, mereka kesulitan untuk menerapkan PBM tersebut, terutama terkait aturan jumlah 90 orang pengguna dan 60 dukungan warga sekitar. Ini dikarenakan letak rumah yang berjauhan, sehingga untuk tercapai jumlah tersebut tidak akan mudah memenuhinya. Tidak jarang ada gereja yang berdiri, namun pengguna berjauhan tempat tinggalnya (Diskusi Hau Tumanggara, 26 Oktober 2015). Dengan demikian, secara tegas meminta pasal terkait jumlah pengguna dan pendukung warga sekitar rumah ibadah ditinjau kembali.
4.      Hak-Hak Pendidkan
Dalam  pendidikan  di  sekolah,  anak Merapu  mengikuti  pelajaran  agama yang diadakan sesuai guru sekolahnya, baik Kristen atau Katholik. Tidak ada pilihan lain, asal anak-anak bisa mendapat pendidikan agama, meskipun tidak sesuai dengan yang diharapkan, dengan alasan kekurangan tenaga pengajar. Dalam kenyataannya, banyak guru agama yang hanya lulusan SMA. Mereka yang baru selesai studi diminta untuk mengajar di sekolah (Wawancara Rato Rumata Lado Regi Tera, 25 Oktober 2015). Hal ini dibenarkan oleh Kepala Bimas Katholik, Tarsisius Sili Toda, bahwa kekurangan tenaga pengajar hampir terjadi di pulau Sumba pada umumnya, sehingga ketika ada lulusan SMA yang baru selesai, mereka diminta masyarakat atau lembaga untuk menjadi guru di suatu sekolah.
5.      Bantuan Pemerintah
Agama lokal Marapu merupakan aset tak ternilai yang di miliki bangsa Indonesia, khususnya Kabupaten Sumba Barat. Dalam perjalanan sejarah, penganut Marapu semakin berkurang, karena: Pertama, faktor internal, yakni karena proses regenerasi yang tidak berjalan. Anak-anak muda tidak terlalu tertarik pada ajaran leluhur mereka, karena interaksi dengan dunia luar. Mereka tidak percaya diri ketika ditanyakan apa agama yang dianut oleh para generasi muda. Mereka lebih nyaman mengikuti agama yang dipelajari di sekolah, sehingga mengikiskan jumlah penganut Marapu yang ada. Kedua, faktor eksternal, yakni adanya pekabaran injil atau dakwah dari agama lain, sehingga pemeluk Marapu mengikuti dan mengurangi jumlah penganut dari waktu ke waktu.
Marapu dianggap belum beragama, sehingga mereka berpendapat sah-sah saja mengajak mereka untuk menjadi simpatisan sebelum pada akhirnya siap untuk memeluk agama. Dari sektor budaya dan pariwisata, pemerintah Kabupaten Sumba Barat tidak membiarkan tradisi ini hilang begitu saja. Ada bantuan perbaikan rumah adat sesuai persyaratan yang ditentukan melalui sektor budaya pariwisata, himbauan menghormati bulan pamali penganut Marapu, bahkan meliburkan sekolah pada saat upacara puncak Wulla Poddu sekitar Oktober-November dan melestarikan adat Pasola pada bulan Februari di Kecamatan Lamboya, bulan Maret di Kecamatan Wanukaka, dan Kecamatan Laboya Barat/Gaura (Anisah 2013, 87). Hal ini juga disampaikan pimpinan adat Marapu Louli Rato Rumata Lado Regi Tera (Wawancara, 25 Oktober 2015).[4]

C.    Pemuka Agama
Untuk mengadakan hubungan dengan para arwah leluhur dan arwah-arwah lainnya, orang Sumba melakukan berbagai upacara keagamaan yang dipimpin oleh ratu (pendeta). Penetapan waktu upacara didasarkan pada suatu kalender adat yang disebut Tanda Wulangu. Kalender adat itu tidak boleh diubah atau ditiadakan karena telah ditetapkan berdasarkan nuku-hara (hukum dan tata cara) dari para leluhur. Bila diubah dianggap akan menimbulkan kemarahan para leluhur dan akan berakibat buruk pada kehidupan manusia.
Masyarakat Umalulu di Sumba Timur juga percaya tentang adanya suatu kekuatan sakti dalam alam yang dapat menyusahkan hidup manusia, tetapi dapat digunakan bila dikendalikan dengan ilmu gaib. Caranya dengan mempelajari mantra-mantra tertentu, para tau mapingu puhi atau na mapingu muru (dukun) dapat diminta bantuannya untuk mendatangkan hujan atau menyembuhkan penyakit.[5]

D.    Upacara Adat (Adat Kematian dan Penguburan)
Pelaksanaan upacara-upacara kematian dan penguburan di berbagai daerah juga berbeda dalam variasi. Demikian juga mengenai masa berkabung serta pantangan-pantangan yang wajib dipatuhi oleh sanak keluarga yang terdekat selama masa berkabung. Bahkan dalam menilai kematian yang tidak wajar sebagai akibat sesuatu kecelakaan, antara Sumba Barat dan Sumba Timur, juga berbeda. Di Sumba Barat, seseorang yang meninggal akibat sesuatu kecelakaan tidak boleh dikubur dengan upacara kebesaran melainkan dengan upacara yang sederhana saja. Akan tetapi di Sumba Timur, seseorang yang meninggal akibat sesuatu kecelakaan berhak dikubur dengan upacara kebesaran seperti halnya seseorang yang meninggal secara wajar.
Namun ada ketentuan-ketentuan dalam Adat Kematian dan Penguburan yang dipatuhi oleh segenap suku bangsa Sumba penganut kepercayaan Marapu di seluruh daerah Sumba Barat dan Sumba Timur, yaitu ketentuan-ketentuan yang menetapkan bahwa :
1.      Dalam bulan Muharam tidak diperkenankan melaksanakan upacara-upacara kematian dan penguburan. (Bulan Muharam di Sumba Barat pada umumnya dikenal dengan sebutan Wula Podu yang berarti Bulan Pahit). Apabila dalam bulan Mu-haram ada seseorang yang meninggal maka jenazahnya dimasukkan ke dalam peti mati dan disimpan di dalam tanah di bawah kolong rumah. Apabila bulan Muharam telah lewat barulah peti mati diambil dan jenazah memperoleh upacara-upacara kematian dan penguburan sebagaimana layaknya.
2.      Seseorang yang meninggal karena melakukan sesuatu kejahatan besar atau pun karena melakukan sesuatu tindakan yang sangat tercela (Misalnya: mati terbunuh ketika melakukan perampokan, perkosaan atau melakukan perzinahan), harus dikuburkan di luar perkampungan dalam suatu kompleks kuburan yang khusus disediakan bagi para penjahaL. dan orang-orang yang terkutuk.
3.      Jenazah harus diletakkan dalam salah satu sikap. Yaitu sikap terlentang atau sikap jongkok. Meletakkan jenazah dalam sikap jongkok dimaksudkan agar kekuatan jahat atau pun kekuatan hitam (black magic) yang mungkin dimiliki seseorang, pada waktu ia meninggal jangan sampai melepaskan diri dari jasad si mati dan menimpa orang-orang di sekitarnya yang pasti akan ber-akibat sangat buruk pada orang-orang terkena kekuatan jahat atau pun kekuatan hitam itu. Oleh karenanya sampai masa kini banyak suku-suku di daerah-daerah Sumba Barat dan Sumba Timur yang masih lebih menyukai meletakkan jenazah anggota keluarganya yang meninggal dalam sikap duduk.[6]

Adat memberikan kebebasan kepada setiap suku, setiap clan dalam menentukan benda-benda apa yang dinilai sebagai bekal kubur yang berharga. Adapun benda-benda    yang dijadikan bekal kubur,  ialah:
1.      Bahan busana
Terdiri dari kain, sarung, ikat kepala atau tudung kepala. Kain dan sarung tenun (Hinggi-Lau) yang dipilih sebagai pembungkus dasar jenazah ialah yang bermotif ular atau bermotif udang. Jumlah kain, sarung tenun yang dijadikan bekal kubur menandai status sosial dan kaya miskinnya seseorang.
2.      Alat  perhiasan
Di seluruh Sumba, mamuli merupakan alat perhiasan yang menjadi salah satu bekal kubur yang utama. Kemudian kalung manik-manik (kanatar atau kenatar), kalung rantai dari logam atau yang berlapis mas (luluamahu). Gelang manik-manik atau gelang perak. Di daerah Sumba Barat berupa gelang gading.
Maraga atau marangga, wula dan laba merupakan alat perhiasan tradisionil khas Sumba Barat yang seringkali dijadikan bekal kubur yang berharga sekali.
3.      Alat senjata
Kelewang atau parang. Kadangkala juga ujung tombak. Bagi seorang wanita, alat senjata itu digantikan dengan sebilah pisau.
4.      Rarang anyaman
Berupa tas atau tempat sirih pinang tradisionil yang di Sumba Barat disebut kaleko atau kaleku. Di Sumba Timur di-sebut kalumbutu.
5.      Mata uang
Berupa mata uang Cina yang terbuat dari lempengan mas. Mata uang mas lnggris (pound) yang di Sumba populer dengan nama paun. Serta mata uang mas Belanda.
6.      Alat music
Berupa  gong  perunggu atau  gong  yang  diberi lapisan mas.
7.      Barang tanah liat
Terdiri dari periuk, tempayan dan belanga. Dahulu, tatkala adat penguburan dalam periuk, tempayan (um burial) masih dilakukan, barang-barang tanah liat itu merupakan alat penguburan (sekunder) yang paling utama. Dan sampai masa kini, barang-barang tanah liat itu masih tetap merupakan bekal kubur yang penting sekali.
8.      Barang keramik dari luar negeri
Terutama sekali barang keramik buatan Cina yang berupa piring, mangkuk, nampi serta tempat menyimpan bahan kosmetik atau ramuan obat-obatan. Tapi di samping barang keramik buatan Cina asli, juga terdapat barang keramik yang dibuat di luar wilayah Cina. Adapun keramik antik Cina itu sebagian terbuat dari celadon, bahan batu (stone ware). Ada yang diberi glasir dengan wama-wama hijau abu-abu, hijau kekuning-kuningan, coklat, kelabu. Keramik antik Cina yang tertua mungkin dari jaman dinasti Tang (Abad IX Masehi) atau dinasti Sung (Abad X - XII Masehi).
Keramik antik itu merupakan bekal kubur yang dapat dijadi-kan tanda tinggi rendah martabat seseorang. Makin banyak keramik antik yang dijadikan bekal kubur, makin terpandanglah ia sebagai orang yang tinggi derajatnya atau besar kekayaannya.[7]

Beberapa jenis bekal kubur itu berfungsi sebagai penunjang status simbol roh seseorang di Negeri Marapu, Parai Marapu. Karena roh seseorang akan memperoleh kedudukannya yang layak di Negeri Marapu, hanya jika :
1.      Sanak keluarganya melaksanakan secara cermat dan sempuma semua upacara-upacara yang telah digariskan dalam Adat Kematian dan Penguburan.
2.      Orang yang meninggal diberi bekal kubur jenis barang-barang tertentu dalarn jumlah sebanyak mungkin, sesuai dengan kedudukan sosialnya.
Adapun jenis hewan-hewan yang dijadikan kurban dalam rangkaian upacara-upacara kematian dan penguburan, ialah :
1.      Kuda
Hewan yang melambangkan ketaatan paling utama. Kuda tunggang pilihan disebut njara madewa. Artinya kuda sehidup semati. Yang ketaatannya tidak terbatas di dunia saja, bahkan juga di alam baka selalu taat menjadi kenaikan majikannya.
2.      Anjing
Melambangkan kewaspadaan. Sebagai penunjuk jalan, penjaga dan pemburu yang senantiasa mengikuti majikannya bila sedang bepergian atau berburu. Anjing kesayangan dinilai sebagai sahabat senasib sepenanggungari.
3.      Kerbau
Kerbau biasa, bukan kerbau jantan ukuran "raksasa". Kerbau biasa yang ikut dikorbankan itu di Sumba Barat sering disebut babi dede. babi yang ditinggikan. Boleh kerbau jantan boleh juga yang betina. Sejak saat kematian seseorang sampai menjelang upacara menutup batu kubur, selama kurang lebih satu minggu terus menerus disembelih kerbau-kerbau, tiap hari seekor kerbau.
Secara simbolis daging kerbau-kerbau korban itu dipersem-bahkan kepada roh orang yang meninggal, serta arwah leluhur dan sanak keluarga yang telah lama meninggal. Menurut kepercayaan, kerbau-kerbau korban itu menjadi bekal makanan roh orang yang meninggal dalam perjalanannya ke Parai Marapu. Dan kelak setibanya di Parai Marapu, diperguna-kan untuk menjamu arwah sanak keluarganya yang telah lebih dahulu rerada di Parai Marapu.
4.      Babi
Jenis hewan ini sama saja dengan kerbau-kerbau biasa yang dikorbankan. Akan tetapi nilainya lebih rendah dari pada kerbau. Meskipun demikian korban babi merupakan suatu keharusan dalam melengkapi hewan-hewan korban pada upacara kematian. Sebab tanpa disertai babi, sesajian hewan-hewan korban dianggap masih belum lengkap.
5.      Sapi
Jenis hewan ini dianggap paling rendah nilainya. Pada umumnya jarang sekali yang menyajikan korban hewan berupa sapi. Karena hanya orang-orang miskin sajalah yang menyembelih sapi sebagai hewan korban. Bagi orang yang sangat miskin cukup dengan menyajikan seekor anak. sapi saja. Sapi merupakan hewan yang hampir tidak mempunyai nilai rituil dan hanya dibenarkan untuk dijadikan hewan korban dalam segala upacara adat apabila dalam keadaan terpaksa sekali.
6.      Kambing
Jenis hewan ini nilainya lebih rendah dari pada babi. Pada umumnya sangat jarang dijadikan hewan korban. Hanya beberapa suku saja yang menilai kambing sama dengan babi sebagai hewan korban. Misalnya suku Gaura di Sumba Barat menganggap kambing sebagai jenis hewan korban yang hampir sehilai dengan anjing.
7.      Ayam jantan
Jenis hewan ini berfungsi sebagai isyarat kebangkitan roh. Kokok ayam jantan akan membangunkan roh orang yang meninggal pada waktunya, agar bersiap untuk menempuh perjalanan-nya ke alam mahluk halus, ke Parai Marapu. Oleh karena ayam jantan· itu baru disembelih di tepi kubur tatkala jenazah hendak dimasukkan ke dalam kuburannya. Di samping itu ayam jantan mempunyai makna magis, karena menurut kepercayaan bahwa bulu ayam jantan itu akan berfungsi sebagai payung roh seseorang dalam perjalanannya ke alam mahluk halus. Sehingga jenis hewan ini juga sering dijadikan bentuk nisan kubur, meski-pun sudah distilisasi. Berbeda dengan jenis hewan-hewan lain yang dipotong, disembelih dalam jumlah besar, maka ayam jago yang disembelih selama upacara-upacara kematian dan penguburan hanya satu ekor.[8]

Demikianlah catatan mengenai berbagai jenis hewan-hewan korban serta fungsinya dalam adat kematian dan penguburan. Di seluruh Sumba berlaku tiga tahap pelaksanaan upacara-upacara adat kematian dan penguburan. Namun antara satu suku dengan suku lainnya, daerah satu dengan daerah lainnya seringkali berbeda dalam tatacara dan variasinya.
1.      Sebelum penguburan
a.       Mensucikan, membungkus dan menghias jenazah
b.      Jenazah disemayamkan
2.      Pada waktu penguburan
a.       Di Sumba Barat
Di daerah Sumba Barat pada umumnya, masa penguburan primer tidak lama. Pada masa kini malah hanya berlangsung selama satu sampai beberapa minggu saja. Jenazah dibawa ke kompleks kuburan kabihunya yang terletak dalam pelataran kampung. Jenazah digotong dari tempat persemayamannya lalu dengan suatu perarakan (prosesi) yang megah. Jenazah setibanya di kompleks k:uburan langsung dimasukkan ke dalam liang kubur bersama dengan bekal kuburnya. Kuda kenaikannya Uara madewa) yang telah dihiasi dengan kalung kain merah dan diberi pelana kain yang bagus, ikut diarak dan diikatkan pada batu kubur (Dalam upacara penutupan batu kubur yang merupakan upacara terakhir yang menandai dilaksanakannya penguburan sekunder, seringkali kuda kenaikan itu dikorbankan). Setelah dimasukkan ke liang kubur, jenazah disiram air sejuk dan ditaburi abu dapur. Kemudian seekor ayam jantan berbulu coklat disembelih di dekat liang kubur. Menurut kepercayaan, ayam jantan itu pada saatnya kelak akan berkokok membangunkan roh untuk memulai perjalanannya ke Negeri Marapu, Parai Marapu. Jenazah lalu dise-limuti dengan sejumlah besar kain-kain tenun, yang paling atas ditaruh sesajian sirih-pinang, alat menumouk sirih-pinang dan beberapa tas tempat sirih-pinang (kaleko, kaleku). Pada langit-langit rumah-rumahan yang khusus didirikan di atas kubur selama masa penguburan primer, digantungi sejumlah kain-kain. Selama masa penguburan primer, jenazah ditunggui oleh segenap sanak kerabatnya secara bergiliran siang-malam.

b.      Di Sumba Timur
Sampai masa kini di Sumba Timur, penguburan primer masih dilaksanakan selama satu sampai sepuluh tahun. Jalannya upacara dalam garis besarnya tidak banyak berbeda dengan Sumba Barat. Perbedaan yang tampak jelas, ialah dalam teknis pelaksanaan serta tatacara, formalitas yang disesuaikan dengan adat setempat.
Selama penguburan primer, jenazah yang dimasukkan ke peti mati dan disimpan di dalam rumah adat atau rumah jenazah di pekarangan, senantiasa ditunggui oleh papangga. Apabila yang yang meningga_l seorang raja atau keluarga raja, jenazah di-tunggui oleh banyak papangga yang melakukan tugasnya secara bergiliran siang malam.
Kelak apabila hendak dilakukan penguburan sekunder, peti mati dibuka untuk diambil tulang-belulangnya. Dan dengan upa-cara kebesaran diarak untuk dikuburkan selamanya (penguburan sekunder). Tentu saja disertai dengan mempersembahkan sesajian dan sejumlah besar hewan-hewan korban, diiringi irama musik dan doa mantra para ratu.
3.      Sesudah  penguburan
Adapun upacara yang dilaksanakan sesudah dilakukan penguburan sekunder, ialah upacara menaikkan rah. Tepatnya, menaikkan salah satu unsur roh yang disebut samawo, sawo di Sumba Barat; hamangu, hamau di Sumba Bimur. Sedang unsur yang lain, yaitu ndewa atau dewa sudah dinaikkan pada waktu dilakukan upacara penutupan batu kubur.
Upacara menaikkan salah satu unsur roh itu di Sumba Timur disebut Padeta hamangu atau Padeta hamau. Di Sumba Barat disebut Padeta Samawo atau Padeta sawo. (Khusus di daerah Laoli dan Wanukaka, Sumba Barat disebut Padeta matawai yang bermakna : menaikkan roh ke sumbemya yang pokok). Upacara itu dilakukan pada hari ketiga setelah penguburan sekunder dilaksanakan. Dipimpin oleh rato, ratu. Tapi dapat juga oleh nenek atau paman si mati. Upacara dilakukan di kuburan, dengan sesajian sirih pinang dan hewan korban. Setelah upacara selesai, diambillah sebuah batu dari dekat kuburan sebagai simbol unsur rah yang bersangkutan. Batu itu kemudian ditaruh di atas loteng, yaitu tempat yang khusus disediakan untuk para marapu, arwah Ieluhur dan arwah sanak-keluarga yang telah meninggal (Uma Deta, Hindi Marapu). Upacara menaikkan unsur rah dilakukan secara sederhana dengan disaksikan oleh para rato, ratu dan sanak-keluarga yang terdekat, dan diakhiri dengan selamatan, makan bersama.[9]

Makna dan fungsi kubur
Bagi para penganut kepercayaan Marapu, kubur mempunyai makna dan fungsi :
1.      Sebagai pernyataan monumental, bahwa semua ritus, upacara religius yang diwajibkan telah dilaksanakan secara cermat dan sempurna sesuai dengan segala ketentuan Adat Kematian dan Penguburan yang berlaku dalam kabisu, kabihu serta suku masing-masing.
2.      Sebagai monumen magis yang memancarkan restu kepada sanak-keluarga masing-masing dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban hidup bermasyarakat dengan mengamalkan kebajikan-ke-bajikan sebagaimana yang telah dilakukan oleh para leluhur.
ltulah sebabnya kompleks kuburan didirikan di pelataran kampung, tak jauh dari perumahan segenap warga kabisu, kabihu masing-masing. Agar senantiasa terjalin semacam komunikasi magis antara yang sudah meninggal dan yang masih hidup. Serta agar masyarakat setempat senantiasa merawat kubur dengan baik-baik.
Namun ada juga kompleks kuburan yang terletak agak jauh di luar kampung, yaitu kuburan yang disediakan untuk :
1.      Orang-orang meninggal karena melakukan suatu tindak pidana, kejahatan besar atau perbuatan yang sangat nista.
2.      Para perajurit yang kalah dalam peperangan dan kepalanya telah hllang terkayau dibawa musuh.
3.      Untuk para raja dan sanak keluarganya yang terdekat (seperti yang terdapat di Kawangu, Sumba Timur).
Dengan catatan, bahwa meskipun ketiga kompleks kuburan itu letaknya di luar kampung, namun masing-masing kompleks tempatnya berbeda. Kompleks kuburan raja dan sanak keluarga-nya yang terdekat lokasinya di tempat yang paling rindang dan subur. Di sekitarnya didirikan perumahan untuk menyimpan alat-alat upacara kerajaan yang berupa alat senjata, alat musik. Dan untuk tempat tinggal para hamba yang bertugas menjaga kubur.[10]

Sikap jenazah
Sebagaimana sudah di singgung di muka, adat memberi ke-leluasaan dalam meletakkan sikap jenazah yang disesuaikan dengan tradisi setempat, atau pun tradisi suku masing-masing. Sebab hampir tiap suku di daerahnya masing-masing mempunyai tradisi sendiri dalam hal meletakkan sikap jenazah. Di Sumba oda dua macam sikap jenazah, yaitu :
1.      Sikap jongkok
Sikap jongkok dalam istilah bahasa Jerman disebut Hocker-stellung. Meletakkan jenazah dalam sikap jongkok sudah dikenal sejak jaman prubakala. Dan sudah menjadi tradisi di berbagai daerah se-Nusantara. Mulai dari Sulawesi Tengah ke kepulauan Maluku. Di hampir seluruh'wilayah Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur sampai Seran (Seram) Barat dan Tengah.
2.      Sikap terlentang
Dahulu di Sumba berlaku ketentuan adat, bahwa jenazah perajurit yang tewas dalam medan pertempuran, apabila hendak dikuburkan harus diletakkan dalam sikap terletang. Di beberapa daerah Sumba Barat - Sumba Timur sampai masa kini masih ada suku-suku yang hanya meletakkan jenazah dalam sikap terlentang, apabila orang yang ber-sangk.utan meninggal akibat kecelakaan dan mati dalam suatu perkelahian berdarah.[11]

Kubur batu berpola dolmen di Sumba terdiri atas beberapa tipe. Tipe kubur dolmen biasa berbentuk sebuah batu besar bulat atau persegi, persegi empat panjang yang ditaruh di atas tumpukan batu-batuan. Liang lahat dalam tanah digali melingkar atau trapesium yang diberi alas dan dinding-dinding papan batu (slab).
1.      Tipe kubur dolmen biasa
2.      Tipe kubur dolmen bertiang
Berbentuk meja persegi empat panjang. Tiang-tiang yang me-nyangga batu penutup kubur biasanya empat buah, tapi ada juga yang bertiang lima lebih. Tipe kubur dolmen bertiang yang berbentuk meja persegi empat panjang itu di Sumba sering disebut kubur meja. Atau kubur rumah , mungkin karena bentuknya mengingatkan pada bentuk rumah panggung persegi empat pan-jang, yang merupakan bentuk perumahan tradisionil.
Di Sumba Barat pada umumnya , tipe kubur itu diberi orna-men tatah dan relief pada ke empat sisi batu penutupnya. Kubur yang sesungguhnya terletak di dalam tanah dengan diberi batu penutup yang ukurannya relatif kecil atau samasekali tidak diberi batu penutup.
3.      Tipe kubur dolmen berdinding
Tipe kubur ini ada dua varias :
a.       Bertiang dengan batu-batu papak sebagai dinding yang menutup seluruh ruang bawah
b.      Tanpa tiang. Batu penutup ditopang oleh batu-batu papak se-bagai dinding. Jenazah atau tulang belulangnya berada tepat di bawah batu penutup. Sebagian dalam tanah, sebagian di atas tanah , atau se-luruhnya terletak di atas tanah .
4.      Tipe kubur dolmen berundak
Di atas batu penutup diberi lapisan batu penutup lagi y ang ukurannya tidak sepanjang batu penutup pokok . Makin tinggi undakannya, makin banyak lapisan batu penutup hingga menyerupai piramida. Lapisan batu penutup tambahan ada yang dijadikan nisan. Tipe kubur ini kadangkala batu penutup pokok diberi tiang untuk mengubur satu sampai dua jenazah. Sedang di bawah batu penutup pokok , yaitu di tanah juga dijadikan kubur untuk beberapa jenazah . Tipe kubur ini ada yang bertiang enam buah.[12]

Ruang, kamar kubur ada dua macam:
1.      Ruang, kamar tunggal
Yang memuat dua jenazah orang tua dan beberapa jenazah anak-anak. Disediakan untuk mengubur jenazah sepasang suami-isteri dan putra-putrinya yang masih kanak-kanak.
2.      Ruang, kamar ganda
Terdiri atas dua ruang kamar besar. Ruang pertama untuk mengubur jenazah. Jenazah sepasang suami-isteri dan putra-putrinya yang sudah remaja atau menjelang dewasa, tetapi belum menikah.

Kubur "modern"
Dalam perkembangan mutakhir ada kecenderungan di ka-langan para bangsawan (maramba) untuk mendirikan kubur yang disesuaikan dengan selera modem. Yaitu pada bentuknya yang distilisasi dan dengan mempergunakan bahan-bahan bangunan masa kini berupa semen. Di Sumba Barat, bangunan kubur "mo-dern" masih tetap berupa tipe kubur dolmen berdinding. Adapun dindingnya tetap berbentuk trapesium . Dan tetap memperguna-kan bahan dasar rerupa batu alam ukuran besar yang kemudian diberi berlapis semen. D1 Sumba Timur, bangunan kubur "mo-dern" ·merupakan stilisasi bentuk rumah beratap joglo atau atap biasa. Tapi, ada juga kubur-kubur para raja Sumba Timur yang didirikan pada masa kini, namun tetap mempertahankan keaslian pola dolmen dengan hanya mempergunakan lapisan semen untuk membuat rata bagian batm penutup dan tiang-tiangnya.[13]

NISAN
Di Sumba,  nisan  merupakan  simbol, yang melambangkan
1.      Arwah leluhur;
2.      Status sosial leluhur;
3.      Tradisi leluhur.
Ketiga macam lambang itu ada yang sekaligus terungkap dalam sebuah nisan. Tapi· ada ,pula yang hanya mengungkapkan qua macam lambang. Bahkan banyak pula yang mengungk.ap-kan hanya salah satu macam lambang saja.
Ada yang bentuknya mengingatkan kepada bentuk menhir. Dan memang sebenarnya nisan yang melambangkan arwah leluhur, status sosial dan tradisi leluhur itu mempunyai fungsi magis religius. Agar para ahli warisnya senantiasa memuliakan para leluhur, melanjutkan kebajikan dan kedudukan leluhur dalam masya-rakat serta melestarikan tradisi leluhur.
Bentuk nisan dibuat dalam berbagai variasi. Ada yang menyerupai menhir. Ada yang kaya dengan ornamen dan relief. Ada yang berupa patung. Ada pula yang hanya berupa relief. Cara  meletakkan  nisan  juga  ada beberapa  macam,  yaitu:
1.      Didirikan terpisah dari bangunan kubur. Ada yang didirikan hanya di bagian depan bangunan kubur. Ada pula yang didiri-kan pada bagi.an depan dan bagian belakang penutup kubur.
2.      Ada yang didirikan vertikal di atas batu penutup kubur.
3.      Hanya merupakan relief pada bagian depan dan belakang batu penutup kubur.
4.      Merupakan relief yang diberi tambahan area pada bagian depan atau belakang batu penutup kubur.

Nisan (termasuk nisan yang didirikan terpisah dari bangunan kubur) dalam berbagai variasi itu merupakan bagian integral sesuatu kubur. Yang mempunyai fungsi umum untuk lebih menyatakan bangunan kubur sebagai suatu monumen religius.[14]



KESIMPULAN

Kepercayaan Marapu merupakan kepercayaan yang bersumber pada zaman megalitik. Inti kepercayaan yang berkembang pada masyarakat megalitik adalah roh nenek moyang setelah mati tidak akan pergi selamahnya, namun hanya berpindah tempat dari kehidupan nyatake kehidupan alam akhirat, karena itulah upacara penguburan nenek moyang menurut mereka menjadi awal lahirnya kembali nenek moyang mereka pada alam lain.
Konsep pemujaan roh nenek moyang dan para leluhur didasari dengan penghormatan yang tinggi kepada para arwah leluhur. Hal ini tidak lepas dari ilmu pengetahuan dan keahlian yang telah mereka peroleh dari leluhur serta peninggalan yang telah diwariskan pada anak keturunan mereka.
Adapun benda-benda yang dijadikan bekal kubur,  ialah:
1.      Bahan busana
2.      Alat  perhiasan
3.      Alat senjata
4.      Rarang anyaman
5.      Mata uang
6.      Alat music
7.      Barang tanah liat
8.      Barang keramik dari luar negeri
Adapun jenis hewan-hewan yang dijadikan kurban dalam rangkaian upacara-upacara kematian dan penguburan, ialah :
1.      Kuda
2.      Anjing
3.      Kerbau
4.      Babi
5.      Sapi
6.      Kambing
7.      Ayam jantan


DAFTAR PUSTAKA

Randa Djawa, Ambrosius. Suprijono, Agus. 2014. Jurnal Ritual Marapu di Masyarakat Sumba Timur Vol. 2, No. 1, Maret. Pend. Sejarah, Fakultas ilmu Sosial:  Univ. Negeri Surabaya
Rosidin. 2016. Jurnal Problem Pelayanan Kependudukan Bagi Penganut Agama Marapu Di Sumba, Nusa Tenggara Timur Vol. 29 No. 3 Oktober-Desember. Balai Penelitian dan Pengembangan Agama: Semarang.
Soeriadiredja. 2002. MARAPU: AGAMA ASLI ORANG UMALULU di SUMBA TIMUR (Denpasar: LABANT – FS UNUD.
Soelarto, B. t.thn. Budaya Sumba Jilid 2. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta


[1] Umbu Hina Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, (BPK Gunung Mulia,Jakarta, 1976) hlm. 14 dirujuk pada Jurnal Ritual Marapu di Masyarakat Sumba Timur Vol. 2, No. 1, Maret
[2] Umbu Hina Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, (BPK Gunung Mulia,Jakarta, 1976) hlm. 16 dirujuk pada Jurnal Ritual Marapu di Masyarakat Sumba Timur Vol. 2, No. 1, Maret
[3] Ambrosius Randa Djawa, Agus Suprijono, Jurnal Ritual Marapu di Masyarakat Sumba Timur Vol. 2, No. 1, Maret (Pend. Sejarah,Fakultas ilmu Sosial:  Univ. Negeri Surabaya, 2014)

[4] Rosidin, Jurnal Problem Pelayanan Kependudukan Bagi Penganut Agama Marapu Di Sumba, Nusa Tenggara Timur Vol. 29 No. 3 Oktober-Desember (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama: Semarang, 2016)
[5] Soeriadiredja, MARAPU : AGAMA ASLI ORANG UMALULU di SUMBA TIMUR (Denpasar: LABANT – FS UNUD, 2002) dilihat pada https://id.wikipedia.org/wiki/Marapu#cite_note-soer1-1
[6] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid 2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 9-15
[7] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid 2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 15-19
[8] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid 2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 19-32
[9] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid 2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 33-49
[10] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid 2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 50-51
[11] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid 2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 51-52
[12] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid 2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 53-61
[13] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid 2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm 62
[14] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid 2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 72

No comments:

Post a Comment

Sorga atau neraka

 Sorga itu sudah ada di dunia Hanya sedikit yang mau Banyak manusia lebih memilih dunia Jika dalam gembira kau gelisah Jika dalam susah kau ...