KEPERCAYAAN
MARAPU DI SUMBA
Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah
Agama-Agama Lokal
DI
SUSUN OLEH:
M U R N I A T I
NIM: 1653100027
Dosen
Pengampuh: Aristophan Firdaus, M.S.I
STUDI
AGAMA AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN
RADEN FATAH PALEMBANG
2018
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga terwujud makalah Agama-agama
Lokal yang berjudul Kepercayaan Marapu di
Sumba. Terima kasih kepada Dosen
Pengampu yang telah membimbing kami dalam proses pemahaman mata kuliah ini.
Makalah ini kami susun berdasarkan
untuk memenuhi tugas perkuliahan Agama-agama Lokal. Semoga dengan mempelajari
Agama Lokal menambah keimanan kita terhadap Agama Islam dan menjadi generasi
yang berakhlakul karimah, cinta bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Aamiin.
Palembang, Oktober 2018
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ................................................................................................. i
DAFTAR
ISI ................................................................................................................. ii
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah ............................................................................................... 1
PEMBAHASAN
A. Asal-usul
Agama Marapu ................................................................................... 2
B. Respon Negara Terhadap Problem Pelayanan .................................................... 3
C. Pemuka
Agama Marapu ...................................................................................... 6
D. Upacara
Adat Agama Marapu ............................................................................ 6
PENUTUP
Kesimpulan
............................................................................................................... 18
DAFTAR
PUSTAKA .................................................................................................. 19
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Apa yang dimaksud dengan “agama asli” orang Umalulu itu
ialah suatu agama yang berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah leluhur. Dalam
bahasa Sumba Timur arwah-arwah leluhur disebut Marapu yang berarti “yang
dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Oleh karena itu, agama yang mereka anut
disebut Marapu pula.
Bagi orang Umalulu, agama Marapu menjadi penanda identitas
yang penting. Identifikasi keagamaan ini merupakan sebuah konstruksi yang
menekankan pada perbedaan bahwa “inilah agama kita”, walaupun tidak pula mengabaikan
keberadaan komunitas lain yang berbeda agama. Mungkin mereka tidak menyadari
bahwa identitas budaya ke Marapuannya diberi label oleh “orang lain”, namun
mereka secara aktif melabelkan diri mereka sendiri dengan melakukan berbagai kegiatan keagamaannya.
B.
Rumusan
Masalah
E. Apa
asal-usul Agama Marapu?
F.
Bagaimana Respon Negara Terhadap Problem Pelayanan?
G.
Siapa Pemuka
Agama Marapu?
H.
Bagaimana Upacara
Adat Agama Marapu?
PEMBAHASAN
A.
Asal
Usul Agama Marapu
Agama Marapu adalah
"agama asli" yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba di Pulau
Sumba, Nusa Tenggara Timur. Adapun yang dimaksud dengan Kepercayaan Marapu
ialah sistem keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan terhadap arwah –arwah
leluhur. Premis dasar dari setiap pemujaan adalah kepercayaan akan adanya jiwa,
sesuatu yang bersifat supernatural, dan kekuatan supranatural. Dalam artinya
pemujaan didalam religi tersebut mempunyai mekanisme yang berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari dan kekuatan alam lain.
Kepercayaan Marapu
merupakan kepercayaan yang bersumber pada zaman megalitik. Inti kepercayaan
yang berkembang pada masyarakat megalitik adalah roh nenek moyang setelah mati
tidak akan pergi selamahnya, namun hanya berpindah tempat dari kehidupan
nyatake kehidupan alam akhirat, karena itulah upacara penguburan nenek moyang
menurut mereka menjadi awal lahirnya kembali nenek moyang mereka pada alam
lain. Konsep pemujaan roh nenek moyang dan para leluhur didasari dengan
penghormatan yang tinggi kepada para arwah leluhur. Hal ini tidak lepas dari ilmu
pengetahuan dan keahlian yang telah mereka peroleh dari leluhur serta
peninggalan yang telah diwariskan pada anak keturunan mereka.
Hal yang paling
mencolok pada pemujaan nenek moyang adalah pada waktu upacara pemujaan dan
upacara penguburan. Para leluhur yang datang pertama ke pulau Sumba sangat di
hormati oleh para keturunannya hingga kini. Penghormatan terhadap arwah leluhur
inilah yang kemudian melahirkan agama lokal yang di sebut kepercayaan Marapu.
Kepercayaan Marapu mengkultuskan arwah nenek moyang (leluhur) sebagai perantara
untuk memuja Yang Maha Pencipta atau Ilahi Tertinggi.[1]
Selain merunjuk kepada sebuah sistem religi tertentu yang di anut oleh
masyarakat Sumba, istilah Marapu juga menunjuk kepada makna lain yang lebih
sempit sifatnya, yaitu arwah nenek moyang.
Dalam kosmologi
masyarakat Sumba, alam semesta terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan atas
(langit), lapisan tengah (bumi), dan lapisan bawah (di bawah bumi). Sebagai
penguasa tertinggi, Anatala yang di sebut juga Hupu Ima-Hupu Ama (ibu dan bapa
segalah sesuatu) tingal di langit. Dalam konsepi masyarakat Sumba, langit
terdiri dari delapan petala (lapis yang berbentuk kerucut, bagian paling atas
memiliki daratan paling sempit, sementara bagian paling bawah memiliki daratan
paling luas. Pada lapis pertama yang di sebut Awangu Walu Ndani (lapis langit
kedelapan) itu Hupu Ina-Hupu Ama tingal bersama para Marapu.
Dari konsepsi
masyarakat Sumba ini dapat di gambarkan bahwa eksistensi Tuhan sangat di
bedakan dengan manusia, baik karena sifatnya yang adikodrati maupun tempatnya
yang jauh di atas sana. Semula, ketika para Marapu belum turun ke bumi,
hubungan antara manusia dengan Ilah tertinggi dapat terjalin secara langsung.
Namun, ketika mereka memutuskan untuk tinggal di bumi, maka relasiantara Tuhan
dan manusia kemudian terputus. Jalinan komunikasi dengan Tuhan hanya dapat
terjadi dengan perantara arwah nenek moyang, yaitu para Marapu. Melalui Marapu,
manusia dapat memohon pertolongan untuk di sampaikan kepada Hulu Ina-Hupu Ama,
dan melalui Marapu pula Hupu Ina-Hupu Ama mengirimkan pesan atau jawaban atas
permohonan tersebut.[2]
Keberadaan Marapu dapat
dikatakan telah menganti peran Tuhan (Hupu Ina-Hupu Ama) dalam kehidupan
masyarakat Sumba. Pemahaman bahwa Tuhan terletak jauh di atas sana membuat
posisi Marapu menjadi penting. Marapu penting karena dapat menjadi penghubung
antara manusia dengan Tuhan. Selain itu, ia telah mewakili Tuhan dengan
tugas-tugas menolong atau menghukum manusia. Jika Marapu di puja, maka ia akan
memberikan pertolongan, perlindungan, dan keselamatan. Begitu juga sebaliknya,
jika ia tidak di sembah akan menimbulkan malapetaka.
Disamping percaya
terhadap roh para leluhur, masyarakat Sumba juga meyakini adanya roh-roh halus
yang dapat menolong atau mencelakakan kehidupan manusia. Kepercayaan terhadap
roh merupakan kebutuhan untuk menangkal kejahatan, musibah, atau untuk menjamin
keselamatan. Orang Sumba percaya dengan memberikan sesaji kepada roh halus yang
berada dekat dengan masyarakat, maka roh halus tersebut akan melihat dan
menjaga mayarakat dari hal – hal yang buruk.[3]
Pelayanan negara dalam kehidupan masyarakat dapat digambarkan pada
kelancaran pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Perkawinan, Akte
Kelahiran, hak-hak pendidikan, pendirian rumah ibadah, dan fasilitas/bantuan
pemerintah sebagai berikut:
1.
Kartu Tanda Penduduk dan Akte Kelahiran
Kartu Tanda
Penduduk (KTP) merupakan tanda identitas yang harus dimiliki oleh warga negara
termasuk warga Marapu. Namun, tidak semua kehendak warga Marapu diakomodasi
dalam perjalanannya. Sebagai contoh, masyarakat Sumba yang menganut kepercayaan
Marapu tidak dicantumkan agama Marapu, tetapi banyak yang tertera agama
tertentu. Padahal tidak ditanya terlebih dahulu juga tidak pernah meminta atau
pun mengisi data dan langsung saja ditulis agama tertentu.
Pada masa
sekarang, di Sumba Barat, pendaftaran dan pengisian formulir KTP sudah ada poin
lain-lain dalam kolom agama. Dalam keterangan poin lain-lain tercantum
kepercayaan Marapu. Hal ini menandakan, bahwa ada upaya pemerintah Kabupaten
Sumba Barat untuk mewadahi warga masyarakat yang menganut kepercayaan Marapu
untuk memilih sesuai agama dan kepercayaan yang dianut. Namun demikian,
Elektronik KTP (e-KTP) merupakan program pemerintah pusat dan kepercayaan
Marapu belum tersedia dalam aplikasi, sehingga dalam KTP belum tercantum agama
Marapu, seperti yang diharapkan masyarakat.
Dalam pelayanan
akta kelahiran, semua dilayani sesuai regulasi yang ada. Persyaratan pembuatan
akte kelahiran yang sering dikeluhkan penganut Marapu adalah akte perkawinan
yang tidak dimiliki oleh penganut Marapu. Ini dikarenakan pelaksanaan
perkawinan dilakukan secara adat dan tidak diberitaacarakan oleh komunitas
tersebut. Hal ini tidak berarti, pelayanan akte kelahiran diabaikan. Regulasi
yang ada, bahwa pengajuan akte kelahiran yang tidak menunjukkan akta
perkawinan, maka anak yang didaftarkan diakui sebagai anak ibu tidak
dicantumkan nama ayah (Yermia Ndappa, Kepala Dinas Dukcapil, 28 Oktober
2015).
2.
Akte Perkawinan
Pencatatan
peristiwa perkawinan, baik di KUA maupun Catatan Sipil bagi masyarakat Sumba
umumnya adalah nomor dua (Fuad, KUA Kecamatan Kodi, 3 November 2015). Artinya,
tidak begitu perlu proses perkawinan dicatat oleh negara asal sesuai adat sudah
dipenuhi itulah perkawinan sesungguhnya. Perkawinan menurut masyarakat Sumba
pada umumnya mempunyai beberapa tujuan, di antaranya; untuk memenuhi perintah
nenek moyang (Marapu), untuk memelihara persekutuan keluarga, maka perkawinan
yang ideal adalah laki-laki mengawini anak perempuan saudara laki-laki ibunya
(ana tuya) atau anak saudara pamannya, untuk memelihara derajat, untuk
memelihara dan memperluas pengaruh dan kekuasaan dalam
masyarakat dan memperoleh tenaga penolong.
Dalam perkawinan
adat tidak ada berita acara, karena Marapu di Sumba pada umumnya sampai
sekarang belum ada lembaganya. Tidak heran, ketika ada aturan dan persyaratan
melampirkan akta perkawinan saat mengurus akta kelahiran anak, warga Marapu
merasa ada paksaan dan tekanan. Sebagai solusi permasalahan tersebut pemerintah
sudah menerapkan pelayanan sesuai regulasi administrasi kependudukan.
3.
Pendirian Rumah Ibadah
Pendirian rumah
ibadah mengacu Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 terkait tugas dan tanggung
jawab kepala daerah dalam pendirian rumah ibadah. Komposisi pemeluk agama di
Sumba pada umumnya, yaitu beragama Kristen, Katholik, Islam, Kepercayaan,
Hindu, dan Budha. Meskipun Kristen mayoritas, mereka kesulitan untuk menerapkan
PBM tersebut, terutama terkait aturan jumlah 90 orang pengguna dan 60 dukungan
warga sekitar. Ini dikarenakan letak rumah yang berjauhan, sehingga untuk
tercapai jumlah tersebut tidak akan mudah memenuhinya. Tidak jarang ada gereja
yang berdiri, namun pengguna berjauhan tempat tinggalnya (Diskusi Hau
Tumanggara, 26 Oktober 2015). Dengan demikian, secara tegas meminta pasal
terkait jumlah pengguna dan pendukung warga sekitar rumah ibadah ditinjau
kembali.
4.
Hak-Hak Pendidkan
Dalam pendidikan
di sekolah, anak Merapu
mengikuti pelajaran agama yang diadakan sesuai guru sekolahnya,
baik Kristen atau Katholik. Tidak ada pilihan lain, asal anak-anak bisa
mendapat pendidikan agama, meskipun tidak sesuai dengan yang diharapkan, dengan
alasan kekurangan tenaga pengajar. Dalam kenyataannya, banyak guru agama yang
hanya lulusan SMA. Mereka yang baru selesai studi diminta untuk mengajar di
sekolah (Wawancara Rato Rumata Lado Regi Tera, 25 Oktober 2015). Hal ini
dibenarkan oleh Kepala Bimas Katholik, Tarsisius Sili Toda, bahwa kekurangan
tenaga pengajar hampir terjadi di pulau Sumba pada umumnya, sehingga ketika ada
lulusan SMA yang baru selesai, mereka diminta masyarakat atau lembaga untuk
menjadi guru di suatu sekolah.
5.
Bantuan Pemerintah
Agama lokal Marapu merupakan aset tak ternilai yang di miliki
bangsa Indonesia, khususnya Kabupaten Sumba Barat. Dalam perjalanan sejarah,
penganut Marapu semakin berkurang, karena: Pertama, faktor internal, yakni
karena proses regenerasi yang tidak berjalan. Anak-anak muda tidak terlalu
tertarik pada ajaran leluhur mereka, karena interaksi dengan dunia luar. Mereka
tidak percaya diri ketika ditanyakan apa agama yang dianut oleh para generasi
muda. Mereka lebih nyaman mengikuti agama yang dipelajari di sekolah, sehingga
mengikiskan jumlah penganut Marapu yang ada. Kedua, faktor eksternal, yakni
adanya pekabaran injil atau dakwah dari agama lain, sehingga pemeluk Marapu
mengikuti dan mengurangi jumlah penganut dari waktu ke waktu.
Marapu dianggap belum beragama, sehingga mereka berpendapat sah-sah
saja mengajak mereka untuk menjadi simpatisan sebelum pada akhirnya siap untuk
memeluk agama. Dari sektor budaya dan pariwisata, pemerintah Kabupaten Sumba
Barat tidak membiarkan tradisi ini hilang begitu saja. Ada bantuan perbaikan rumah
adat sesuai persyaratan yang ditentukan melalui sektor budaya pariwisata,
himbauan menghormati bulan pamali penganut Marapu, bahkan meliburkan sekolah
pada saat upacara puncak Wulla Poddu sekitar Oktober-November dan melestarikan
adat Pasola pada bulan Februari di Kecamatan Lamboya, bulan Maret di Kecamatan
Wanukaka, dan Kecamatan Laboya Barat/Gaura (Anisah 2013, 87). Hal ini juga
disampaikan pimpinan adat Marapu Louli Rato Rumata Lado Regi Tera (Wawancara,
25 Oktober 2015).[4]
C.
Pemuka
Agama
Untuk mengadakan
hubungan dengan para arwah leluhur dan arwah-arwah lainnya, orang Sumba
melakukan berbagai upacara keagamaan yang dipimpin oleh ratu (pendeta).
Penetapan waktu upacara didasarkan pada suatu kalender adat yang disebut Tanda
Wulangu. Kalender adat itu tidak boleh diubah atau ditiadakan karena telah
ditetapkan berdasarkan nuku-hara (hukum dan tata cara) dari para leluhur. Bila
diubah dianggap akan menimbulkan kemarahan para leluhur dan akan berakibat
buruk pada kehidupan manusia.
Masyarakat Umalulu di
Sumba Timur juga percaya tentang adanya suatu kekuatan sakti dalam alam yang
dapat menyusahkan hidup manusia, tetapi dapat digunakan bila dikendalikan
dengan ilmu gaib. Caranya dengan mempelajari mantra-mantra tertentu, para tau
mapingu puhi atau na mapingu muru (dukun) dapat diminta bantuannya untuk
mendatangkan hujan atau menyembuhkan penyakit.[5]
Pelaksanaan upacara-upacara kematian dan penguburan di
berbagai daerah juga berbeda dalam variasi. Demikian juga mengenai masa
berkabung serta pantangan-pantangan yang wajib dipatuhi oleh sanak keluarga
yang terdekat selama masa berkabung. Bahkan dalam menilai kematian yang tidak
wajar sebagai akibat sesuatu kecelakaan, antara Sumba Barat dan Sumba Timur,
juga berbeda. Di Sumba Barat, seseorang yang
meninggal akibat sesuatu kecelakaan tidak boleh dikubur dengan upacara
kebesaran melainkan dengan upacara yang sederhana saja. Akan tetapi di Sumba
Timur, seseorang yang meninggal akibat sesuatu kecelakaan berhak dikubur dengan
upacara kebesaran seperti halnya seseorang yang meninggal secara wajar.
Namun ada ketentuan-ketentuan dalam Adat Kematian dan
Penguburan yang dipatuhi oleh segenap suku bangsa Sumba penganut kepercayaan
Marapu di seluruh daerah Sumba Barat dan Sumba Timur, yaitu ketentuan-ketentuan
yang menetapkan bahwa :
1.
Dalam bulan Muharam tidak diperkenankan
melaksanakan upacara-upacara kematian dan penguburan. (Bulan Muharam di Sumba
Barat pada umumnya dikenal dengan sebutan Wula Podu yang berarti Bulan Pahit).
Apabila dalam bulan Mu-haram ada seseorang yang meninggal maka jenazahnya
dimasukkan ke dalam peti mati dan disimpan di dalam tanah di bawah kolong
rumah. Apabila bulan Muharam telah lewat barulah peti mati diambil dan jenazah
memperoleh upacara-upacara kematian dan penguburan sebagaimana layaknya.
2.
Seseorang yang meninggal karena melakukan sesuatu kejahatan
besar atau pun karena melakukan sesuatu tindakan yang sangat tercela (Misalnya:
mati terbunuh ketika melakukan perampokan, perkosaan atau melakukan perzinahan),
harus dikuburkan di luar perkampungan dalam suatu kompleks kuburan yang khusus
disediakan bagi para penjahaL. dan orang-orang yang terkutuk.
3.
Jenazah harus diletakkan dalam salah satu sikap. Yaitu sikap
terlentang atau sikap jongkok. Meletakkan jenazah dalam sikap jongkok
dimaksudkan agar kekuatan jahat atau pun kekuatan hitam (black magic) yang
mungkin dimiliki seseorang, pada waktu ia meninggal jangan sampai melepaskan
diri dari jasad si mati dan menimpa orang-orang di sekitarnya yang pasti akan ber-akibat
sangat buruk pada orang-orang terkena kekuatan jahat atau pun kekuatan hitam
itu. Oleh karenanya sampai masa kini banyak suku-suku di daerah-daerah Sumba
Barat dan Sumba Timur yang masih lebih menyukai meletakkan jenazah anggota
keluarganya yang meninggal dalam sikap duduk.[6]
Adat memberikan kebebasan kepada setiap suku, setiap clan
dalam menentukan benda-benda apa yang dinilai sebagai bekal kubur yang
berharga. Adapun benda-benda yang
dijadikan bekal kubur, ialah:
1.
Bahan busana
Terdiri
dari kain, sarung, ikat kepala atau tudung kepala. Kain dan sarung tenun
(Hinggi-Lau) yang dipilih sebagai pembungkus dasar jenazah ialah yang bermotif
ular atau bermotif udang. Jumlah kain, sarung tenun yang dijadikan bekal kubur
menandai status sosial dan kaya miskinnya seseorang.
2.
Alat
perhiasan
Di seluruh
Sumba, mamuli merupakan alat perhiasan yang menjadi salah satu bekal kubur yang
utama. Kemudian kalung manik-manik (kanatar atau kenatar), kalung rantai dari
logam atau yang berlapis mas (luluamahu). Gelang manik-manik atau gelang perak.
Di daerah Sumba Barat berupa gelang gading.
Maraga
atau marangga, wula dan laba merupakan alat perhiasan tradisionil khas Sumba
Barat yang seringkali dijadikan bekal kubur yang berharga sekali.
3.
Alat senjata
Kelewang atau parang. Kadangkala juga ujung tombak. Bagi
seorang wanita, alat senjata itu digantikan dengan sebilah pisau.
4.
Rarang anyaman
Berupa tas
atau tempat sirih pinang tradisionil yang di Sumba Barat disebut kaleko atau
kaleku. Di Sumba Timur di-sebut kalumbutu.
5.
Mata uang
Berupa
mata uang Cina yang terbuat dari lempengan mas. Mata uang mas lnggris (pound)
yang di Sumba populer dengan nama paun. Serta mata uang mas Belanda.
6.
Alat music
Berupa gong
perunggu atau gong yang
diberi lapisan mas.
7.
Barang tanah liat
Terdiri
dari periuk, tempayan dan belanga. Dahulu, tatkala adat penguburan dalam
periuk, tempayan (um burial) masih dilakukan, barang-barang tanah liat itu
merupakan alat penguburan (sekunder) yang paling utama. Dan sampai masa kini,
barang-barang tanah liat itu masih tetap merupakan bekal kubur yang penting
sekali.
8.
Barang keramik dari luar negeri
Terutama
sekali barang keramik buatan Cina yang berupa piring, mangkuk, nampi serta
tempat menyimpan bahan kosmetik atau ramuan obat-obatan. Tapi di samping barang
keramik buatan Cina asli, juga terdapat barang keramik yang dibuat di luar
wilayah Cina. Adapun keramik antik Cina itu sebagian terbuat dari celadon,
bahan batu (stone ware). Ada yang diberi glasir dengan wama-wama hijau abu-abu,
hijau kekuning-kuningan, coklat, kelabu. Keramik antik Cina yang tertua mungkin
dari jaman dinasti Tang (Abad IX Masehi) atau dinasti Sung (Abad X - XII
Masehi).
Keramik
antik itu merupakan bekal kubur yang dapat dijadi-kan tanda tinggi rendah
martabat seseorang. Makin banyak keramik antik yang dijadikan bekal kubur,
makin terpandanglah ia sebagai orang yang tinggi derajatnya atau besar
kekayaannya.[7]
Beberapa jenis bekal kubur itu berfungsi sebagai penunjang
status simbol roh seseorang di Negeri Marapu, Parai Marapu. Karena roh
seseorang akan memperoleh kedudukannya yang layak di Negeri Marapu, hanya jika
:
1.
Sanak keluarganya melaksanakan secara cermat dan sempuma
semua upacara-upacara yang telah digariskan dalam Adat Kematian dan Penguburan.
2.
Orang yang meninggal diberi bekal kubur jenis barang-barang
tertentu dalarn jumlah sebanyak mungkin, sesuai dengan kedudukan sosialnya.
Adapun jenis hewan-hewan yang dijadikan kurban dalam rangkaian upacara-upacara kematian dan penguburan,
ialah :
1.
Kuda
Hewan yang
melambangkan ketaatan paling utama. Kuda tunggang pilihan disebut njara
madewa. Artinya
kuda sehidup semati. Yang ketaatannya tidak terbatas di dunia saja, bahkan juga
di alam baka selalu taat menjadi kenaikan majikannya.
2.
Anjing
Melambangkan
kewaspadaan. Sebagai penunjuk jalan, penjaga dan pemburu yang senantiasa
mengikuti majikannya bila sedang bepergian atau berburu. Anjing kesayangan
dinilai sebagai sahabat senasib sepenanggungari.
3.
Kerbau
Kerbau
biasa, bukan kerbau jantan ukuran "raksasa". Kerbau biasa yang ikut
dikorbankan itu di Sumba Barat sering disebut babi dede. babi yang ditinggikan. Boleh kerbau jantan boleh juga yang betina. Sejak saat kematian
seseorang sampai menjelang upacara menutup batu kubur, selama kurang lebih satu
minggu terus menerus disembelih kerbau-kerbau, tiap hari seekor kerbau.
Secara
simbolis daging kerbau-kerbau korban itu dipersem-bahkan kepada roh orang yang
meninggal, serta arwah leluhur dan sanak keluarga yang telah lama meninggal. Menurut kepercayaan, kerbau-kerbau korban itu menjadi bekal makanan
roh orang yang meninggal dalam perjalanannya ke Parai Marapu. Dan kelak
setibanya di Parai Marapu, diperguna-kan untuk menjamu arwah sanak keluarganya
yang telah lebih dahulu rerada di Parai Marapu.
4.
Babi
Jenis hewan ini sama saja dengan
kerbau-kerbau biasa yang dikorbankan. Akan tetapi nilainya
lebih rendah dari pada kerbau. Meskipun demikian korban babi merupakan suatu
keharusan dalam melengkapi hewan-hewan korban pada upacara kematian. Sebab
tanpa disertai babi, sesajian hewan-hewan korban dianggap masih belum lengkap.
5.
Sapi
Jenis
hewan ini dianggap paling rendah nilainya. Pada umumnya jarang sekali yang
menyajikan korban hewan berupa sapi. Karena hanya orang-orang miskin sajalah
yang menyembelih sapi sebagai hewan korban. Bagi orang yang sangat miskin cukup
dengan menyajikan seekor anak. sapi saja. Sapi merupakan hewan yang hampir
tidak mempunyai nilai rituil dan hanya dibenarkan untuk dijadikan hewan korban
dalam segala upacara adat apabila dalam keadaan terpaksa sekali.
6.
Kambing
Jenis
hewan ini nilainya lebih rendah dari pada babi. Pada umumnya sangat jarang
dijadikan hewan korban. Hanya beberapa suku saja yang menilai kambing sama
dengan babi sebagai hewan korban. Misalnya suku Gaura di Sumba Barat menganggap
kambing sebagai jenis hewan korban yang hampir sehilai dengan anjing.
7.
Ayam jantan
Jenis
hewan ini berfungsi sebagai isyarat kebangkitan roh. Kokok ayam jantan akan
membangunkan roh orang yang meninggal pada waktunya, agar bersiap untuk
menempuh perjalanan-nya ke alam mahluk halus, ke Parai Marapu. Oleh karena ayam
jantan· itu baru disembelih di tepi kubur tatkala jenazah hendak dimasukkan ke
dalam kuburannya. Di samping itu ayam jantan mempunyai makna magis, karena
menurut kepercayaan bahwa bulu ayam jantan itu akan berfungsi sebagai payung
roh seseorang dalam perjalanannya ke alam mahluk halus. Sehingga jenis hewan
ini juga sering dijadikan bentuk nisan kubur, meski-pun sudah distilisasi.
Berbeda dengan jenis hewan-hewan lain yang dipotong, disembelih dalam jumlah
besar, maka ayam jago yang disembelih selama upacara-upacara kematian dan
penguburan hanya satu ekor.[8]
Demikianlah catatan mengenai berbagai jenis hewan-hewan
korban serta fungsinya dalam adat kematian dan penguburan.
Di seluruh Sumba berlaku tiga tahap pelaksanaan upacara-upacara adat kematian
dan penguburan. Namun antara satu suku dengan suku lainnya, daerah satu dengan
daerah lainnya seringkali berbeda dalam tatacara dan variasinya.
1.
Sebelum penguburan
a. Mensucikan, membungkus dan menghias
jenazah
2. Pada waktu penguburan
a.
Di Sumba Barat
Di daerah Sumba Barat pada umumnya,
masa penguburan primer tidak lama. Pada masa kini
malah hanya berlangsung selama satu sampai beberapa minggu saja. Jenazah dibawa
ke kompleks kuburan kabihunya yang terletak dalam pelataran kampung. Jenazah
digotong dari tempat persemayamannya lalu dengan suatu perarakan (prosesi) yang
megah. Jenazah setibanya di kompleks k:uburan langsung dimasukkan ke dalam
liang kubur bersama dengan bekal kuburnya. Kuda kenaikannya Uara madewa) yang
telah dihiasi dengan kalung kain merah dan diberi pelana kain yang bagus, ikut
diarak dan diikatkan pada batu kubur (Dalam upacara penutupan batu kubur yang
merupakan upacara terakhir yang menandai dilaksanakannya penguburan sekunder,
seringkali kuda kenaikan itu dikorbankan). Setelah dimasukkan ke liang kubur,
jenazah disiram air sejuk dan ditaburi abu dapur. Kemudian seekor ayam jantan
berbulu coklat disembelih di dekat liang kubur. Menurut kepercayaan, ayam
jantan itu pada saatnya kelak akan berkokok membangunkan roh untuk memulai
perjalanannya ke Negeri Marapu, Parai Marapu. Jenazah lalu dise-limuti dengan
sejumlah besar kain-kain tenun, yang paling atas ditaruh sesajian sirih-pinang,
alat menumouk sirih-pinang dan beberapa tas tempat sirih-pinang (kaleko,
kaleku). Pada langit-langit rumah-rumahan yang khusus didirikan di atas kubur
selama masa penguburan primer, digantungi sejumlah kain-kain. Selama masa
penguburan primer, jenazah ditunggui oleh segenap sanak kerabatnya secara
bergiliran siang-malam.
b. Di Sumba Timur
Sampai
masa kini di Sumba Timur, penguburan primer masih dilaksanakan selama satu
sampai sepuluh tahun. Jalannya upacara dalam garis besarnya tidak banyak
berbeda dengan Sumba Barat. Perbedaan yang tampak jelas, ialah dalam teknis
pelaksanaan serta tatacara, formalitas yang disesuaikan dengan adat setempat.
Selama
penguburan primer, jenazah yang dimasukkan ke peti mati dan disimpan di dalam
rumah adat atau rumah jenazah di pekarangan, senantiasa ditunggui oleh
papangga. Apabila yang yang meningga_l seorang raja atau keluarga raja, jenazah
di-tunggui oleh banyak papangga yang melakukan tugasnya secara bergiliran siang
malam.
Kelak
apabila hendak dilakukan penguburan sekunder, peti mati dibuka untuk diambil
tulang-belulangnya. Dan dengan upa-cara kebesaran diarak untuk dikuburkan
selamanya (penguburan sekunder). Tentu saja disertai dengan mempersembahkan
sesajian dan sejumlah besar hewan-hewan korban, diiringi irama musik dan doa
mantra para ratu.
3.
Sesudah penguburan
Adapun
upacara yang dilaksanakan sesudah dilakukan penguburan sekunder, ialah upacara menaikkan rah. Tepatnya,
menaikkan salah satu unsur roh yang disebut samawo, sawo di Sumba Barat;
hamangu, hamau di Sumba Bimur. Sedang unsur yang lain, yaitu ndewa atau dewa
sudah dinaikkan pada waktu dilakukan upacara penutupan batu kubur.
Upacara
menaikkan salah satu unsur roh itu di Sumba Timur disebut Padeta hamangu atau Padeta
hamau. Di Sumba Barat disebut Padeta
Samawo atau Padeta sawo. (Khusus
di daerah Laoli dan Wanukaka, Sumba Barat disebut Padeta matawai yang bermakna : menaikkan roh ke sumbemya yang
pokok). Upacara itu dilakukan pada hari ketiga setelah penguburan sekunder
dilaksanakan. Dipimpin oleh rato, ratu. Tapi dapat juga oleh nenek atau paman si mati. Upacara dilakukan di kuburan, dengan
sesajian sirih pinang dan hewan korban. Setelah upacara selesai, diambillah
sebuah batu dari dekat kuburan sebagai simbol unsur rah yang bersangkutan. Batu
itu kemudian ditaruh di atas loteng, yaitu tempat yang khusus disediakan untuk
para marapu, arwah Ieluhur dan arwah sanak-keluarga yang telah meninggal (Uma
Deta, Hindi Marapu). Upacara menaikkan unsur rah dilakukan secara sederhana
dengan disaksikan oleh para rato, ratu dan sanak-keluarga yang terdekat, dan
diakhiri dengan selamatan, makan bersama.[9]
Makna dan fungsi kubur
Bagi para penganut kepercayaan Marapu, kubur mempunyai makna
dan fungsi :
1.
Sebagai pernyataan monumental, bahwa semua ritus, upacara
religius yang diwajibkan telah dilaksanakan secara cermat dan sempurna sesuai
dengan segala ketentuan Adat Kematian dan Penguburan yang berlaku dalam kabisu,
kabihu serta suku masing-masing.
2.
Sebagai monumen magis yang memancarkan restu kepada
sanak-keluarga masing-masing dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban hidup bermasyarakat
dengan mengamalkan kebajikan-ke-bajikan sebagaimana yang telah dilakukan oleh
para leluhur.
ltulah
sebabnya kompleks kuburan didirikan di pelataran kampung, tak jauh dari
perumahan segenap warga kabisu, kabihu masing-masing. Agar senantiasa terjalin
semacam komunikasi magis antara yang sudah meninggal dan yang masih hidup.
Serta agar masyarakat setempat senantiasa merawat kubur dengan baik-baik.
Namun ada
juga kompleks kuburan yang terletak agak jauh di luar kampung, yaitu kuburan
yang disediakan untuk :
1.
Orang-orang meninggal karena melakukan suatu tindak pidana,
kejahatan besar atau perbuatan yang sangat nista.
2.
Para perajurit yang kalah dalam peperangan dan kepalanya
telah hllang terkayau dibawa musuh.
3.
Untuk para raja dan sanak keluarganya yang terdekat (seperti
yang terdapat di Kawangu, Sumba Timur).
Dengan catatan, bahwa meskipun ketiga kompleks kuburan itu
letaknya di luar kampung, namun masing-masing kompleks tempatnya berbeda.
Kompleks kuburan raja dan sanak keluarga-nya yang terdekat lokasinya di tempat
yang paling rindang dan subur. Di sekitarnya didirikan perumahan untuk
menyimpan alat-alat upacara kerajaan yang berupa alat senjata, alat musik. Dan
untuk tempat tinggal para hamba yang bertugas menjaga kubur.[10]
Sikap jenazah
Sebagaimana sudah di singgung di muka, adat memberi
ke-leluasaan dalam meletakkan sikap jenazah yang disesuaikan dengan tradisi
setempat, atau pun tradisi suku masing-masing. Sebab hampir tiap suku di
daerahnya masing-masing mempunyai tradisi sendiri dalam hal meletakkan sikap
jenazah. Di Sumba oda dua macam
sikap jenazah, yaitu :
1.
Sikap jongkok
Sikap
jongkok dalam istilah bahasa Jerman disebut Hocker-stellung. Meletakkan jenazah
dalam sikap jongkok sudah dikenal sejak jaman prubakala. Dan sudah menjadi
tradisi di berbagai daerah se-Nusantara. Mulai dari Sulawesi Tengah ke
kepulauan Maluku. Di hampir seluruh'wilayah Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur sampai Seran (Seram) Barat dan Tengah.
2.
Sikap terlentang
Dahulu di
Sumba berlaku ketentuan adat, bahwa jenazah perajurit yang tewas dalam medan
pertempuran, apabila hendak dikuburkan harus diletakkan
dalam sikap terletang. Di beberapa daerah Sumba Barat - Sumba Timur sampai masa
kini masih ada suku-suku yang hanya meletakkan jenazah dalam sikap terlentang,
apabila orang yang ber-sangk.utan meninggal akibat kecelakaan dan mati dalam
suatu perkelahian berdarah.[11]
Kubur batu
berpola dolmen di Sumba terdiri atas beberapa tipe. Tipe kubur dolmen biasa
berbentuk sebuah batu besar bulat atau persegi, persegi empat panjang yang
ditaruh di atas tumpukan batu-batuan. Liang lahat dalam tanah digali melingkar
atau trapesium yang diberi alas dan dinding-dinding papan batu (slab).
1.
Tipe kubur dolmen biasa
2.
Tipe kubur dolmen bertiang
Berbentuk
meja persegi empat panjang. Tiang-tiang yang me-nyangga batu penutup kubur
biasanya empat buah, tapi ada juga yang bertiang lima lebih. Tipe kubur dolmen
bertiang yang berbentuk meja persegi empat panjang itu di Sumba sering disebut kubur
meja. Atau
kubur rumah , mungkin
karena bentuknya mengingatkan pada bentuk rumah panggung persegi empat
pan-jang, yang merupakan bentuk perumahan tradisionil.
Di Sumba
Barat pada umumnya , tipe kubur itu diberi orna-men tatah dan relief pada ke empat
sisi batu penutupnya. Kubur yang sesungguhnya terletak di dalam tanah dengan
diberi batu penutup yang ukurannya relatif kecil atau samasekali tidak diberi
batu penutup.
3.
Tipe kubur dolmen berdinding
Tipe kubur ini ada dua varias :
a. Bertiang dengan batu-batu papak sebagai
dinding yang menutup seluruh ruang bawah
b. Tanpa tiang. Batu penutup ditopang
oleh batu-batu papak se-bagai dinding. Jenazah atau tulang
belulangnya berada tepat di bawah batu penutup. Sebagian dalam tanah, sebagian
di atas tanah , atau se-luruhnya terletak di atas tanah .
4.
Tipe kubur dolmen berundak
Di atas
batu penutup diberi lapisan batu penutup lagi y ang ukurannya tidak sepanjang
batu penutup pokok . Makin tinggi undakannya, makin banyak lapisan batu penutup
hingga menyerupai piramida. Lapisan batu penutup tambahan ada yang
dijadikan nisan. Tipe kubur ini kadangkala batu penutup pokok diberi tiang
untuk mengubur satu sampai dua jenazah. Sedang di bawah batu penutup pokok ,
yaitu di tanah juga dijadikan kubur untuk beberapa jenazah . Tipe kubur ini ada
yang bertiang enam buah.[12]
Ruang, kamar kubur ada dua macam:
1. Ruang, kamar tunggal
Yang memuat dua jenazah orang tua dan beberapa jenazah
anak-anak. Disediakan untuk mengubur jenazah sepasang suami-isteri dan
putra-putrinya yang masih kanak-kanak.
2. Ruang, kamar ganda
Terdiri atas dua ruang kamar besar. Ruang pertama untuk
mengubur jenazah. Jenazah sepasang suami-isteri dan putra-putrinya yang sudah
remaja atau menjelang dewasa, tetapi belum menikah.
Kubur "modern"
Dalam perkembangan mutakhir ada kecenderungan di ka-langan
para bangsawan (maramba) untuk mendirikan kubur yang disesuaikan dengan selera
modem. Yaitu pada bentuknya yang distilisasi dan dengan mempergunakan
bahan-bahan bangunan masa kini berupa semen. Di Sumba Barat, bangunan kubur
"mo-dern" masih tetap berupa tipe kubur dolmen berdinding. Adapun
dindingnya tetap berbentuk trapesium . Dan tetap memperguna-kan bahan dasar
rerupa batu alam ukuran besar yang kemudian diberi berlapis semen. D1 Sumba
Timur, bangunan kubur "mo-dern" ·merupakan stilisasi bentuk rumah
beratap joglo atau atap biasa. Tapi, ada juga kubur-kubur para raja Sumba Timur
yang didirikan pada masa kini, namun tetap mempertahankan keaslian pola dolmen
dengan hanya mempergunakan lapisan semen untuk membuat rata bagian batm penutup
dan tiang-tiangnya.[13]
NISAN
Di Sumba, nisan merupakan
simbol, yang melambangkan
1. Arwah leluhur;
2. Status sosial leluhur;
3. Tradisi leluhur.
Ketiga macam lambang itu ada yang sekaligus terungkap dalam
sebuah nisan. Tapi· ada ,pula yang hanya mengungkapkan qua macam lambang.
Bahkan banyak pula yang mengungk.ap-kan hanya salah satu macam lambang saja.
Ada yang bentuknya mengingatkan kepada bentuk menhir. Dan memang sebenarnya nisan yang
melambangkan arwah leluhur, status sosial dan tradisi leluhur itu mempunyai
fungsi magis religius. Agar para ahli warisnya senantiasa memuliakan para
leluhur, melanjutkan kebajikan dan kedudukan leluhur dalam masya-rakat serta
melestarikan tradisi leluhur.
Bentuk nisan dibuat dalam berbagai variasi. Ada yang menyerupai
menhir. Ada yang kaya dengan ornamen dan relief. Ada yang berupa patung. Ada
pula yang hanya berupa relief. Cara
meletakkan nisan juga
ada beberapa macam, yaitu:
1. Didirikan terpisah dari bangunan
kubur. Ada yang didirikan hanya di bagian depan bangunan kubur. Ada pula yang
didiri-kan pada bagi.an depan dan bagian belakang penutup kubur.
2. Ada yang didirikan vertikal di atas
batu penutup kubur.
3. Hanya merupakan relief pada bagian
depan dan belakang batu penutup kubur.
4. Merupakan relief yang diberi tambahan
area pada bagian depan atau belakang batu penutup kubur.
Nisan (termasuk nisan yang didirikan terpisah dari bangunan kubur)
dalam berbagai variasi itu merupakan bagian integral sesuatu kubur. Yang
mempunyai fungsi umum untuk lebih menyatakan bangunan kubur sebagai suatu
monumen religius.[14]
KESIMPULAN
Kepercayaan Marapu
merupakan kepercayaan yang bersumber pada zaman megalitik. Inti kepercayaan
yang berkembang pada masyarakat megalitik adalah roh nenek moyang setelah mati
tidak akan pergi selamahnya, namun hanya berpindah tempat dari kehidupan
nyatake kehidupan alam akhirat, karena itulah upacara penguburan nenek moyang
menurut mereka menjadi awal lahirnya kembali nenek moyang mereka pada alam
lain.
Konsep pemujaan roh
nenek moyang dan para leluhur didasari dengan penghormatan yang tinggi kepada
para arwah leluhur. Hal ini tidak lepas dari ilmu pengetahuan dan keahlian yang
telah mereka peroleh dari leluhur serta peninggalan yang telah diwariskan pada
anak keturunan mereka.
Adapun benda-benda yang dijadikan bekal kubur, ialah:
1.
Bahan busana
2.
Alat
perhiasan
3.
Alat senjata
4.
Rarang anyaman
5.
Mata uang
6.
Alat music
7.
Barang tanah liat
8.
Barang keramik dari luar negeri
Adapun jenis hewan-hewan yang dijadikan kurban dalam rangkaian upacara-upacara kematian dan penguburan,
ialah :
1.
Kuda
2.
Anjing
3.
Kerbau
4.
Babi
5.
Sapi
6.
Kambing
7.
Ayam jantan
DAFTAR PUSTAKA
Randa Djawa, Ambrosius. Suprijono, Agus.
2014. Jurnal Ritual Marapu di Masyarakat
Sumba Timur Vol. 2, No. 1, Maret. Pend. Sejarah, Fakultas ilmu Sosial: Univ. Negeri Surabaya
Rosidin.
2016. Jurnal Problem Pelayanan
Kependudukan Bagi Penganut Agama Marapu Di Sumba, Nusa Tenggara Timur Vol.
29 No. 3 Oktober-Desember. Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama: Semarang.
Soeriadiredja. 2002. MARAPU:
AGAMA ASLI ORANG UMALULU di SUMBA TIMUR (Denpasar: LABANT – FS UNUD.
Soelarto,
B. t.thn. Budaya Sumba Jilid 2.
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta
[1] Umbu Hina Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, (BPK
Gunung Mulia,Jakarta, 1976) hlm. 14 dirujuk pada Jurnal Ritual Marapu di Masyarakat Sumba Timur
Vol. 2, No. 1, Maret
[2] Umbu Hina Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, (BPK
Gunung Mulia,Jakarta, 1976) hlm. 16 dirujuk pada Jurnal Ritual Marapu di Masyarakat Sumba Timur
Vol. 2, No. 1, Maret
[3] Ambrosius Randa Djawa, Agus Suprijono, Jurnal Ritual Marapu di Masyarakat Sumba Timur Vol. 2, No. 1, Maret
(Pend. Sejarah,Fakultas ilmu Sosial:
Univ. Negeri Surabaya, 2014)
[4] Rosidin, Jurnal Problem Pelayanan Kependudukan Bagi
Penganut Agama Marapu Di Sumba, Nusa Tenggara Timur Vol. 29 No. 3
Oktober-Desember (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama:
Semarang, 2016)
[5] Soeriadiredja,
MARAPU : AGAMA ASLI ORANG UMALULU di SUMBA TIMUR (Denpasar: LABANT
– FS UNUD, 2002) dilihat pada https://id.wikipedia.org/wiki/Marapu#cite_note-soer1-1
[6] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid
2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 9-15
[7] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid
2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 15-19
[8] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid
2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 19-32
[9] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid
2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 33-49
[10] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid
2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 50-51
[11] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid
2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 51-52
[12] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid
2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 53-61
[13] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid
2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm 62
[14] B. Soelarto, Budaya Sumba Jilid
2, (Proyek Pengembangan Media Kebudayaan: Jakarta) hlm. 72
No comments:
Post a Comment