Poligami dalam Agama-agama
Oleh
Dewi
Komalasari
A.
Pengertian
Poligami
Poligami merupakan kata bahasa
Indonesia. Dalam bahasa Arab, poligami disebut dengan ﺗﻌﺪﺩ ﺍﻟﺰﻭﺟﺎﺕ sistem perkawinan yang membolehkan seorang
pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya di w. Poligami secara bahasa
adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa
lawan jenisnya di waktu yang bersamaan. Secara bahasa, poligami
yang merupakan bahasa Indonesia ini bisa digunakan untuk seorang laki-laki yang memiliki lebih dari satu
istri. Demikian pula, poligami juga bisa digunakan untuk seorang wanita yang
memiliki lebih dari satu suami. Adapun aktu
yang bersamaan disebut dengan poligini.
Sedangkan poligami secara istilah
yaitu seorang laki-laki beristri lebih dari satu orang perempuan dalam waktu
yang sama. Jadi nampaknya telah terjadi penyempitan makna poligami.
Poligami yang semula bermakna untuk laki-laki dan perempuan, menyempit untuk
laki-laki saja. Boleh jadi hal ini karena secara fitrah manusia bisa menerima
atau paling tidak bisa memberikan toleransi pada- praktek poligami (atau
poligini), tentu saja dengan bukan tanpa syarat.[1][1]
B.
Poligami
dalam Agama Islam
Sejak ribuan tahun silam, sebelum
Islam datang poligami merupakan tradisi yang dianggap wajar. poligami sering
menjadi penanda tinggi rendahnya kelas atau status social seseorang. Namun
poligami bukan saja dilakukan oleh kalangan raja-raja saja atau nabi-nabi,
melainkan juga di semua tingkatan masyarakat.
Dalam Islam sendiri, Rasulullah
mencontohkan monogamy selama 26 tahun hingga Siti Khadijah meninggal dunia.
Perkawinan-perkawinan setelah Khadijah meninggal,, menurut banyak ulama, tidak
lain karena dilatarbelakangi kekhususan sebab diantaranya : mempunyai maksud
dan tujuan yang erat kaitannya dengan misi beliau sebagai seorang Rasul,
sebagai hiburan dan bantuan terhadap para janda, untuk memberi perlindungan dan
pertolongan terhadap anak-anak yatim yang kehilangan ayahnya yang Syahid di
medan perang, untuk memperkokoh ikatan persahabatan dan mencegah terjadinya
perpecahan, serta untuk menarik suatu suku untuk menganut Islam.
Praktik poligami Rasulullah sama
sekali tidak didasari oleh nafsu biologis seperti yang sering dituduhkan oleh
orang-orang nonmuslim, karena penting untuk diketahui bahwa Nabi Muahammad
hanya mengawini dua orang gadis diantara Sembilan istrinya.
Sesungguhnya kalau kita membaca
secara cermat dan kritis ayat-ayat al Qur’an maka kita akan tiba pada
kesimpulan bahwa poligami secara ideal tidak dibenarkan oleh Islam. Konsep
poligami adalah menyalahi prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan keluarga.
Memang ada ayat yang seirng dikutip untuk mendukung poligami tetapi
sesungguhnya kesimpulan itu menyalahi logika-logika metodologi. Berikut adalah
ayat yang sering digunakan kebanyakan orang untuk melegitimasi praktik
poligami:
“dan jika kamu sekalian tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kalian menikahinya), maka
nikahilah wanita-wanita (lain)yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah leboh delat kepada
tidak berbuat aniaya“[Q.S. An Nisa ayat 3]
Berdasarkan ayat ini memang terjadi
perbedaan pendapat, tetapi pada umumnya ulama klasik membolehkan poligami
sebagai praktik yang bersyarat. Jumhur ulama sepakat tentang perlu adanya
syarat ketat terhadap seseorang yang hendak berpoligami yakni :
1.
Tidak
mengumpulkan wanita ynag berfamili dekat, seperti kakak beradik, ibu dan anak,
atau seorang wanita dengan sau dara ibu atau ayahnya.
2.
Adil
terhadap istri-istrinya, adil dalam hal ini meliputi : menyediakan tempat tinggal
tiap-tiap istri, persamaan waktu menginap tiap-tiap istri dan berprasangka yang
sama (baik) terhadap tiap istri.[2][2]
Jika kita ambil dari beberapa
penafsiran seperti Quraisy syihab : “Poligami itu bukan anjuran. Poligami mirip
dengan emergency exit[3][3] dalam pesawat terbang yang hanya
boleh di buka dalam keadaan darurat.” Yang berarti, poligami adalah tidak
dilarang dan tidak disunnahkan, melainkan hanya digunakan sebagai pemecahan dalam satu masalah.
Menurut, Sayyid Quthub, poligami
adalah keleluasaan Islam yang diberikan kepada Umatnya untuk menyelesaikan
masalah yang mereka hadapi, seperti: pertama: terdapat
bermacam-macam kondisi riil dalam masyarakat, baik dalam sejarah ataupun
kondisi sekarang. Saat itu semakin bertambah jumlah kaum wanita yang sudah
layak menikah, yang melebihi jumlah lelaki yang sudah layak menikah. Walaupun
dalam sejarahnya tidak pernah perempuan melebihi laki-laki lebih dari empat
banding satu.
Karena ada sebuah sumber menyebutkan
bahwa populasi umat islam di masa-masa awal permulaan islam lebih besar jumlah
perepuan daripada laki-laki. Diantara 500 orang hanya terdapat seperlima
laki-laki yang dapat menggunakan senjata, selebihnya perempuan dan anak-anak.[4][4] Yang kedua,
dalam realitas kehidupan, kita tidak menyangkal bahwa masa subur laki-laki
dalah 70 tahun sedangkan perempuan hanya sekitar 50 tahun, adalah menjadi suatu
masalah yang sulit dipecahkan dengan cara mudah. Yang ketiga, si sitri
mandul. Menurut Sayyid Quthub, ketika salah satu dari masalah di atas terjadi
pada satu pernikahan, dibolehkannya poligami, tetapi tak lepas dari syarat
adil.[5][5]
Namun, ulama kontemporer, cenderung
tidak sependapat mengenai kebolehan poligami. Golongan ini berpendapat bahwa
sesungguhnya Islam menganut prinsip monogamy dan mengecam praktik poligami
sebagai perpanjangan tradisi Arab pra Islam yang memberikan status dan
kedudukan yang amat dominan kepada kaum laki-laki. Ada ayat yang berbenturan
dengan ayat lain yang seolah-olah memustahilkan
syarat adil itu bisa dipenuhi :[6][6]
“kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (al Nisa ;
129)
Nashr Hamid Abu Zayd menafsirkan
ayat ini adalah dengan melalui analisis linguistiknya yakni terdapat kata lan
(tidak akan pernah) dalam ayat di atas adalah menjadi sangat perlu
diperhatikan, yang berarti ‘dapat berlaku adil’ adalah tidak mungkin terjadi.[7][7] Dan
mengenai keadilan, karena Alquran dalam pembahasan tentang keadilan poligami
dalam Surat An Nisa: 129 lebih memilih kosa kata 'adala (walan
tasthathi'u an ta'dilu...) daripada qashata, kita dapat berasumsi
bahwa keadilan yang dikehendaki oleh Alquran adalah keadilan yang bersifat
maknawi (immaterial). Dengan demikian, keadilan maknawi lebih merujuk pada
perasaan welcome (legawa) dari pihak perempuan yang dimadu. Dan dapat
kita ketahui bersama bahwa tidak ada perempuan yang selegawa mungkin
menerima nasibnya ketika dipoligami. Karena itu, keadilan di sini jelas menurut
standar keperempuanan, bukan keadilan menurut parameter laki-laki.[8][8]
C.
Poligami
dalam Agama Kristen
Larangan poligami dalam Kristen
muncul setelah Renaisans. Ketika itu hukum-hukum geraja banyak menyerap
hukum-hukum Romawi, sementara hukum-hukum Romawi banyak dipengaruhi oleh para
pemikir , terutama setelah Kaisar Yustianus menetapkan Corpus Luris
Civils atau biasa juga disebut Corpus
Luris Yustianus yang berisi
hukum-hukum kekeluargaan. Dari Romawi, hukum-hukum tersebut menyebar ke
berbagai pelosok dunia dan dikembangkan oleh penjajah, seperti Napoleon yang
terkenal dengan code civil-nya, yang di dalamnya menganut asas monogami.
[9][9]
Tidak ada dalam kata kata Nabi Isa
as suatu keterangan yang jelas tentang landasan perkawinan monogamy atau
poligami tetapi bapak-bapak gereja dan para pembuat UU Gereja, ada yang
berpendapat bahwa naskah dalam Perjanjian Baru, yang menyinggung tantang
pengertian haramnya poligami, diantaranya :
Di dalam Injil Matius, Fasal 19,
ayat 4-6, diterangkan bahwa Isa Al Masih bersabda: “apakah kalian belum
membaca bahwa Tuhan yang menciptakan makhluk pada pemulaannya, telah
menciptakan mereka dua orang, satu laki-laki, satu wanita..” selanjutnya
Beliau bersabda : “Oleh sebab itu, laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya,
dan melekatkan dirinya dengan istrinya dan mereka berdua menjadi satu tubuh,
kalau begitu, mereka sudah bukan dua tubuh, tetapi satu tubuh, karena satu tubuh yang telah tuhan
himpunkan, tidak akan dipisahkan oleh manusia.”[10][10]
Sebagian pendeta Kristen menjadikan
ayat ini sebagai bukti bahwa poligami itu diharamkan dalam agama Kristen,
dengan landasan bahwa perkawinan itu menjadikan kedua suami istri itu menjadi
satu tubuh , laki-laki disana merupakan kepala dan wanita merupakan badan. Dan
tidaklah mungkin ada satu kepala berbadan dua atau lebih. Begitu juga dengan
poligami. Sedang, laki-laki itu dalam perkawinannya sudah meninggalkan ayah dan
ibunya untuk melekatkan dirinya dnegan istrinya.
Paulus mengatakan: “.. mengenai
urusan yang kalian serahkan kepada saya, maka sebaiknya seorang laki-laki
jangan menyentuh seorang wanita. Tetapi karna faktor zina, maka hendaklah
setiap laki-laki mempunyai seorang istri, dan setiap wanita mempunyai seorang
suami.” [11][11]
Segi yang dijadikan alasan tentang
haramnya poligami dalam kata-kata Paulus ini di kalangan orang Kristen ialah
bahwa sebaiknya seorang laki-laki jangan menyentuh seorang wanitapun, jadi ,
bagaimana boleh terjadi dia mempunyai banyak istri? Kemudian bolehnya menikah
bagi seorang laki-laki adalah Karena faktor zina. Mksudnya adalah agar ia
terhindar dari zina itu, mestinya cukup dengan menikahi seorang istri saja, dan
juga Paulus mengatakan hal itu dengan menggunakan ‘istrinya’, bukan
‘istri-istrinya’. Dan ini jelas diketemukan dalam berbagai ayat , yang tidak
ada yang menggunakan kata-kata tidak tunggal.
D.
Poligami
dalam Agama Yahudi
Kalau kita meneliti Naskah Taurat
yang ada sekarang ini, yaitu lima unit yang ada pada pemulaan kitab suci
perjanjian lama, maka akan kita temukan bahwa disana tidak ada larangan
terhadap poligami: bahkan dalam Naskah Perjanjian Lama ada yang berpoligami tidak
terbatas seperti pada pasal-1 dari kitab-kitab Raja-Raja diterangkan bahwa Nabi
Sulaiman mmpunyai istri tujuh ratus wanita bangsawan dan tiga ratus
budak-budak, dan Allah sajalah yang mengetahui betul tidaknya berita itu.
Di samping itu dalam Naskah Taurat
yang berbunyi :
“seorang wanita tidak boleh dijadikan bermadu
dengan saudaranya, untuk bersama-sama menjadi istri dari seorang laki-laki
semasa hidupnya.” [12][12]
Dan Naskah ini mennimbulkan
perselisihan pendapat di kalangan alim ulama Yahudi, tentang apakah yang
dimaksudkan dengan kata ‘saudara’ dalam ayat ini, yang diterangkan haram
dijadikan madu dari seorang wanita. Mayoritas Alim Ulama itu berpendapat bahwa
yang dimaksudkan ialah saudara menurut agama, yaitu saudara sekandung, seayah
atau seibu, Atau saudara sesama manusia dan seagama.
Pendapat yang terkuat di kalangan
ummat Yahudi adalah pendapat pertama, dengan alasan bahwa Naskah yang tersebut
menunjukkan pengertian saudara seharusnya dikembalikan kepada pengertian yang
umum, yang asli dan yang cepat tergambar dalam pikiran kita, yaitu saudara
menurut syari’ah agama, jadi, yaitu saudara kandung, seayah atau seibu,: dan
dengan landasan ini maka Taurat membolehkan poligami, dengan syarat bahwa tidak
boleh mengumpulkan dua bersaudara menjadi isteri dari seorang laki-laki.
Walaupun Taurat sebenarnya tidak
melarang Poligami, tetapi Ulama-Ulama Yahudi membenci poligami itu sendiri. Di
Mesir terdapat dua golongan umat Yahudi, yaitu aliran Rabbaniyun dan aliran
Qarra’iyun. Aliran Rabbaniyun mengatakan:
“tidaklah pantas seorang laki-laki
mempunyai isteri lebih dari satu orang: laki-laki itu bertugas supaya
mengucapkan sumpah pada waktu ‘Aqad Nikah, bahwa ia akan menetapi larangan ini,
walaupun tidak ada larangan dan batasan dalam Kitab Taurat.”
batasan yang di maksud adalah batasan jumlah berapa
istri yang boleh dipoligami.
Di tempat lain juga dikatakan bahwa :
“tidak boleh seorang laki-laki menikah lagi, kalau
istrinya tidak suka, : ia tidak boleh menikah lagi sebelum menceraikan istri
yang tidak suka itu”
Ini merupakan pengecualian dari keterangan di atas.
Jadi, seorang laki-laki boleh berpoligami dengan syarat bahwa hidupnya makmur,
dan sanggup untuk berlaku adil diantara isteri-isterinya, dan ada faktor
pendorong yang sah menurut agama, seperti istrinya mandul, atau gila. Ketika
laki-laki menikahi gadis atau janda lalu mandul, maka ia diwajibkan
menceraikannya ketika setelah melewati waktu menunggu yang cukup lama sekitar
lima sampai sepuluh tahun kedudian mengembalikan hak-hak berdasarkan ‘Aqad Nikahnya.
[13][13]
Yang kedua adalah golongan
Qarra’iyun[14][14], menurut
mereka pun poligami adalah boleh tetapi dengan syarat tidak menyakiti, baik
istri yang lama ataupun istri yang baru: seperti lebih memperhatikan istri baru
ketimbang istri lama. Jadi, poligami adalah boleh selama laki-laki itu bisa
memperlakukan istri-istrinya adil, adil dalam artian tidak hanya nafkah,
tempat, pakaian, melainkan juga perhatian juga pergaulan suami-istri.
Ketika perhatian suami tidak adil
dan si istri yang merasa kurang diperhatikan, sakit hati dan meminta cerai,
maka dalam golongan Qarra’iyun ini mewajibkan suaminya memberikan thalaqnya.
Begitu juga hal nya dnegan ketika suami nya menikah lagi dengan wanita di luar
agama yahudi, itu diartikan mengkhianati istri pertama dan diwajibkan suami
menceraikan istri lamanya.
Dari Kitab-Kitab UU di kalangan
Yahudi ternyata bahwa, kalaupun poligami itu di perbolehkan, tetapi dibatasi
hingga empat saja, walaupun ketika suami mampu menikahi lebih dari empat istri
mereka memberi alasan, bahwa Nabi Ya’qub berpoligami sampai empat istri saja,
dan supaya suami dapat menemui istrinya masing-masing paling sedikit sekali
seminggu. Karena menjaga kehormatan itu adalah wajib terhadap tiap-tiap
istrinya. [15][15]
Kesimpulannya bahwa Taurat tidak melarang
poligami dan juga tidak menghalangi seorang laki-laki untuk menikahi berapa
saja yang ia mau. Tetapi pendeta-pendeta Yahudi membenci poligami itu, dan lalu
mempersempit poligami dengan mengadakan pembatasan banyakanya istri hanya
empat, dan menetapkan harusnya ada
faktor-faktor pendorong menurut agama, dan juga menetapkan harusnya suami mampu
adil dan menafkahi istri-istrinya. Dan sayarat-syarat ini menunjukkan bahwa
mereka itu sendirilah yang menetapkan sebagai syarat-syarat dalam pengadilan
saja, dan bukan syarat yang ditetapkan oleh agama, jadi, syarat syarat itu
boleh ditetapkan boleh juga ditiadakan di meja hukum.
E.
Poligami
dalam Agama Hindu
Poligami tak hanya diperbolehkan
dalam ajaran islam. Menikah lebih dari satu kali ini juga diijinkan dalam
konsep ajaran Hindu.
Bagi orang Bali jaman dahulu
terutama raja-raja, menikah lebih dari satu kali merupakan suatu kebanggaan
dalam sebuah kekuasaan. Tak hanya dalam cerita, dalam lontar Hindu jelas
disebutkan bahwa menikah lebih dari satu kali adalah hal yang wajar, yang
berbeda hanya istilahnya. Jika dalam Islam disebut Poligami dalam Hindu disebut
Tresna atau Kresna Brahmacari.
Tetapi sebelumnya, dalam Slokantara
Sloka-sloka dinyatakan tentang ditolerirnya poligami, bukan dibenarkan.
Disebutkan ada tiga jenis Brahmacari yaitu Sukla Brahmacari, Sewala Brahmacari
dan Krsna Brahmacari.[16][16]
1. Sukla
Brahmacari, seorang Brahmacari lelaki yang tidak beristri selama hidupnya.
Hidup tanpa istri itu dilakukan bukan karena tidak normal kelaki-lakiannya,
tetapi sikap hidup yang benar-benar mengarahkan diri pada kehidupan yang khusus
hanya menyangkut kerohanian demi dapat terfokus melayani masyarakat.Libido
seksualnya diarahkan dengan kemampuan spiritual yang sangat kuat sehingga dapat
diarahkan pada soal spiritual·tanpa seks.
2. Sewala
Brahmacari, seorang lelaki yang hanya kawin dengan seorang istri selama
hidupnya.
3. Krsna
Brahmacari, Dalam pengertian Tersna atau Kresna Brahmacari,
seseorang diizinkan kawin lebih dari satu kali dalam batas maksimal 4 kali. Itu
pun dengan ketentuan bahwa seseorang Brahmacari boleh mengambil istri
kedua jika istri pertama mandul, tidak dapat berperan sebagai seorang istri
(mungkin sakit-sakitan) dan bila istri pertama mengizinkan untuk kawin kedua
kalinya. Sejalan dengan undang-undang perkawinan yaitu UU No 1 tahun 1974,
yaitu boleh melakukan pernikahan lagi atas seijin istri pertama dan karena
beberapa alasan tertentu.
Krsna Brahmacari mendekati
dengan istilah poligami yaitu beristri banyak dengan istri maksimal empat
orang. Batasan maksimal berpoligami dijelaskan didalam Slokantara.
Seperti penggalan sloka berikut:[17][17]
“……… Krsna brahmacari ialah orang
yang kawin paling banyak empat kali, dan tidak lagi. Siapakah yang dipakai
contoh dalam hal ini? Tidak lain ialah Sang Hyang Rudra yang mempunyai empat
dewi, yaitu Dewi Uma, Gangga, Gauri, dan Durga. Empat dewi yang sebenarnya
hanyalah empat aspek dari yang satu, inilah yang ditiru oleh yang menjalankan
Krsnabrahmacari. Asal saja ia tahu waktu dan tempat dalam berhubungan dengan
istri-istrinya. …..” (Slokantara 1).
Namun, dalam Sloka tersebut dinyatakan bagi mereka
yang berpoligami ditolerir maksimal empat istri meniru Dewa Siwa dengan empat
sakti-nya yaitu Dewi Uma, Dewi Gangga, Dewi Gauri, Dewi Durga.
Pernyataan sastra suci Slokantara
ini sesungguhnya mengandung nilai pendidikan agar seorang suami tidak
berpoligami, agar istri tidak berpoliandri. Sebab, untuk bisa berpoligami harus
bisa meniru Dewa Siwa.Jelas, untuk bisa seperti Dewa Siwa bukan gampang.Untuk
meniru Dewa Siwa berarti seorang suami harus menjadi seorang yang amat
religius.
Dari ketiga Brahmacari tersebut,
mana yang lebih baik? Prof. Dr. Tjok. Sudharta dalam ulasan Slokantara,
menjelaskan “Mengenai nilai dari brahmacari itu, apakah sukla yang
terbaik, ataukah sewala atau krsna, semuanya mempunyai
nilai-nilai yang tinggi menurut tujuannya.” (Sudharta, 2004:11). Dengan
demikian ketiga Brahmacari tersebut memiliki nilai yang sama.[18][18]
Ada juga terdapat dalam doa atau pun
kitab-kitab yang menyinggung masalah poligami ini antara lain :.
·
Rg Veda X.85.47 menyatakan doa permohonan kepada para Dewata
yang isinya semoga para Dewata selalu menyatukan dengan kekal hati mereka
sebagai suami istri. Kalau hati mereka sudah demikian bersatu tentunya tidak
ada suami dan istri yang suka dimadu. Kalau ada yang hidup berpoligami atau
berpoliandri, itu pasti karena tidak adanya jalan lain.
·
Dalam Manawa
Dhatmasastra 1X.102 ada ajaran kepada pasangan suami istri sbb: “Pasangan suami
istri hendaknya tidak jemu-jemunya mengusahakan agar mereka tidak bercerai
dengan cara masing-masing, tidak melanggar kesetiaan antara satu dengan yang
lainnya.”[19][19]
·
Dalam Manawa
Dharmasastra IX.45 dinyatakan, seorang suami disebut hidup sempurna jika dalam
keluarganya ada tiga unsur, yaitu ia(suami), istrinya seorang dan anaknya.
F.
Poligami
dalam Agama Buddha
Buddha tidak pernah menyebutkan mengenai yang
berkaitan dengan jumlah istri yang dapat dimiliki oleh seorang pria. Dalam
ajaran Buddha dinyatakan bahwa apabila seorang pria telah menikah kemudian
pergi pada wanita lain yang tidak dalam ikatan perkawinan maka dapat
menimbulkan permasalahan yang dapat meruntuhkan diri sendiri. Orang yang
serakah seperti itu tidak akan merasa puas dengan apa yang telah dimiliki dan
kemudian mencari atau pun menambah pasangan lagi.
Belajar Agama Buddha yang terpenting
adalah mengurangi keserakahan, kebodohan, dan menjadi bijaksana. Sedangkan
kalau seseorang melakukan poligami itu dengan alasan yang ingin dianggap
sebagai hal yang masuk akal misalnya ingin membantu itu bisa disebut kebodohan.
Karena pada dasarnya pelaku poligami akan sama-sama menderita. Bila kita
mempunyai dasar welasasih, membantu orang adalah menganggap diri itu keluarga,
bagian dari kita bukan ingin mendapat pengakuan lalu melegalkan dengan cara
menikah.[20][20]
Pada dasarnya tujuan umat Buddha
adalah mencapai Nibanna, menambah kebaikkan, mengurangi kejahatan dan
menyucikan hati dan pikiran. Itulah inti dari ajaran Buddha yang sebenarnya.
Tentunya istilah poligami dalam
Buddhisme tidak dicekal tidak juga dilegalkan hanya saja semua kembali ke dalam
diri masing-masing individu. Teks Manu Dharma Shastra, yaitu sebuah naskah
Hindu kuno, menyebutkan bahwa seorang dari kasta Brahmana dapat menikahi empat
istri, Ksatriya dapat menikahi tiga istri, kasta Vaisya dua istri dan Sudra
hanya boleh menikahi satu istri saja. Dari sini kita dapat melihat bahwa dalam
kultur India, poligami diizinkan maksimal dengan empat orang saja. Ini juga
terlihat dalam kitab-kitab Buddhis di mana mereka yang berpoligami kebanyakan
maksimal hanya memiliki empat orang istri, kecuali para raja-raja, di aman
seorang raja boleh memiliki istri sebanyak apapun yang mereka kehendaki.
Kesetiaan
Kesetiaan pada seorang pasangan
adalah suatu kondisi ideal bagi seorang Buddhis. Agama Buddha sangat
menganjurkan monogami dan tidak mendukung poligami, meskipun agama Buddha tidak
melarangnya.
Tentang kesetiaan, Sang Buddha bersabda dalam
Canda-Kinnara Jataka:
"Tidak heran, Maharaja! bahwa dalam kehidupanku yang terakhir Ia (Yasodhara) mencintai-Ku, dan setianya hanya kepada-Ku saja. Dalam kehidupan yang lampau, ketika terlahir sebagai Kinnara, ia setia hanya kepadaku seorang."
Ketika hendak Pari nibbana, Bhaddakaccana Theri juga berkata: “Aku telah bertekad bahwa selama di samsara, aku mendevosikan diriku hanya padamu [Sang Buddha],… di berbagai kehidupan yang tak terhitung.” (Yasodharapadanaya)
Yasodhara hanya setia pada satu orang saja, yaitu Pangeran Siddharta. Ketika Yasodhara ditinggalkan oleh Pangeran Siddharta, banyak raja dan pangeran yang ingin melamarnya, namun semuanya ditolak oleh Yasodhara. Ketika Pangeran Sudhana [kelahiran lampau Buddha] ditawari wanita-wanita cantik oleh ayahnya, ia menolaknya semua, karena hatinya tetap setia pada Manohara yang merupakan kelahiran lampau Yasodhara. Kecantikan wanita-wanita kerajaan tidak dapat mengubah hati Pangeran Sudhana terhadap Manohara. [21][21]
"Tidak heran, Maharaja! bahwa dalam kehidupanku yang terakhir Ia (Yasodhara) mencintai-Ku, dan setianya hanya kepada-Ku saja. Dalam kehidupan yang lampau, ketika terlahir sebagai Kinnara, ia setia hanya kepadaku seorang."
Ketika hendak Pari nibbana, Bhaddakaccana Theri juga berkata: “Aku telah bertekad bahwa selama di samsara, aku mendevosikan diriku hanya padamu [Sang Buddha],… di berbagai kehidupan yang tak terhitung.” (Yasodharapadanaya)
Yasodhara hanya setia pada satu orang saja, yaitu Pangeran Siddharta. Ketika Yasodhara ditinggalkan oleh Pangeran Siddharta, banyak raja dan pangeran yang ingin melamarnya, namun semuanya ditolak oleh Yasodhara. Ketika Pangeran Sudhana [kelahiran lampau Buddha] ditawari wanita-wanita cantik oleh ayahnya, ia menolaknya semua, karena hatinya tetap setia pada Manohara yang merupakan kelahiran lampau Yasodhara. Kecantikan wanita-wanita kerajaan tidak dapat mengubah hati Pangeran Sudhana terhadap Manohara. [21][21]
Poligami Membawa Penderitaan
Dalam kitab Therigatha, dikisahkan
Kisagotami yang telah mencapai tingkatan Arahat mengatakan bahwa tinggal
bersama dengan istri-istri lain adalah penderitaan: “Menyedihkan ketika tinggal
bersama istri lain milik suaminya”, karena dapat menimbulkan kecemburuan antar
istri. Ini bisa dilihat pada berbagai kisah dalam kitab-kitab Buddhis seperti
Petavatthu dan Dhammapada Atthakata di mana istri pertama berusaha menggugurkan
kandungan istri kedua atau berusaha mencelakai istri yang lain karena cemburu.
“Yang terburuk dari semua kebencian adalah kebencian di antara seorang istri
dan seorang selir (istri kedua), dan sang ibu tiri tentu akan mencari cara
untuk membunuh anak (dari istri saingannya).” (Kangyur)[22][22]
Menuruti biografi seorang Mahasiddha
Buddhis Tibetan tertulis: “Istri membenci istri muda suaminya.” Poligami atau
mendua akan menyebabkan suatu keluarga penuh dengan kebencian dan kesedihan.
(Anguttara Nikaya VI, 52).
Sang Buddha menjelaskan bahwa ada
tujuh macam harapan yang dihasilkan oleh rasa benci seorang istri yang
dipoligami terhadap istri lain suaminya: “Di sini bhikkhu, seorang istri lain
berharap musuhnya (istri lainnya lagi): “O, ia seharusnya menjadi jelek…tidak
dapat tidur…tidak berkelimpahan….tidak memiliki kekayaan… tidak menjadi
terkenal… tidak punya teman…masuk ke neraka setelah kematian! Apa alasannya?
Para bhikkhu, seorang istri lain tidak menyukai kalau istri yang lainnya
cantik… tidur nyenyak…berkelimpahan…kaya raya…terkenal…banyak teman… maupun
masuk ke surga.” (Kodhana Sutta, Anguttara Nikaya).
Ada salah satu tokoh dalam Buddish,
yakni Gendun Choepel menganggap poligami sebagai sebuah bentuk perzinahan yang
dilakukan melalui sebuah pembenaran, yaitu lewat pernikahan. Pernikahan yang
suci dipakai sebagai alat untuk membenarkan perzinahan. Pernikahan poligami
tidak lain adalah sebuah perzinahan terselubung, wujud dari ketidakpuasan nafsu
seksual dan ketidaksetiaan seseorang. [23][23]
KESIMPULAN
Setiap agama mempunyai adat serta aturan serta hukum
nya maisng-masing, dalam permasalahan kecil atau besar dalam ummatnya. maka
dalam setiap perkara tidak semua agama memiliki argumen atas hukum yang sama.
seperti halnya poligami ini, Telah kami jabarkan sedikit panjang lebar mengenai
poligami dalam agama-agama, yakni agama Islam, Yahudi, Kristen, Hindu dan
Buddha hampir semua menyimpulkan bahwa tidak adanya pembolehan dan pelarangan
terlalu rinci. Hanya ketika banyak pendapat ‘boleh’, dipastikan bukan tanpa
syarat.
Daftar Pustaka
Bibit
Suprapto, Liku-Liku Poligami, Yogyakarta : Al Kautsar, 1990
Chadidjah
Nasution, Polygami Di Tinjau dari Segi Agama-Agama, Sosial, Dan
Perundang-Undangan, Jakarta:
Bulan Bintang
http://ahdabina.staff.umm.ac.id/archives/137 di akses pada 7 Desember pada :
14.53 WIB.
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=14256.0;wap di akses pada 8 Desember pukul 22 : 20
http://lanilanimc.blogspot.com/2009/12/poligami-dalam-buddhisme.html di akses pada 8 Desember pukul 22 : 25
http://sosbud.kompasiana.com/2012/12/14/menolak-poligami-merugikan-kaum-wanita-516668.html di
akses pada 8 Desember 2014 pukul 22:35.
http://stitidharma.org/poligami-menurut-hindu/ di akses pada 8 Desember pukul 22:
35 WIB
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al
Qur’an:Teori Heremeneutika Nashr Abu Zayd,Jakarta:Teraju,
2003
Umar, Nasaruddin, Fikih Wanita untuk Semua, Jakarta:PT.
Serambi IlmuSemesta, 2010
Ust. Anshori Fahmie, Siapa Bilang Poligami Itu
Sunnah?,Depok :Pustaka IIMaN, 2007.
[2][2] Prof. Dr.
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, Jakarta :PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2010, h., 102.
[4][4] Prof. Dr.
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, Jakarta :PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2010, h., 104.
[7][7] Moch. Nur Ichwan, Meretas
Kesarjanaan Kritis Al Qur’an:Teori Heremeneutika Nashr Abu Zayd,Jakarta:Teraju,
2003, h., 140.
[10][10]
Chadidjah Nasution, Polygami Di Tinjau dari Segi Agama-Agama, Sosial, Dan
Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, h., 86.
[11][11]
Chadidjah Nasution, Polygami Di Tinjau dari Segi Agama-Agama, Sosial, Dan
Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, h., 87.
[12][12]
Chadidjah Nasution, Polygami Di Tinjau dari Segi Agama-Agama, Sosial, Dan
Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, h., 77.
[13][13]
Chadidjah Nasution, Polygami Di Tinjau dari Segi Agama-Agama, Sosial, Dan
Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, h., 78
[14][14]
Chadidjah Nasution, Polygami Di Tinjau dari Segi Agama-Agama, Sosial, Dan
Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, h., 79.
[15][15]Chadidjah
Nasution, Polygami Di Tinjau dari Segi Agama-Agama, Sosial, Dan Perundang-Undangan,
Jakarta: Bulan Bintang, h., 79.
[16][16] http://sosbud.kompasiana.com/2012/12/14/menolak-poligami-merugikan-kaum-wanita-516668.html di akses pada 8 Desember 2014 pukul 22:35.
[17][17] http://sosbud.kompasiana.com/2012/12/14/menolak-poligami-merugikan-kaum-wanita-516668.html di akses pada 8 Desember 2014 pukul 22:35.
[18][18] http://sosbud.kompasiana.com/2012/12/14/menolak-poligami-merugikan-kaum-wanita-516668.html di akses pada 8 Desember 2014 pukul 22:35.
[20][20] http://lanilanimc.blogspot.com/2009/12/poligami-dalam-buddhisme.html di akses pada 8 Desember
pukul 22 : 25
[21][21] http://lanilanimc.blogspot.com/2009/12/poligami-dalam-buddhisme.html
di akses pada 8 Desember pukul 22 : 25
[22][22] http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=14256.0;wap di akses pada 8 Desember
pukul 22 : 20
[23][23] http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=14256.0;wap di akses pada 8 Desember
pukul 22 : 20
No comments:
Post a Comment