Wednesday, 5 June 2019

poligami dalam agama-agama


Poligami dalam Agama-agama






Oleh
Dewi Komalasari
A.    Pengertian Poligami
Poligami merupakan kata bahasa Indonesia. Dalam bahasa Arab, poligami disebut dengan  ﺗﻌﺪﺩ ﺍﻟﺰﻭﺟﺎﺕ sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya di w. Poligami secara bahasa adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan.   Secara bahasa, poligami yang merupakan bahasa Indonesia ini bisa digunakan untuk seorang  laki-laki yang memiliki lebih dari satu istri. Demikian pula, poligami juga bisa digunakan untuk seorang wanita yang memiliki lebih dari satu suami.  Adapun aktu yang bersamaan disebut dengan poligini.
Sedangkan poligami secara istilah yaitu seorang laki-laki beristri lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang sama.  Jadi nampaknya telah terjadi penyempitan makna poligami. Poligami yang semula bermakna untuk laki-laki dan perempuan, menyempit untuk laki-laki saja. Boleh jadi hal ini karena secara fitrah manusia bisa menerima atau paling tidak bisa memberikan toleransi pada- praktek poligami (atau poligini), tentu saja dengan bukan tanpa syarat.[1][1]
B.     Poligami dalam Agama Islam
Sejak ribuan tahun silam, sebelum Islam datang poligami merupakan tradisi yang dianggap wajar. poligami sering menjadi penanda tinggi rendahnya kelas atau status social seseorang. Namun poligami bukan saja dilakukan oleh kalangan raja-raja saja atau nabi-nabi, melainkan juga di semua tingkatan masyarakat.
Dalam Islam sendiri, Rasulullah mencontohkan monogamy selama 26 tahun hingga Siti Khadijah meninggal dunia. Perkawinan-perkawinan setelah Khadijah meninggal,, menurut banyak ulama, tidak lain karena dilatarbelakangi kekhususan sebab diantaranya : mempunyai maksud dan tujuan yang erat kaitannya dengan misi beliau sebagai seorang Rasul, sebagai hiburan dan bantuan terhadap para janda, untuk memberi perlindungan dan pertolongan terhadap anak-anak yatim yang kehilangan ayahnya yang Syahid di medan perang, untuk memperkokoh ikatan persahabatan dan mencegah terjadinya perpecahan, serta untuk menarik suatu suku untuk menganut Islam.
Praktik poligami Rasulullah sama sekali tidak didasari oleh nafsu biologis seperti yang sering dituduhkan oleh orang-orang nonmuslim, karena penting untuk diketahui bahwa Nabi Muahammad hanya mengawini dua orang gadis diantara Sembilan istrinya.
Sesungguhnya kalau kita membaca secara cermat dan kritis ayat-ayat al Qur’an maka kita akan tiba pada kesimpulan bahwa poligami secara ideal tidak dibenarkan oleh Islam. Konsep poligami adalah menyalahi prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan keluarga. Memang ada ayat yang seirng dikutip untuk mendukung poligami tetapi sesungguhnya kesimpulan itu menyalahi logika-logika metodologi. Berikut adalah ayat yang sering digunakan kebanyakan orang untuk melegitimasi praktik poligami:
“dan jika kamu sekalian tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain)yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah leboh delat kepada tidak berbuat aniaya“[Q.S. An Nisa ayat 3]
Berdasarkan ayat ini memang terjadi perbedaan pendapat, tetapi pada umumnya ulama klasik membolehkan poligami sebagai praktik yang bersyarat. Jumhur ulama sepakat tentang perlu adanya syarat ketat terhadap seseorang yang hendak berpoligami yakni :
1.      Tidak mengumpulkan wanita ynag berfamili dekat, seperti kakak beradik, ibu dan anak, atau seorang wanita dengan sau dara ibu atau ayahnya.
2.      Adil terhadap istri-istrinya, adil dalam hal ini meliputi : menyediakan tempat tinggal tiap-tiap istri, persamaan waktu menginap tiap-tiap istri dan berprasangka yang sama (baik) terhadap tiap istri.[2][2]
Jika kita ambil dari beberapa penafsiran seperti Quraisy syihab : “Poligami itu bukan anjuran. Poligami mirip dengan emergency exit[3][3] dalam pesawat terbang yang hanya boleh di buka dalam keadaan darurat.” Yang berarti, poligami adalah tidak dilarang dan tidak disunnahkan, melainkan hanya digunakan sebagai  pemecahan dalam satu masalah.
Menurut, Sayyid Quthub, poligami adalah keleluasaan Islam yang diberikan kepada Umatnya untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, seperti: pertama: terdapat bermacam-macam kondisi riil dalam masyarakat, baik dalam sejarah ataupun kondisi sekarang. Saat itu semakin bertambah jumlah kaum wanita yang sudah layak menikah, yang melebihi jumlah lelaki yang sudah layak menikah. Walaupun dalam sejarahnya tidak pernah perempuan melebihi laki-laki lebih dari empat banding satu.
Karena ada sebuah sumber menyebutkan bahwa populasi umat islam di masa-masa awal permulaan islam lebih besar jumlah perepuan daripada laki-laki. Diantara 500 orang hanya terdapat seperlima laki-laki yang dapat menggunakan senjata, selebihnya perempuan dan anak-anak.[4][4] Yang kedua, dalam realitas kehidupan, kita tidak menyangkal bahwa masa subur laki-laki dalah 70 tahun sedangkan perempuan hanya sekitar 50 tahun, adalah menjadi suatu masalah yang sulit dipecahkan dengan cara mudah. Yang ketiga, si sitri mandul. Menurut Sayyid Quthub, ketika salah satu dari masalah di atas terjadi pada satu pernikahan, dibolehkannya poligami, tetapi tak lepas dari syarat adil.[5][5]
Namun, ulama kontemporer, cenderung tidak sependapat mengenai kebolehan poligami. Golongan ini berpendapat bahwa sesungguhnya Islam menganut prinsip monogamy dan mengecam praktik poligami sebagai perpanjangan tradisi Arab pra Islam yang memberikan status dan kedudukan yang amat dominan kepada kaum laki-laki. Ada ayat yang berbenturan dengan ayat lain  yang seolah-olah memustahilkan syarat adil itu bisa dipenuhi :[6][6]
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (al Nisa ; 129)
Nashr Hamid Abu Zayd menafsirkan ayat ini adalah dengan melalui analisis linguistiknya yakni terdapat kata lan (tidak akan pernah) dalam ayat di atas adalah menjadi sangat perlu diperhatikan, yang berarti ‘dapat berlaku adil’ adalah tidak mungkin terjadi.[7][7] Dan mengenai keadilan, karena Alquran dalam pembahasan tentang keadilan poligami dalam Surat An Nisa: 129 lebih memilih kosa kata 'adala (walan tasthathi'u an ta'dilu...) daripada qashata, kita dapat berasumsi bahwa keadilan yang dikehendaki oleh Alquran adalah keadilan yang bersifat maknawi (immaterial). Dengan demikian, keadilan maknawi lebih merujuk pada perasaan welcome (legawa) dari pihak perempuan yang dimadu. Dan dapat kita ketahui bersama bahwa tidak ada perempuan yang selegawa mungkin menerima nasibnya ketika dipoligami. Karena itu, keadilan di sini jelas menurut standar keperempuanan, bukan keadilan menurut parameter laki-laki.[8][8]
C.    Poligami dalam Agama Kristen
Larangan poligami dalam Kristen muncul setelah Renaisans. Ketika itu hukum-hukum geraja banyak menyerap hukum-hukum Romawi, sementara hukum-hukum Romawi banyak dipengaruhi oleh para pemikir , terutama setelah Kaisar Yustianus menetapkan Corpus Luris Civils atau  biasa juga disebut Corpus Luris Yustianus  yang berisi hukum-hukum kekeluargaan. Dari Romawi, hukum-hukum tersebut menyebar ke berbagai pelosok dunia dan dikembangkan oleh penjajah, seperti Napoleon yang terkenal dengan code civil-nya, yang di dalamnya menganut asas monogami. [9][9]
Tidak ada dalam kata kata Nabi Isa as suatu keterangan yang jelas tentang landasan perkawinan monogamy atau poligami tetapi bapak-bapak gereja dan para pembuat UU Gereja, ada yang berpendapat bahwa naskah dalam Perjanjian Baru, yang menyinggung tantang pengertian haramnya poligami, diantaranya :
Di dalam Injil Matius, Fasal 19, ayat 4-6, diterangkan bahwa Isa Al Masih bersabda: “apakah kalian belum membaca bahwa Tuhan yang menciptakan makhluk pada pemulaannya, telah menciptakan mereka dua orang, satu laki-laki, satu wanita..” selanjutnya Beliau bersabda : “Oleh sebab itu, laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya, dan melekatkan dirinya dengan istrinya dan mereka berdua menjadi satu tubuh, kalau begitu, mereka sudah bukan dua tubuh, tetapi satu  tubuh, karena satu tubuh yang telah tuhan himpunkan, tidak akan dipisahkan oleh manusia.”[10][10]
Sebagian pendeta Kristen menjadikan ayat ini sebagai bukti bahwa poligami itu diharamkan dalam agama Kristen, dengan landasan bahwa perkawinan itu menjadikan kedua suami istri itu menjadi satu tubuh , laki-laki disana merupakan kepala dan wanita merupakan badan. Dan tidaklah mungkin ada satu kepala berbadan dua atau lebih. Begitu juga dengan poligami. Sedang, laki-laki itu dalam perkawinannya sudah meninggalkan ayah dan ibunya untuk melekatkan dirinya dnegan istrinya.
Paulus mengatakan: “.. mengenai urusan yang kalian serahkan kepada saya, maka sebaiknya seorang laki-laki jangan menyentuh seorang wanita. Tetapi karna faktor zina, maka hendaklah setiap laki-laki mempunyai seorang istri, dan setiap wanita mempunyai seorang suami.” [11][11]
Segi yang dijadikan alasan tentang haramnya poligami dalam kata-kata Paulus ini di kalangan orang Kristen ialah bahwa sebaiknya seorang laki-laki jangan menyentuh seorang wanitapun, jadi , bagaimana boleh terjadi dia mempunyai banyak istri? Kemudian bolehnya menikah bagi seorang laki-laki adalah Karena faktor zina. Mksudnya adalah agar ia terhindar dari zina itu, mestinya cukup dengan menikahi seorang istri saja, dan juga Paulus mengatakan hal itu dengan menggunakan ‘istrinya’, bukan ‘istri-istrinya’. Dan ini jelas diketemukan dalam berbagai ayat , yang tidak ada yang menggunakan kata-kata tidak tunggal.
D.    Poligami dalam Agama Yahudi
Kalau kita meneliti Naskah Taurat yang ada sekarang ini, yaitu lima unit yang ada pada pemulaan kitab suci perjanjian lama, maka akan kita temukan bahwa disana tidak ada larangan terhadap poligami: bahkan dalam Naskah Perjanjian Lama ada yang berpoligami tidak terbatas seperti pada pasal-1 dari kitab-kitab Raja-Raja diterangkan bahwa Nabi Sulaiman mmpunyai istri tujuh ratus wanita bangsawan dan tiga ratus budak-budak, dan Allah sajalah yang mengetahui betul tidaknya berita itu.
Di samping itu dalam Naskah Taurat yang berbunyi :
seorang wanita tidak boleh dijadikan bermadu dengan saudaranya, untuk bersama-sama menjadi istri dari seorang laki-laki semasa hidupnya.” [12][12]
Dan Naskah ini mennimbulkan perselisihan pendapat di kalangan alim ulama Yahudi, tentang apakah yang dimaksudkan dengan kata ‘saudara’ dalam ayat ini, yang diterangkan haram dijadikan madu dari seorang wanita. Mayoritas Alim Ulama itu berpendapat bahwa yang dimaksudkan ialah saudara menurut agama, yaitu saudara sekandung, seayah atau seibu, Atau saudara sesama manusia dan seagama.
Pendapat yang terkuat di kalangan ummat Yahudi adalah pendapat pertama, dengan alasan bahwa Naskah yang tersebut menunjukkan pengertian saudara seharusnya dikembalikan kepada pengertian yang umum, yang asli dan yang cepat tergambar dalam pikiran kita, yaitu saudara menurut syari’ah agama, jadi, yaitu saudara kandung, seayah atau seibu,: dan dengan landasan ini maka Taurat membolehkan poligami, dengan syarat bahwa tidak boleh mengumpulkan dua bersaudara menjadi isteri dari seorang laki-laki.
Walaupun Taurat sebenarnya tidak melarang Poligami, tetapi Ulama-Ulama Yahudi membenci poligami itu sendiri. Di Mesir terdapat dua golongan umat Yahudi, yaitu aliran Rabbaniyun dan aliran Qarra’iyun. Aliran Rabbaniyun mengatakan:
“tidaklah pantas seorang laki-laki mempunyai isteri lebih dari satu orang: laki-laki itu bertugas supaya mengucapkan sumpah pada waktu ‘Aqad Nikah, bahwa ia akan menetapi larangan ini, walaupun tidak ada larangan dan batasan dalam Kitab Taurat.”
batasan yang di maksud adalah batasan jumlah berapa istri yang boleh dipoligami.
Di tempat lain juga dikatakan bahwa :
“tidak boleh seorang laki-laki menikah lagi, kalau istrinya tidak suka, : ia tidak boleh menikah lagi sebelum menceraikan istri yang tidak suka itu”
Ini merupakan pengecualian dari keterangan di atas. Jadi, seorang laki-laki boleh berpoligami dengan syarat bahwa hidupnya makmur, dan sanggup untuk berlaku adil diantara isteri-isterinya, dan ada faktor pendorong yang sah menurut agama, seperti istrinya mandul, atau gila. Ketika laki-laki menikahi gadis atau janda lalu mandul, maka ia diwajibkan menceraikannya ketika setelah melewati waktu menunggu yang cukup lama sekitar lima sampai sepuluh tahun kedudian mengembalikan hak-hak berdasarkan ‘Aqad Nikahnya. [13][13]
Yang kedua adalah golongan Qarra’iyun[14][14], menurut mereka pun poligami adalah boleh tetapi dengan syarat tidak menyakiti, baik istri yang lama ataupun istri yang baru: seperti lebih memperhatikan istri baru ketimbang istri lama. Jadi, poligami adalah boleh selama laki-laki itu bisa memperlakukan istri-istrinya adil, adil dalam artian tidak hanya nafkah, tempat, pakaian, melainkan juga perhatian juga pergaulan suami-istri.
Ketika perhatian suami tidak adil dan si istri yang merasa kurang diperhatikan, sakit hati dan meminta cerai, maka dalam golongan Qarra’iyun ini mewajibkan suaminya memberikan thalaqnya. Begitu juga hal nya dnegan ketika suami nya menikah lagi dengan wanita di luar agama yahudi, itu diartikan mengkhianati istri pertama dan diwajibkan suami menceraikan istri lamanya.
Dari Kitab-Kitab UU di kalangan Yahudi ternyata bahwa, kalaupun poligami itu di perbolehkan, tetapi dibatasi hingga empat saja, walaupun ketika suami mampu menikahi lebih dari empat istri mereka memberi alasan, bahwa Nabi Ya’qub berpoligami sampai empat istri saja, dan supaya suami dapat menemui istrinya masing-masing paling sedikit sekali seminggu. Karena menjaga kehormatan itu adalah wajib terhadap tiap-tiap istrinya. [15][15]
Kesimpulannya bahwa Taurat tidak melarang poligami dan juga tidak menghalangi seorang laki-laki untuk menikahi berapa saja yang ia mau. Tetapi pendeta-pendeta Yahudi membenci poligami itu, dan lalu mempersempit poligami dengan mengadakan pembatasan banyakanya istri hanya empat, dan menetapkan  harusnya ada faktor-faktor pendorong menurut agama, dan juga menetapkan harusnya suami mampu adil dan menafkahi istri-istrinya. Dan sayarat-syarat ini menunjukkan bahwa mereka itu sendirilah yang menetapkan sebagai syarat-syarat dalam pengadilan saja, dan bukan syarat yang ditetapkan oleh agama, jadi, syarat syarat itu boleh ditetapkan boleh juga ditiadakan di meja hukum.
E.     Poligami dalam Agama Hindu
Poligami tak hanya diperbolehkan dalam ajaran islam. Menikah lebih dari satu kali ini juga diijinkan dalam konsep ajaran Hindu.
Bagi orang Bali jaman dahulu terutama raja-raja, menikah lebih dari satu kali merupakan suatu kebanggaan dalam sebuah kekuasaan. Tak hanya dalam cerita, dalam lontar Hindu jelas disebutkan bahwa menikah lebih dari satu kali adalah hal yang wajar, yang berbeda hanya istilahnya. Jika dalam Islam disebut Poligami dalam Hindu disebut Tresna atau Kresna Brahmacari.
Tetapi sebelumnya, dalam Slokantara Sloka-sloka dinyatakan tentang ditolerirnya poligami, bukan dibenarkan. Disebutkan ada tiga jenis Brahmacari yaitu Sukla Brahmacari, Sewala Brahmacari dan Krsna Brahmacari.[16][16]
1.      Sukla Brahmacari, seorang Brahmacari lelaki yang tidak beristri selama hidupnya. Hidup tanpa istri itu dilakukan bukan karena tidak normal kelaki-lakiannya, tetapi sikap hidup yang benar-benar mengarahkan diri pada kehidupan yang khusus hanya menyangkut kerohanian demi dapat terfokus melayani masyarakat.Libido seksualnya diarahkan dengan kemampuan spiritual yang sangat kuat sehingga dapat diarahkan pada soal spiritual·tanpa seks.
2.      Sewala Brahmacari, seorang lelaki yang hanya kawin dengan seorang istri selama hidupnya.
3.      Krsna Brahmacari, Dalam pengertian Tersna atau Kresna Brahmacari, seseorang diizinkan kawin lebih dari satu kali dalam batas maksimal 4 kali. Itu pun dengan ketentuan bahwa seseorang Brahmacari boleh mengambil istri kedua jika istri pertama mandul, tidak dapat berperan sebagai seorang istri (mungkin sakit-sakitan) dan bila istri pertama mengizinkan untuk kawin kedua kalinya. Sejalan dengan undang-undang perkawinan yaitu UU No 1 tahun 1974, yaitu boleh melakukan pernikahan lagi atas seijin istri pertama dan karena beberapa alasan tertentu.
Krsna Brahmacari mendekati dengan istilah poligami yaitu beristri banyak dengan istri maksimal empat orang. Batasan maksimal berpoligami dijelaskan didalam Slokantara. Seperti penggalan sloka berikut:[17][17]
“……… Krsna brahmacari ialah orang yang kawin paling banyak empat kali, dan tidak lagi. Siapakah yang dipakai contoh dalam hal ini? Tidak lain ialah Sang Hyang Rudra yang mempunyai empat dewi, yaitu Dewi Uma, Gangga, Gauri, dan Durga. Empat dewi yang sebenarnya hanyalah empat aspek dari yang satu, inilah yang ditiru oleh yang menjalankan Krsnabrahmacari. Asal saja ia tahu waktu dan tempat dalam berhubungan dengan istri-istrinya. …..” (Slokantara 1).
Namun, dalam Sloka tersebut dinyatakan bagi mereka yang berpoligami ditolerir maksimal empat istri meniru Dewa Siwa dengan empat sakti-nya yaitu Dewi Uma, Dewi Gangga, Dewi Gauri, Dewi Durga.
Pernyataan sastra suci Slokantara ini sesungguhnya mengandung nilai pendidikan agar seorang suami tidak berpoligami, agar istri tidak berpoliandri. Sebab, untuk bisa berpoligami harus bisa meniru Dewa Siwa.Jelas, untuk bisa seperti Dewa Siwa bukan gampang.Untuk meniru Dewa Siwa berarti seorang suami harus menjadi seorang yang amat religius.
Dari ketiga Brahmacari tersebut, mana yang lebih baik? Prof. Dr. Tjok. Sudharta dalam ulasan Slokantara, menjelaskan “Mengenai nilai dari brahmacari itu, apakah sukla yang terbaik, ataukah sewala atau krsna, semuanya mempunyai nilai-nilai yang tinggi menurut tujuannya.” (Sudharta, 2004:11). Dengan demikian ketiga Brahmacari tersebut memiliki nilai yang sama.[18][18]
Ada juga terdapat dalam doa atau pun kitab-kitab yang menyinggung masalah poligami ini antara lain :.
·         Rg Veda X.85.47 menyatakan doa permohonan kepada para Dewata yang isinya semoga para Dewata selalu menyatukan dengan kekal hati mereka sebagai suami istri. Kalau hati mereka sudah demikian bersatu tentunya tidak ada suami dan istri yang suka dimadu. Kalau ada yang hidup berpoligami atau berpoliandri, itu pasti karena tidak adanya jalan lain.
·         Dalam Manawa Dhatmasastra 1X.102 ada ajaran kepada pasangan suami istri sbb: “Pasangan suami istri hendaknya tidak jemu-jemunya mengusahakan agar mereka tidak bercerai dengan cara masing-masing, tidak melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lainnya.”[19][19]
·         Dalam Manawa Dharmasastra IX.45 dinyatakan, seorang suami disebut hidup sempurna jika dalam keluarganya ada tiga unsur, yaitu ia(suami), istrinya seorang dan anaknya.
F.     Poligami dalam Agama Buddha
Buddha tidak pernah menyebutkan mengenai yang berkaitan dengan jumlah istri yang dapat dimiliki oleh seorang pria. Dalam ajaran Buddha dinyatakan bahwa apabila seorang pria telah menikah kemudian pergi pada wanita lain yang tidak dalam ikatan perkawinan maka dapat menimbulkan permasalahan yang dapat meruntuhkan diri sendiri. Orang yang serakah seperti itu tidak akan merasa puas dengan apa yang telah dimiliki dan kemudian mencari atau pun menambah pasangan lagi.
Belajar Agama Buddha yang terpenting adalah mengurangi keserakahan, kebodohan, dan menjadi bijaksana. Sedangkan kalau seseorang melakukan poligami itu dengan alasan yang ingin dianggap sebagai hal yang masuk akal misalnya ingin membantu itu bisa disebut kebodohan. Karena pada dasarnya pelaku poligami akan sama-sama menderita. Bila kita mempunyai dasar welasasih, membantu orang adalah menganggap diri itu keluarga, bagian dari kita bukan ingin mendapat pengakuan lalu melegalkan dengan cara menikah.[20][20]
Pada dasarnya tujuan umat Buddha adalah mencapai Nibanna, menambah kebaikkan, mengurangi kejahatan dan menyucikan hati dan pikiran. Itulah inti dari ajaran Buddha yang sebenarnya.
Tentunya istilah poligami dalam Buddhisme tidak dicekal tidak juga dilegalkan hanya saja semua kembali ke dalam diri masing-masing individu. Teks Manu Dharma Shastra, yaitu sebuah naskah Hindu kuno, menyebutkan bahwa seorang dari kasta Brahmana dapat menikahi empat istri, Ksatriya dapat menikahi tiga istri, kasta Vaisya dua istri dan Sudra hanya boleh menikahi satu istri saja. Dari sini kita dapat melihat bahwa dalam kultur India, poligami diizinkan maksimal dengan empat orang saja. Ini juga terlihat dalam kitab-kitab Buddhis di mana mereka yang berpoligami kebanyakan maksimal hanya memiliki empat orang istri, kecuali para raja-raja, di aman seorang raja boleh memiliki istri sebanyak apapun yang mereka kehendaki.
Kesetiaan
Kesetiaan pada seorang pasangan adalah suatu kondisi ideal bagi seorang Buddhis. Agama Buddha sangat menganjurkan monogami dan tidak mendukung poligami, meskipun agama Buddha tidak melarangnya.
Tentang kesetiaan, Sang Buddha bersabda dalam Canda-Kinnara Jataka:
"Tidak heran, Maharaja! bahwa dalam kehidupanku yang terakhir Ia (Yasodhara) mencintai-Ku, dan setianya hanya kepada-Ku saja. Dalam kehidupan yang lampau, ketika terlahir sebagai Kinnara, ia setia hanya kepadaku seorang."
Ketika hendak Pari nibbana, Bhaddakaccana Theri juga berkata: “Aku telah bertekad bahwa selama di samsara, aku  mendevosikan diriku hanya padamu [Sang Buddha],… di berbagai kehidupan yang tak terhitung.” (Yasodharapadanaya)
            Yasodhara hanya setia pada satu orang saja, yaitu Pangeran Siddharta. Ketika Yasodhara ditinggalkan oleh Pangeran Siddharta, banyak raja dan pangeran yang ingin melamarnya, namun semuanya ditolak oleh Yasodhara. Ketika Pangeran Sudhana [kelahiran lampau Buddha] ditawari  wanita-wanita cantik oleh ayahnya, ia menolaknya semua, karena hatinya tetap setia pada Manohara yang merupakan kelahiran lampau Yasodhara. Kecantikan wanita-wanita kerajaan tidak dapat mengubah hati Pangeran Sudhana terhadap Manohara. [21]
[21]
Poligami Membawa Penderitaan
Dalam kitab Therigatha, dikisahkan Kisagotami yang telah mencapai tingkatan Arahat mengatakan bahwa tinggal bersama dengan istri-istri lain adalah penderitaan: “Menyedihkan ketika tinggal bersama istri lain milik suaminya”, karena dapat menimbulkan kecemburuan antar istri. Ini bisa dilihat pada berbagai kisah dalam kitab-kitab Buddhis seperti Petavatthu dan Dhammapada Atthakata di mana istri pertama berusaha menggugurkan kandungan istri kedua atau berusaha mencelakai istri yang lain karena cemburu. “Yang terburuk dari semua kebencian adalah kebencian di antara seorang istri dan seorang selir (istri kedua), dan sang ibu tiri tentu akan mencari cara untuk membunuh anak (dari istri saingannya).” (Kangyur)[22][22]
Menuruti biografi seorang Mahasiddha Buddhis Tibetan tertulis: “Istri membenci istri muda suaminya.” Poligami atau mendua akan menyebabkan suatu keluarga penuh dengan kebencian dan kesedihan. (Anguttara Nikaya VI, 52).
Sang Buddha menjelaskan bahwa ada tujuh macam harapan yang dihasilkan oleh rasa benci seorang istri yang dipoligami terhadap istri lain suaminya: “Di sini bhikkhu, seorang istri lain berharap musuhnya (istri lainnya lagi): “O, ia seharusnya menjadi jelek…tidak dapat tidur…tidak berkelimpahan….tidak memiliki kekayaan… tidak menjadi terkenal… tidak punya teman…masuk ke neraka setelah kematian! Apa alasannya? Para bhikkhu, seorang istri lain tidak menyukai kalau istri yang lainnya cantik… tidur nyenyak…berkelimpahan…kaya raya…terkenal…banyak teman… maupun masuk ke surga.” (Kodhana Sutta, Anguttara Nikaya).
Ada salah satu tokoh dalam Buddish, yakni Gendun Choepel menganggap poligami sebagai sebuah bentuk perzinahan yang dilakukan melalui sebuah pembenaran, yaitu lewat pernikahan. Pernikahan yang suci dipakai sebagai alat untuk membenarkan perzinahan. Pernikahan poligami tidak lain adalah sebuah perzinahan terselubung, wujud dari ketidakpuasan nafsu seksual dan ketidaksetiaan seseorang. [23][23]
KESIMPULAN
Setiap agama mempunyai adat serta aturan serta hukum nya maisng-masing, dalam permasalahan kecil atau besar dalam ummatnya. maka dalam setiap perkara tidak semua agama memiliki argumen atas hukum yang sama. seperti halnya poligami ini, Telah kami jabarkan sedikit panjang lebar mengenai poligami dalam agama-agama, yakni agama Islam, Yahudi, Kristen, Hindu dan Buddha hampir semua menyimpulkan bahwa tidak adanya pembolehan dan pelarangan terlalu rinci. Hanya ketika banyak pendapat ‘boleh’, dipastikan bukan tanpa syarat.
Daftar Pustaka
Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami, Yogyakarta : Al Kautsar, 1990
Chadidjah Nasution, Polygami Di Tinjau dari Segi Agama-Agama, Sosial, Dan Perundang-Undangan,      Jakarta: Bulan Bintang
http://ahdabina.staff.umm.ac.id/archives/137 di akses pada 7 Desember pada : 14.53 WIB.
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=14256.0;wap di akses pada 8 Desember pukul   22 : 20
http://lanilanimc.blogspot.com/2009/12/poligami-dalam-buddhisme.html di akses pada 8        Desember pukul 22 : 25
http://stitidharma.org/poligami-menurut-hindu/ di akses pada 8 Desember pukul 22: 35 WIB
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al Qur’an:Teori Heremeneutika Nashr Abu            Zayd,Jakarta:Teraju, 2003
Umar, Nasaruddin, Fikih Wanita untuk Semua, Jakarta:PT. Serambi IlmuSemesta, 2010
Ust. Anshori Fahmie, Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah?,Depok :Pustaka IIMaN, 2007.


Diposting oleh ulfi ana di 08.47
Label: Makalah



[1][1] http://ahdabina.staff.umm.ac.id/archives/137 di akses pada 7 Desember pada : 14.53 WIB.
[2][2] Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, Jakarta :PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010, h., 102.
[3][3] Ust. Anshori Fahmie, Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah?,Depok :Pustaka IIMaN, 2007, h., 40.
[4][4] Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, Jakarta :PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010, h., 104.
[5][5] Quthub Sayyid, Fi Zhilal Al-Qur’an, Jakarta:Gema Insani Press, 2001,  h., 277.
[6][6] Umar, Nasaruddin, Fikih Wanita untuk Semua, Jakarta:PT. Serambi IlmuSemesta, 2010. h., 99
[7][7] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al Qur’an:Teori Heremeneutika Nashr Abu Zayd,Jakarta:Teraju, 2003, h., 140.
[8][8] http://www.suaramerdeka.com/harian/0308/28/kha2.htm di akses pada 5 Desember pukul 22:00 WIB
[9][9] Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami, Yogyakarta : Al Kautsar, 1990, h., 125.
[10][10] Chadidjah Nasution, Polygami Di Tinjau dari Segi Agama-Agama, Sosial, Dan Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, h., 86.
[11][11] Chadidjah Nasution, Polygami Di Tinjau dari Segi Agama-Agama, Sosial, Dan Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, h., 87.
[12][12] Chadidjah Nasution, Polygami Di Tinjau dari Segi Agama-Agama, Sosial, Dan Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, h., 77.
[13][13] Chadidjah Nasution, Polygami Di Tinjau dari Segi Agama-Agama, Sosial, Dan Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, h., 78
[14][14] Chadidjah Nasution, Polygami Di Tinjau dari Segi Agama-Agama, Sosial, Dan Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, h., 79.
[15][15]Chadidjah Nasution, Polygami Di Tinjau dari Segi Agama-Agama, Sosial, Dan Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, h., 79.
[19][19] http://stitidharma.org/poligami-menurut-hindu/ di akses pada 8 Desember pukul 22: 35 WIB
[22][22] http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=14256.0;wap di akses pada 8 Desember pukul 22 : 20
[23][23] http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=14256.0;wap di akses pada 8 Desember pukul 22 : 20

No comments:

Post a Comment

Sorga atau neraka

 Sorga itu sudah ada di dunia Hanya sedikit yang mau Banyak manusia lebih memilih dunia Jika dalam gembira kau gelisah Jika dalam susah kau ...